Apakah Benar, Nabi Isa dan Yahya AS Tidak Menikah?

  • Nur Muhammad Alfatih
  • Nov 18, 2022
Keutamaan dan Dalil Anjuran Menikah

Dalam agama Islam, menikah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ini bisa dilihat dari berbagai dalil yang tertuang baik di dalam al-Qur’an maupun hadis. Di antaranya:

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ اَزْوَاجًا وَّذُرِّيَّةً

“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. (QS. Ar-Ra’d: 38)

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ،

“Menikah itu termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas umat-umat yang lainnya.” (Sunan Ibnu Majah)[1]

Para sahabat Nabi juga banyak yang menjelaskan tentang bagaimana pentingnya menikah. Salah satunya adalah sahabat Ibnu Abbas. Beliau pernah mengungkapkan:

لَا يَتِمُّ نُسُكُ النَّاسِكِ حَتَّى يَتَزَوَّجَ

“Tidak sempurna ibadahnya orang yang ahli ibadah sampai ia menikah.”[2]

Sahabat Ibnu Abbas memberikan komentar bahwa pernikahan menjadi penyempurna dari ibadahnya seseorang. Ia beralasan, orang yang beribadah bisa saja hatinya tidak selamat untuk terjerumus ke dalam permasalahan syahwat, kecuali ketika ia telah menikah. Dengan menikah, hati seseorang akan menjadi tenang dan hatinya tidak gusar memikirkan syahwat. Karena telah terpenuhi dengan hadirnya pasangan halal yang mendampinginya.

Bukti Semua Nabi dan Rasul Mengarungi Bahtera Rumah Tangga

Setelah mengetahui bagaimana pentingnya menikah dalam pandangan Islam, sekarang penulis mencoba untuk menggiring pembahasan apakah di dalam syariat menganjurkan kepada semua Nabi untuk menikah? Atau dari mereka ada yang tidak menikah?

Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin mengungkapkan:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَمْ يَذْكُرْفِيْ كِتَابِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا المُتَأَهِلِيْنَ

“Allah tidak menjelaskan dalam kitab-Nya tentang para Nabi kecuali mereka adalah orang-orang yang berkeluarga.”[3]

Ungkapan ini juga menjadi penjelas dari dalil yang telah tertuang dalam surat ar-Ra’d di atas, sekaligus membuktikan seluruh nabi dan rasul mengarungi bahtera rumah tangga.

Tonton juga: Kenapa Kita Harus Cinta Kepada Bangsa dan Tanah Air

Menikahnya Nabi Isa AS di Akhir Zaman

Lalu bagaimana dengan Nabi Isa AS yang diangkat ke langit dalam keadaan belum berumah tangga?

Di dalam beberapa kajian kitab kuning diungkapkan bahwa sampai saat ini Nabi Isa AS memang belum menikah. Akan tetapi bukan berarti beliau tidak menikah sampai akhir hayatnya. Seluruh umat Muslim mengetahui kalau beliau masih hidup hingga saat ini. Kelak, ketika akhir zaman telah dekat, Nabi Isa akan diturunkan ke bumi melawan Dajjal, sekaligus beliau juga akan menikah untuk mendapatkan keutamaan dan memiliki anak.[4]

Baca juga: Menikahkan Anak yang Sedang Mondok

Nabi Yahya Tidak Mendatangi Istrinya

Al-Qur’an mensifat Nabi Yahya sebagai وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِين (Ali Imran: 39). Sebuah pujian yang diberikan oleh Allah kepada oleh Nabi Yahya. Imam Ar-Razi menafsiri ayat tersebut sebagaimana ungkapannya:

قَوْلُهُ تَعَالَى: وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ [آلِ عِمْرَانَ: 39] مَدَحَ يَحْيَى عَلَيْهِ السَّلَامُ بِكَوْنِهِ حَصُورًا وَالْحَصُورُ الَّذِي لَا يَأْتِي النِّسَاءَ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِنَّ، وَلَا يُقَالُ هُوَ الَّذِي لَا يَأْتِي النِّسَاءَ مَعَ الْعَجْزِ عَنْهُنَّ، لِأَنَّ مَدْحَ الْإِنْسَانِ بِمَا يَكُونُ عَيْبًا غَيْرُ جَائِزٍ،

“Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Panutan, berkemampuan menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi di antara orang-orang saleh.” (Ali Imran: 39) Allah memuji Nabi Yahya AS dengan sebutan ‘Hashur’ (mengurung diri). Hashur sendiri memiliki makna tidak mendatangi perempuan beserta mampu untuk mendatangi perempuan. Bukan berarti Nabi Yahya As tidak mendatangi istrinya karena ada kekurangan (pada diri Nabi Yahya), karena memuji dengan suatu aib tidak diperbolehkan.”[5]

Yang dikehendaki oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya di atas adalah Allah memuji Nabi Yahya dengan empat sifat terpuji: panutan, mampu menahan diri dari nafsu, seorang nabi dan orang yang sholeh. Jika ada orang yang memaknai hashur sebagai aib yang dimiliki oleh Nabi Yahya, pemaknaan itu perlu diluruskan. Tidak akan mungkin dalam pujian disematkan suatu aib, apalagi memaparkan aib dalam agama tidak diperbolehkan.

Ringkasnya, Imam ar-Razi berpendapat bahwa Nabi Yahya menikah akan tetapi tidak mendatangi istrinya. Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin memiliki pendapat yang sama bahwa Nabi Yahya as itu menikah, walaupun tidak sampai menjima’ (bersetubuh) istrinya. Pendapat lain mengatakan bahwa “Nabi Yahya as menikah itu karena untuk mendapatkan keutamaan dan ingin mendirikan kesunahan.” Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa “Nabi Yahya as menikah itu agar ia dapat menjaga pandangannya” (pandangan-pandangan yang diharamkan oleh Allah SWT).

***

Terlepas dari pembahasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa menikah menjadi kesunahan yang sangat-sangat dianjurkan bagi para bujangan yang sudah dianggap mampu untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Menikah benar-benar sangat dianjurkan oleh agama. Tidak hanya tertuang dalam dalil-dalil syariat, akan tetapi juga dilakukan dan dicontohkan oleh seluruh Nabi.

Namun, yang perlu digarisbawahi dalam permasalahan ini adalah menikah tidak sekedar mengikuti anjuran syariat agama, atau untuk memecah syahwat. Lebih dari itu. Orientasi yang dibangun sebelum melangsungkan pernikahan haruslah kuat, yaitu sebagaimana ungkapan do’a yang terdapat di dalam al-Qur’an yang sering dibaca oleh para kekasih-kekasih Allah:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

 “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami, serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqon: 74)


[1] Ibnu Majah Abu ‘Abdillah Muhammad, Sunan Ibnu Majah (Maktabah Syamela), I/591
[2] Muhammad Jamaluddin, Mau’idhoh al-Mu’minin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995), 102
[3] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma’rifat, tt), II/22
[4] Muhammad Jamaluddin, Mau’idhoh al-Mu’minin (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1995), 102
[5] Fahruddin ar-Razi, Mafatikhul Ghaib (Maktabah Syamela), XXIII/369

Apakah Benar Nabi Isa dan Yahya AS Tidak Menikah
Apakah Benar Nabi Isa dan Yahya AS Tidak Menikah

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.