Hukum Berobat Ke dukun

  • Ali Irham
  • Agu 08, 2022

Akhir-akhir ini perbincangan mengenai dukun palsu yang mengaku bisa mengobati segala penyakit dengan jalan alternatif sedang menjadi sorotan nitizen +62, pasalnya dukun tersebut dituduh melakukan penipuan terhadap pasiennya yang datang untuk berobat.

Hujatan dan cibiran kepada sang dukun pun berdatangan dari berbagai kalangan. Namun, tak sedikit pula yang memilih mengambil sikap netral dan lebih memilih untuk mengambil pelajaran yang berharga dari kejadian tersebut.

Bahwa, seorang muslim yang cerdas tidak akan menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Sehingga tidak akan mudah tertipu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menjadikan agama sebagai kedok atas tindakannya.

Dan bahwa, seorang yang benar-benar teguh imannya tidak akan mudah terprovokasi dan goyah imannya sehingga hilang kepercayaannya kepada orang-orang yang dengan tulus dan ikhlas memperjuangkan agama.

Maka dari itu penulis dengan segala keterbatasan ingin menghadirkan sebuah tulisan sederhana seputar pengobatan khususnya pengobatan alternatif dengan harapan bisa memberikan pandangan positif terkait pengobatan yang sering disalah artikan tersebut.

Urgensi ilmu kedokteran

Imam al-Ghozali dalam Ihya’ Ulum ad-Din menggolongkan ilmu kedokteran sebagai ilmu yang wajib dipelajari oleh umat islam secara kolektif, artinya, jika salah satu daerah sudah ada yang mahir dalam ilmu kedokteran maka sudah menggugurkan kewajiban bagi yang lain.

Ilmu kedokteran digolongkan sebagai ilmu yang fardu kifayah dipelajari sebab kedudukannya sangat sentral bagi keberlangsungan kehidupan manusia dikarenakan berkaitan dengan kesehatan, sementara manusia bisa beribadah jika memiliki tubuh yang sehat.

Sehingga Imam Asy Syafi’i menegaskan dengan pernyataan nya, “Jika engkau masuk ke sebuah negeri, tidak ada pemimpim yang adil, air yang mengalir, juga dokter yang pengasih, maka jangan bermukim di negeri itu.”

Dalam riwayat yang lain, Imam Asy Syafi’i berkata,”Janganlah engkau tinggal di sebuah negeri yang tidak ada di dalamnya seorang ulama yang mengabarimu mengenai persoalan agama-mu, juga tidak ada dokter yang mengabarkan kepadamu masalah badanmu.”

Salah satu murid Imam Asy Syafi’i, Harmalah bin Yahya menyampaikan,”Suatu saat Imam Asy Syafi`i bersedih atas apa yang disia-siakan umat Islam dari ilmu kedokteran, di mana ia berkata.’Mereka telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu, dan menyerahkannya kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani.”

Dari statemen imam asy-Syafi’i yang terakhir ini dapat disimpulkan bahwa kemandirian dalam ilmu kedokteran merupakan bidang yang sangat urgen untuk digalakkan oleh umat islam.

Lantas, Siapakah “dokter” yang mendapat kemulyaan bisa menjalankan amanatnya sebagai seorang dokter.

Rasulullah Saw. bersabda;

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ الْهَرَمِ

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan obatnya selain pikun(HR. Abi Dawud)

Beliau juga bersabda;

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ

“orang yang melakukan pengobatan sementara ia tidak tahu ilmu kedokteran maka ia orang yang menanggung” (HR. Abi Dawud)

Mengomentari hadis diatas, dalam karangannya Nail al-Author, asy-Syaukani menjelaskan bahwa, dokter adalah mereka yang mengetahui penyakit sekaligus obatnya, ia memiliki guru-guru dalam bidangnya tersebut yang telah memberikan lisensi mengenai keahliannya dan mendapatkan izin melakukan praktik.

