Oleh : KH. Muchib Aman Ali*
Secara bahasa, ahlussunnah wal jama’ah adalah golongan atau kelompok yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Rasul dan petunjuk para sahabat dalam menjalankan ajaran agama yang meliputi aspek akidah, syariah dan tasawuf. Sebagaimana lazimnya sebuah nama, istilah ahlussunnah wal jama’ah tidak muncul begitu saja, tetapi ada rentetan peristiwa sejarah yang melatarinya. Konon, nama aswaja pertama kali dinyatakan oleh sahabat Rasulullah SAW sayyidina Abdullah bin Abbas RA ketika ditanya mengenai tafsir dari Alquran dalam surat Ali Imron:106 :
Beliau berkata: “Yakni pada hari kiamat, ketika bersinar wajah para pengikut ahlussunnah wal jama’ah dan menghitam wajah pengikut bid’ah.”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa istilah aswaja sebenarnya merujuk kepada sekelompok umat Islam yang pada saat itu berada di antara dua golongan besar, yaitu Khowarij dan Rowafidl. Dua kelompok ini diyakini sebagai kelompok ekstrem kanan dan kiri dalam sejarah Islam. Dua kelompok yang saling mengkafirkan. Lahirnya dua kelompok ini bermula dari persoalan politik, yaitu kebijakan khalifah Sayyidina Ali yang tidak segera melakukan pengusutan atas terbunuhnya khalifah sayyidina Utsman, sebagaimna yang dejelaskan dalam kitab-kitab sejarah Islam.
Namun pada perkembangan berikutnya, perselisihan itu menjurus pada persoalan agama. Kenyataan ini melahirkan keprihatinan yang sangat mendalam di kalangan sahabat Rasulullah SAW seperti Abdullah bin Abbas, sehingga beliau mengajak masyarakat untuk kembali kepada ajaran Rasulullah SAW. Periode ini dalam sejarah Islam disebut dengan al-mihnah al-kubro al-ula.
Beberapa tahun sebelum lahirnya dua kelompok ekstrem ini, umat Islam pernah mengalami masa kejayaan yang luar biasa, khususnya pada masa pemerintahan sayyidina Umar bin Khottob. Jatuhnya dua negara super power kala itu dalam kekuasaan Islam, yaitu Rum Syarqi di Damaskus dan Farsi di Iran adalah puncak dari kejayaan Islam. Bayangkan, negeri sekuat Farsi, yang bala tentaranya amat sangat terkenal di seluruh dunia dan berhasil menaklukkan negeri belahan timur bumi ini, jatuh, hancur melawan pasukan Islam yang pada saat yang hampir bersamaan juga bertempur melawan pasukan Romawi yang menguasai belahan barat bumi ini.
Penduduk negeri Rum Syarqi pada waktu itu mayoritas beragama Kristen, sebagaimana agama resmi yang dianut oleh Rum Ghorbi sebagai pusat pemerintahan bangsa Romawi. Jatuhnya bangsa Rum dalam wilayah kekuasaan Islam selanjutnya melahirkan benturan budaya pemikiran Islam dan pemikiran Kristen barat. Sebagaimana diketahui, dalam sejarah pemikiran barat, filsafat Yunani adalah salah satu tradisi pemikiran yang berkembang pesat di bangsa Romawi sejak sebelum masa Rasulullah SAW. Pada saat penduduk Rum berpindah agama, terjadilah benturan budaya dan pemikiran Islam dan budaya Barat. Benturan pemikiran ini selanjutnya melahirkan paham Mu’tazilah, yaitu paham pemikiran agama yang lebih mendahulukan akal daripada teks agama. Pengaruh pemikiran baru ini pada awalnya banyak berkembang pada aspek teologi. Sebab, aspek ini memang yang paling mudah mendapat pengaruh filsafat. Karena dipandang lebih simpel dalam memahami konsep ketuhanan. Namun pada perkembangan berikutnya, pengaruh pemikiran ini juga masuk pada aspek teks agama, nubuwwah, ghoybiyyat bahkan fikih dan tasawuf. Paham ini bisa dikatakan sebagai nenek moyangnya paham liberalisme Islam.
Paham Mu’tazilah ini mengalami puncaknya pada abad ketiga hijriyah karena memperoleh dukungan sepenuhnya dari tiga khalifah dinasti Abbasiyyah sebelum Al-Mutawakkil, yaitu khalifah Al-Ma’mun (Abdullah bin Harun Ar-rasyid. 198-218 H./813-833 M.), Al-Mu’tashim Billah (218-227 H./833-841 M.) dan Al-Watsiq Billah (227-232 H./841-846 M.).
