‘Bedo silit bedo anggit’, begitu pepatah Jawa mengatakan, atau dalam bahasa Indonesianya, ‘Beda pantat beda pendapat’. Setiap orang memiliki cara berfikir dan ending mengambil keputusan bagi pertimbangan opininya masing-masing, tentu saja hal ini terjadi karena asupan pengetahuan dan pengalaman yang masuk pada diri seseorang tidak sama antar satu dan yang lainnya. Sehingga, untuk mengomentari-misalkan- satu objek yang sama pun pasti terdapat perbedaan satu dengan yang lainnya.
Dan karena perbedaan adalah suatu keniscayaan, sehingga dalam menyikapi perbedaan pun akan timbul pula perbedaan. Itulah sifat hidup yang tidak bisa kita pungkiri dan hindari, bahkan dalam hal yang urgen pun, semisal sariat Islam, para ulama tidak jarang yang saling berbeda pendapat antara satu dengan yang lainnya.
Namun akhir-akhir ini, fenomena yang mengemuka dihadapan kita seringkali terkesan seolah-olah perbedaan adalah barang haram yang wajib ditumpas, lantas terjadilah usaha-usaha saling menjatuhkan antar kubu-kubu yang berbeda itu. Bahkan tidak jarang, terlontar dengan cara-cara yang tidak apik semisal mencela, mengumpat, menghina atau pun semacamnya. Tentu saja, motivasi terbesarnya adalah agar apa yang diyakini dan ugemi menjadi yang paling unggul diantara yang lainnya.
Sangat maklum tentunya, jika kita sebagai seorang yang waras memiliki naluri untuk unggul dari yang lain, unggul dari segi kelompok, pribadi, prestasi dan lain-lainnya. Namun menjadi bahaya jika cara-cara yang dilakukan adalah dengan cara-cara tidak baik sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu mencela, menghina atau merendahkan pihak lain; yang sebenarnya dampak dari cara-cara demikian malah akan berbalik pada yang memulai. Sebagaimana analogi yang disampaikan nabi dalam sabdanya tatkala menerangkan diantara dosa-dosa besar,
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Sunggu diantara dosa terbesar adalah seseorang yang melaknat kedua orang tuanya sendiri, Beliau ditanya; ‘Bagaimana mungkin seseorang tega melaknat kedua orang tuanya sendiri?’ Beliau menjawab: ‘Seseorang mencela (melaknat) ayah orang lain, kemudian orang tersebut membalas mencela ayah dan ibu si pelaknat.” (HR. al-Bukhari)
Tarulah analogi ini dalam konteks kepemimpinan -misalnya-, maka jika ada seseorang yang mencela pemimpin orang lain, pada hakikatnya ia sedang mencela pemimpinnya sendiri, atau setidak-tidaknya, membuka pintu bagi pemimpinnya untuk dicela, sebagai balasan atas celaan yang dilontarkannya. Di sinilah kita diajari oleh nabi bahwa merendahkan orang yang berbeda dengan kita bukanlah solusi agar kita menjadi yang terbaik diantara yang lainnya.
Oleh karenanya, sudah semestinya bagi setiap orang untuk berusaha mendamaikan atau membiasakan dirinya dengan perbedaan-perbedaan yang mengemuka di sekitarnya, agar perbedaan itu tereksploitasi menjadi khazanah hidup yang dapat dinikmati, bukan justeru menjadi benalu dalam tata kehidupan sosial yang ada.
waAllahu a’lam.(IM)