Pada bulan Ramadhan banyak sekali keistimewaan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada orang-orang yang berpuasa. Bahkan, sebagian dari keistimewaan yang diberikan terdengar agak nyeleneh. Seperti keistimewaan yang satu ini “Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi daripada minyak Kasturi”. Berikut bunyi hadisnya:
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Demi Zat yang berkuasa atas nyawaku, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi menurut Allah daripada bau misik.” (hadist riwayat Bukhori)
Tentu saja semua orang Islam atau bahkan orang nonmuslim pun mengetahui keistimewaan bulan puasa yang satu ini. Terbilang nyeleneh, karena agama Islam yang sangat menjunjung tinggi kebersihan bahkan memiliki jargon “Kebersihan adalah sebagian dari iman”, seolah hadis di atas menganjurkan orang yang sedang berpuasa untuk memiliki “mulut yang bau”. Yang lebih parah lagi hadist tersebut digunakan sebagai dalih bagi mereka yang malas menjaga bau mulutnya.
Agar tidak salah kaprah dalam memahami hadis nabi tersebut maka kami akan menyampaikan beberapa pendapat Ulama mengenai pemahaman hadis “Bau mulut orang yang berpuasa”.
Baca juga: Puasa Bedug, Mempunyai Dasar dalam Islam atau Hanya Sekedar Budaya?
Pertama adalah pendapat syekh Sulaiman al-Bujairami dari kalangan Syafi’iyyah dalam karangannya Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib. Menurut beliau dalam memahami diksi “wangi menurut Allah Swt.” Kita harus ingat kaidah pasti dalam Ahlussunnah wal Jamaah yaitu “Allah Swt. tidak menyamai makhluk apapun” sehingga tidak bisa dimaknai secara tekstual “bau mulut orang berpuasa bagi Allah Swt. lebih wangi daripada wangi misk” karena mencium adalalah sifat yang mustahil bagi Allah Swt. akan tetapi makna yang tepat adalah “lebih banyak pahalanya daripada memakai wangi misik”. Atau juga bisa difahami hadis tersebut menunjukkan keridhoan Allah Swt. terhadap orang-orang yang berpuasa.
Kedua adalah pendapat Syekh Sulaiman al-Qurtubiy dari kalangan Malikiyyah dalam karangannya al-Muntaqo Syarh al-Muwatho. Menurut beliau arti dari lafadz “khuluf” tidak bisa difahami sebagai bau mulut hasil dari sisa makanan yang ada di sela-sela gigi lantaran mulut dalam keadaan kering. Akan tetapi khuluf di sini adalah bau mulut yang berasal dari dalam perut yang kosong karena tidak diisi makanan. Mungkin sebagian dari kita ada yang pernah mengecek bau mulutnya sendiri dan mendapati bau mulutnya tidak sedap padahal ia sudah menyikat gigi? Kalau ada maka bau itulah yang dikehendaki khuluf di sini. Bau yang pusatnya adalah dari dalam perut yang menguap sampai ke mulut. Singkatnya khuluf adalah bau mulut yang muncul karena puasa, bukan bau mulut yang berasal dari sisa makanan. Maka sangat wajar sekali apabila Allah Swt. mengapresiasi orang yang berpuasa walaupun bau mulut mereka tidak sedap. Karena bau mulut tersebut muncul akibat ketaatan dari orang yang mau menjalankan puasa.
Berikut adalah keterangan dari keduanya:
قَوْلُهُ: (أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ) أَيْ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ الْمَطْلُوبِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ أَيْ أَكْثَرُ ثَوَابًا مِنْ ثَوَابِ رِيحِ الْمِسْكِ الْمَطْلُوبِ، فَلَا يَرِدُ أَنَّ الشَّمَّ مُسْتَحِيلٌ عَلَيْهِ تَعَالَى، أَوْ مَعْنَى كَوْنِهِ أَطْيَبَ عِنْدَ اللَّهِ ثَنَاؤُهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَرِضَاهُ بِهِ.