Al-Ma’mun memang sudah lama dikenal sebagai pecinta filsafat yang berasal dari Yunani, Koptik dan Kaldan. Al-Ma’mun bahkan mempersilahkan orang-orang Nasrani, Yahudi dan Majusi untuk membangun rumah-rumah ibadah mereka di Baghdad. Kedekatan Mu’tazilah dengan penguasa Abbasiyyah sebenarnya telah terjadi semenjak lama, yakni berawal ketika Al-Manshur menjalin persahabatan dengan Amr bin Ubaid (143 H./758 M.) salah seorang tokoh Mu’tazilah yang menjadi kawan dekat Washil bin Atho’ (80-130 H.).
Periode ini menurut ahli sejarah Islam di sebut dengan al-mihnah al-kubro ats-tsaniyah. Puncaknya ketika Khalifah Al-Ma’mun mengeluarkan kebijakan fit and proper test pada aparat pemerintahannya. Pejabat yang diangkat harus berasal dari orang yang berakidah Mu’tazilah. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintahan saja yang diperiksa, tetapi juga sejumlah ulama. Bahkan ada yang sampai wafat di penjara atau disiksa. Di antara ulama yang menjadi korban kekejaman Al-Ma’mun ini adalah Imam Ahmad bin Hambal yang beberapa bulan masuk penjara, Imam Nashr Al-Khuza’i dan perowi madzhab Syafi’i Imam al-Buwaithi.
Dominasi paham Mu’tazilah baru berakhir pada saat Al-Mutawakkil berkuasa (232-247 H./847–861 M.). Dua tahun setelah Al-Mutawakkil berkuasa, tepatnya pada tahun 234 H./848 M., Al-Mutawakil mengambil kebijakan baru dengan membatalkan paham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara. Al-Mutawakkil juga melarang tegas pembicaraan mengenai Alquran makhluq dan keyakinan Mu’tazilah lainnya. Sebagai gantinya, Al-Mutawakkil memerintahkan para fuqoha’, ahli hadis dan ahli tafsir untuk menyebarkan ilmunya, khususnya seputar sifat Allah SWT sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis jauh dari keyakinan Mu’tazilah.
Pada tahun 237 H./851 M., Al-Mutawakkil mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas, yaitu memberhentikan Ahmad bin Abi Dawud, seorang tokoh Mu’tazilah dan menggantikannya dengan Yahya bin Aktsam. Al-Mutawakkil juga menahan tokoh-tokoh Mu’tazilah yang lainnya, seperti Abul Walid bin Abi Dawud serta saudara-saudaranya kemudian mendeportasi mereka jauh dari Istana Khalifah. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Mu’tazilah kembali mendominasi pada masa kekuasaan Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi masa ini tidak lama, sebab Bani Buwaihi segera digulingkan oleh Bani Saljuk yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah terutama sejak pemerintahan Alp Arslan dengan perdana menterinya Nizham al-Mulk.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa lahirnya beragam penyimpangan paham dalam agama Islam tidak terlepas dari dua hal: Pertama; kepentingan politik, sebagaimana yang terjadi pada masa al-mihnah al-kubro a-ula. Kedua; benturan budaya, sebagaimana yang terjadi pada masa al-mihnah al-kubro ats-tsnaiyah. Di sisi lain, eksistensi aswaja dapat dengan mudah menyesuaikan dengan beragam budaya di belahan bumi ini. Inilah bukti kebenaran paham aswaja.
Sebagaimana diketahui bahwa ajaran Rasulullah Muhammad SAW berlaku untuk seluruh manusia sejak masa Rasulullah SAW sampai hari kiamat dan berlaku untuk seluruh umat di dunia. Artinya ajaran agama Islam yang benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW haruslah ajaran agama yang dapat menembus ruang dan waktunya, tidak kaku, tidak ekstrem tetapi juga tidak kebablasan, mampu berakulturasi dengan budaya masyarakat di mana saja. Dalam konteks Indonesia, tradisi Islam lokal adalah contoh kebenaran ajaran aswaja. Selamatan tujuh hari, selamatan desa, selamatan kandungan tiga bulan, tujuh bulan dan macam-macam tradisi lokal lainnya, dapat diselaraskan dengan ajaran aswaja oleh para Walisongo dan para kiai sepanjang memiliki maksud yang baik dan dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun tidak ditemukan contoh persisnya pada zaman Rasulullah SAW, inilah bukti kebenaran aswaja, bukti yang tidak terbantahkan, sebagaimana Rasulullah SAW mampu menyelaraskan ragam budaya bangsa Arab pada saat itu sepanjang tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Inilah hakekat dari “Islam Nusantara”.
Pasuruan, 28 Oktober 2015.
*Pengasuh Ponpes Roudlotul Ulum, Besuk, Kejayan, Pasuruan. Alumnus Ponpes Lirboyo tahun 1997. Materi ini disampaikan dalam Seminar Jam’iyyah Nahdliyah Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM) 05 November 2015 di Aula Al-Muktamar.