Lebih rinci lagi asy-Syarbasyi dalam Yas`alunaka fi ad-Din Wa al-Hayah menjelaskan;

“Yang dimaksud dengan guru di sini ialah, para pengajar spesialis yang mengawasi pendidikan para siswanya secara langsung hingga mereka bisa mempraktikannya dan mendapatkan lisensi bahwa mereka telah menguasai ilmu kedokteran, dengan demikian, apabila seorang dokter spesialis menangani pasien, namun ternyata tidak berhasil menyembuhkan, maka ia tidak harus bertanggungjawab atas hal tersebut, sebab ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk penelitian dan pengetahuannya dan ia pun juga tidak ceroboh, sedangkan ketidaksembuhan tersebut bukanlah merupakan kesalahannya.”

Maka jelas bahwa yang dimaksud dokter disini adalah orang yang mengobati pasiennya dengan ilmu kedokteran konvensional, alias kasat mata. Pengobatan yang berdasar penelitian khusus atau disebut sebagai Evidence Based Medicine (EBM).

Lantas bagaimana dengan pengobatan alternatif?

Ada beberapa pemahaman jika disebutkan tentang pengobatan alternatif, diantaranya adalah pengobatan melewati obat-obatan tradisional atau yang lebih ekstrim adalah pengobatan dengan menggunakan do’a-do’a khusus dan bantuan makhluk yang tak kasat mata. Namun demikian, kedua pemahaman tersebut memiliki titik temu kesamaan bahwa pengobatan alternatif atau Complementary and Alternative Medicine (CAM) tidak berdasarkan penelitian secara khusus namun lebih bersifat holistik dan berdampak positif terhadap aspek mental, psikologis, spiritual, dan sosial. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa aspek mental ini sangat berpengaruh bagi kesembuhan orang sakit. Orang yang tidak memiliki mental sembuh akan sulit disembuhkan walaupun dengan pengobatan konvensional sekalipun.

Adapun mengenai penyembuhan dengan menggunakan do’a-do’a khusus di dalam islam mengenal istilah Rukiah, secara bahasa rukiah adalah meminta perlindungan. Sedangkan secara istilah adalah do’a yang dibacakan untuk meminta kesembuhan. Praktik rukiah diperbolehkan dengan catatan:

  • Tetap berkeyakinan bahwa kesembuhan berasal dari Allah Swt. bukan dari do’a-do’a yang dibacakan atau orang yang membacakan do’a
  • Menggunakan do’a-do’a yang tidak mengandung kekufuran seperti membacakan Al-Qur’an dan do’a-do’a yang diajarkan oleh agama bukan do’a-do’a yang tidak jelas artinya atau mengandung kekufuran
  • Tidak menimbulkan mudarat kepada orang lain.

Sementara hukum meminta bantuan makhluk lain yang tak kasat mata diperbolehkan dengan catatan:

  • Pelaku adalah orang yang Mutasri’ (orang yang menjaga agamanya)
  • Tidak dengan perantara (khadam) jin dan setan kafir (Arwah Ghair al-Khoiriyyah)
  • Do’a yang dibacakan untuk meminta bantuan tidak bertentangan dengan syari’at dan mengandung kekufuran.
  • Tidak menimbulkan mudarat kepada orang lain
  • Tetap berkeyakinan bahwa apa yang dikerjakan hanya sebuah ikhtiyar belaka dan yang bisa menyembuhkan hanya Allah Swt.

Kesimpulan kebolehan pengobatan dengan cara demikian sebagaimana disampaikan Abu Sa’id al-Khodimi dalam Bariqoh Mahmudiyah;

فحاصل الإشكال إن أريد من الرقي ما اعتقد تأثيره من غيره تعالى أو ما لا يعلم معناه فحرام وإلا فندب أو سنة وقد نفيتم ذلك ونقل عن النووي أن الرقى في حديث الذين يدخلون الجنة بغير حساب ما هي من كلام الكفار

“Maka kesimpulan dari kejanggalan ialah, apabila yang dikehendaki dari Ruqyah adalah hal yang diyakini pengaruhnya tanpa adanya kehendak Allah atau yang tidak diketahui maknanya, maka haram hukumnya, sedangkan jika tidak demikian, maka disunahkan. Dan sungguh kau menafikan hal tersebut (pengaruh). dan dikutip dari Imam an-Nawawi bahwa, Ruqyah dalam hadis, orang-orang yang masuk surga tanpa hisab bukanlah merupakan perkataan orang-orang kafir dan maknanya pun masih belum jelas, sedangkan ruqyah selain hal tersebut seperti, ayat-ayat Al-Quran dan yang dipahami maknanya, maka hal itu sunah.”