“Yang dimaksud dalam diksi ‘lebih wangi menurut Allah’ adalah lebih wangi dari pada bau minyak misik yang diperintahkan untuk memakainya ketika hari Jumat dan dua shalat `Ied, atau maksudnya adalah pahalanya lebih banyak daripada pahala menggunakan minyak misik pada hari Jumat atau dua hari raya. Sungguh, mencium adalah hal yang mustahil bagi Allah SWT sehingga yang dimaksud dengan ‘lebih wangi menurut Allah’ adalah pujian dan ridha-Nya terhadap orang yang berpuasa.” (Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib)
الْخُلُوفُ تَغَيُّرُ رَائِحَةِ فَمِ الصَّائِمِ، وَإِنَّمَا يَحْدُثُ مِنْ خُلُوِّ الْمَعِدَةِ بِتَرْكِ الْأَكْلِ وَلَا يَذْهَبُ بِالسِّوَاكِ؛ لِأَنَّهَا رَائِحَةٌ النَّفَسِ الْخَارِجِ مِنْ الْمَعِدَةِ، وَإِنَّمَا يَذْهَبُ بِالسِّوَاكِ مَا كَانَ فِي الْأَسْنَانِ مِنْ التَّغَيُّرِ.
“Khuluf adalah perubahan aroma mulut orang yang berpuasa. Bau tersebut muncul dari kosongnya perut karena tidak makan dan tidak bisa hilang dengan siwak. Karena aroma tersebut muncul dari dalam perut sedangkan siwak hanya menghilangkan aroma yang muncul dari sela-sela gigi” (al-Muntaqo Syarh al-Muwatho).
Baca juga: Hutang Puasa Sampai Ramadhan lagi
Mengenai Hukum Siwakan Setelah Tergelincirnya Matahari
Siwakan merupakan salah satu dari sekian banyak ajaran nabi Muhammad Saw. yang memiliki banyak sekali manfa’at salah satunya yang bisa kita rasakan adalah untuk menghilangkan bau mulut. Bisa dibilang siwakan ini adalah salah satu representasi dari hadist “kebersihan adalah sebagian dari iman”. Hukum siwakan sendiri adalah sunnah ketika hendak atau setelah melakukan aktifitas apapun. Hendak salat, selesai makan, berangkat kemasjid, mengunjungi kakek nenek dan lain-lain. Kecuali dalam satu keadaan yakni setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang puasa wajib maupun sunnah. Dalam keadaan ini hukum siwakan adalah makruh.
Sebenarnya mengenai hukum siwakan bagi orang yang berpuasa setelah tergelincirnya matahari ulama terbagi menjadi dua golongan (tentunya siwakan yang dikehendaki disini adalah siwakan yang tidak menimbulkan adanya barang yang masuk melewati tenggorokan karena siwakan yang demikian bisa dihukumi haram apabila disengaja karena dapat membatalkan puasa) . Ada yang mengatakan makruh ada yang mengatakan tetap sunah. Mari kita bahas satu persatu.
Pertama adalah pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi’i yang mengatakan makruh. Golongan ulama yang pertama ini berlandaskan hadist “bau mulut orang yang berpuasa” yang telah disebutkan diawal. Mereka juga menyampaikan alasan yang logis bahwa bau mulut orang yang berpuasa merupakan bukti dari ketaatan hamba Allah Swt. yang mau menjalankan perintahnya. Sebagaimana keharaman menghilangi darah orang yang meninggal karena berperang dijalan Allah Swt. Dengan bukti tersebut muncullah harapan supaya mendapat ridho dari Allah Swt. Yang perlu digaris bawahi adalah Meskipun demikian mereka sama sekali tidak menyarankan orang yang berpuasa untuk sengaja membuat agar bau mulutnya tidak sedap. Seperti makan bawang, pete, jengkol dan yang lainnya.
Kedua adalah pendapat mayoritas ulama madzhab Maliki yang mengatakan sunah. yang mana Imam Nawawi sendiri mengklaim pendapat ini kuat dari segi dalil. Golongan ulama yang kedua ini berlandaskan kemutlakan hadist nabi mengenai keutamaan siwakan. Menanggapi “hadist bau mulut orang berpuasa” mereka mengartikan khuluf adalah bau mulut yang berasal dari dalam perut yang kosong karena tidak makan. Menurut mereka bau mulut tersebut tidak akan hilang dengan siwakan. Sehingga tidak masalah bagi orang yang berpuasa untuk siwakan walaupun matahari sudah tergelincir.
Baca juga: Setan Dibelenggu Saat Bulan Puasa, Benarkah?