As-Sayyid Alawiy ibn Ahmad as-Sagaf menambahkan dalam Fawaid al-Makiyyah;

ثم التحقيق أن يقال إن كان من يتعاطى ذلك خيرا متشرعا في كامل ما يأتي ويذر وكان من يستعين به من الأرواح الخيرة وكانت عزائمه لا تخالف الشرع وليس فيما يظهر على يده من الخوارق ضرر شرعي على أحد فليس ذلك من السحر بل من الأسرار والمعونة وإلا فهو حرام إن تعلمه ليعمل به بل يكفر إن اعتقد حل ذلك فإن تعلمه ليتوقاه فمباح أو لا ولا فمكروه إهـ.

“Lebih tahqiqnya lagi dengan catatan, pelaku adalah orang yang mutasari’ (orang yang menjaga agamanya) dalam perintah dan larangannya, tidak dengan perantara (khodam) setan dan jin kafir (arwah ghoir al khiyaroh), mantra dan azimatnya tidak bertentangan dengan syariat, tidak menimbulkan kemudharatan syar’i kepada orang lain. Sehingga yang demikian bukan merupakan ilmu sihir, melainkan sebuah hal sirri dan pertolongan dari Allah. Jika tidak demikian, maka metode pengobatan ini haram hukumnya, jika memang ia mempelajarinya hanya untuk profesi dan bahkan bisa menyebabkan kufur, apabila meyakini halalnya metode tersebut. Sedangkan apabila mempelajari mode tersebut hanya agar dapat menghindarinya, maka diperbolehkan dan jika tanpa tujuan, maka dimakruhkan.”

Jika pengobatan dengan mantra khusus dan bantuan mahluk tak kasat mata tidak memenuhi kriteria yang dilegalkan maka tergolong sihir atau sa’badzah yang diharamkan. Begitu pula meminta bantuan apalagi dengan memberikan bayaran atas tindakan tersebut, juga diharamkan. Sebagaimana keterangan imam ar-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj:

لا يَظْهَرُ أثَرُ السِّحْرِ إلّا عَلى فاسِقٍ، ويَحْرُمُ تَحْرِيمَ الكِهانَةِ والتَّنْجِيمِ والضَّرْبِ بِالرَّمْلِ وبِالشَّعِيرِ وبِالحِمِّصِ والشَّعْبَذَةُ وتَعْلِيمُ هَذِهِ كُلِّها وأخْذُ العِوَضِ عَلَيْها حَرامٌ بِالنَّصِّ الصَّحِيحِ فِي النَّهْيِ عَنْ حُلْوانِ الكاهِنِ والباقِي فِي مَعْناهُ.

“Pengaruh sihir tidak muncul kecuali dari orang fasik. Dan hukumnya haram seperti keharaman kahanah (perdukunan), tanjim, ramalan-ramalan, sa’badzah (sulap). Mempelajari hal demikian haram begitu pula meminta bayaran darinya dengan dengan keterangan yang jelas yang melarang perdukunan dan sisanya memiliki arti yang semakna.”

Sekian, semoga bermanfaat. Waalahu a’lam bi as shawab

Reverensi:

Abu al-Hasan al-Aburiy, Muhammad Ibn Husain, Manaqib Al Imam Asy Syafi’i, ad-Dar al-Atsariyyah, cet. Pertama. Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, Mausu’ah fiqhiyyah kuwaitiyyah, CD. Maktabah Syamillah. Syams Ad-Din Ar-Ramli, Muhammad Ibn Abi Al-Abbas, Nihayah Al-Muhtaj, CD. Maktabah Syamilah. Dan Yang Lain.

Baca: Tahun Baru Sebagai Manifestasi Rasa Syukur, Pro dan Kontra Citayam Fashion Week, Bagaimana Pandangan Islam?

Kunjungi Chanel Youtube: Pondok Lirboyo

3

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.