Berikut adalah keterangan ringkas dari kesimpulan siwakan bagi orang puasa diatas:
(وَلَا يُكْرَهُ) بِحَالٍ (إلَّا لِلصَّائِمِ بَعْدَ الزَّوَالِ) وَإِنْ كَانَ نَفْلًا لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ «لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ» وَالْخُلُوفُ بِضَمِّ الْخَاءِ: تَغَيُّرُ رَائِحَةِ الْفَمِ، وَالْمُرَادُ الْخُلُوفُ بَعْدَ الزَّوَالِ – اِلَى أَنْ قَالَ – وَلِأَنَّهُ أَثَرُ عِبَادَةٍ مَشْهُودٌ لَهُ بِالطِّيبِ فَكُرِهَ إزَالَتُهُ كَدَمِ الشَّهِيدِ
“Siwak tidak makruh dalam keadaan apapun kecuali bagi orang yang puasa setelah tergelincirnya matahari meskipun puasa sunah. karena ada hadist “sungguh bau mulut orang puasa lebih wangi bagi allah swt dari pada minyak Kasturi” khuluf adalah berubahnya aroma mulut, yang dimaksud adalah yang ada setelah matahari tergelincir. Juga dikarenakan aroma tersebut adalah bukti dari ibadah maka tidak baik menghilangkannya seperti darah orang yang mati syahid”
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَا لَا أُحْصِي يُتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ» . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ) – إلى أن قال – وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَابِ السِّوَاكِ لِلصَّائِمِ مِنْ غَيْرِ تَقْيِيدٍ بِوَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ، وَهُوَ يَرُدُّ عَلَى الشَّافِعِيِّ قَوْلَهُ بِالْكَرَاهَةِ بَعْدَ الزَّوَالِ لِلصَّائِمِ مُسْتَدِلًّا بِحَدِيثِ الْخُلُوفُ الَّذِي سَيَأْتِي.
“Dari ‘Amir ibn Rabi’ah: “Aku sering melihat Rasululloh Saw. siwakan dan beliau sedang puasa” hadis riwayat Ahmad, Abi Dawud dan Turmudzi. Imam Turmudzi berkata: Hadist ini hasan. Hadis tersebut menunjukkan sunahnya siwakan bagi orang yang berpuasa tanpa ada batasan waktu. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat as-Syafi’i yang mengatakan makruh siwakan bagi orang yang puasa setelah matahari tergelincir dengan dalil hadist bau mulut orang puasa yang akan disebutkan”. (Nail al-`Author)
وَأَبَاحَهُ مَالِكٌ – رَحِمَهُ اللَّهُ -؛ لِأَنَّ الْخُلُوفَ عِنْدَهُ لَا يَزُولُ بِالسِّوَاكِ؛ لِأَنَّ أَصْلَهُ مِنْ الْمَعِدَةِ وَلَوْ زَالَ بِالسِّوَاكِ لَوَجَبَ أَنْ يُمْنَعَ مِنْهُ قَبْلَ الزَّوَالِ؛ لِأَنَّ تَعَاهُدَهُ بِالسِّوَاكِ قَبْلَ الزَّوَالِ يَمْنَعُ وُجُودَهُ مِنْهُ بَعْدَ الزَّوَالِ إنْ كَانَ مُجْتَمِعًا بِالْفَمِ
“Imam Malik membolehkan siwakan bagi orang yang puasa setelah matahari tergelincir. Karena khuluf menurut beliau tidak hilang dengan siwakan. Karena asal aroma t rsebut adalah perut. Andai hilang dengan siwak pastilah siwakan akan dilarang sebelum matahari tergelincir karena membersihkan aroma tersebut dengan siwak diwaktu itu mencegah keberadaannya setelahnya, andai memang asalnya adalah dari mulut”. (al-Muntaqo Syarh al-Muwatho).
Demikian uraian singkat yang dapat kami simpulkan mengenai pendapat ulama tentang bau mulut orang yang berpuasa dan hukum siwakan bagi orang yang berpuasa setelah tergelincirnya matahari. Walhasil menurut hemat kami hendaknya bagi orang yang berpuasa untuk tetap menjaga kebersihan tubuh termasuk kebersihan mulut. Karena bagaimanapun bau mulut yang dapat mendatangkan pahala adalah bau mulut yang muncul dari ketaatan. Bukan bau mulut yang sengaja dibuat dengan tidak membersihkan mulut itu sendiri. Sekian. walllahu a’lam bisshawab.
Dukung dan subscribe akun youtube kami: Pondok Lirboyo