Bolehkah Wanita Haid Membaca al-Qur’an?

Datang bulan atau menstruasi (haid) merupakan sebuah keistimewaan khusus yang hanya dimiliki oleh kaum wanita. Tentu dalam konteks ini, Islam tidak lepas tangan untuk mengatur segala hukum syariat yang berhubungan dengannya. Salah satu bentuk tatanan syariat tersebut adalah keharaman wanita haid untuk membaca al-Qur’an. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah Saw pernah bersabda:

لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ…. حَدِيثُ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ

Tidak diperbolehkan bagi orang yang junub dan orang yang haid untuk membaca sesuatu dari al-Qur’an”, (HR. Tirmidzi dan lainnya).

Namun, keumuman hadis tersebut tidak serta merta memukul rata semua keadaan bahwa wanita haid haram untuk membaca al-Qur’an. Berbagai perselisihan pendapat ulama madzhab fiqih juga menjelaskan beberapa keadaan yang melegalkan mereka tetap diperbolehkan membaca al-Qur’an.

Dalam madzhab Syafi’iyah, pembahasan hukum wanita haid membaca al-Qur’an terdapat beberapa permasalah yang perlu dipahami, yaitu:

  1. 1. Apabila membaca al-Qur’an diniati untuk membaca al-Qur’annya, maka hukumnya haram.
  2. 2. Apabila membaca al-Qur’an diniati untuk membaca al-Qur’annya dan disertai dengan niat yang lain, maka juga dihukumi haram.
  3. 3. Apabila membaca al-Qur’an diniati selain untuk membaca al-Qur’an seperti untuk menjaga hafalan, membaca zikir, kisah-kisah, hukum-hukum dalam al-Qur’an, mauidzah (petuah), maka hukumnya diperbolehkan.
  4. 4. Apabila membaca al-Qur’an karena tidak ada kesengajaan untuk mengucapkannya, maka hukumnya diperbolehkan.
  5. 5. Apabila membaca al-Qur’an diniati secara mutlak, yakni sekedar ingin membaca tanpa niat tertentu, maka hukumnya diperbolehkan.
  6. 6. Apabila membaca al-Qur’an diniati secara mutlak atau juga diniati selain al-Qur’an, namun yang dibaca adalah susunan kalimat khas al-Qur’an atau satu surat panjang atau keseluruhan al-Qur’an, maka hukumnya diperselisihkan oleh para ulama (khilaf). Menurut imam an-Nawawi dan para ulama pendukungnya, dalam kasus ini masih diperbolehkan. Sedangkan imam az-Zarkasyi dan ulama lainnya masih tetap memegang hukum keharamannya.
  7. 7. Apabila membaca al-Qur’an diniatkan pada salah satunya (membaca al-Qur’an diniati secara mutlak atau niat selain al-Qur’an) tanpa dijelaskan yang mana yang ia maksud, maka hukumnya khilaf. Menurut qaul mu’tamad (pendapat yang dapat dijadikan pegangan) diharamkan, karena masih adanya kemungkinan niat pada bacaan al-Qur’annya.[1]

Adapun di dalam madzhab Malikiyah, wanita haid diperbolehkan membaca al-Qur’an secara mutlak, yaitu ketika membacanya dalam kondisi darah haid sedang keluar, baik disertai hukum junub ataupun tidak. Hukum ini juga berlaku meskipun wanita haid tersebut khawatir akan lupa atas al-Qur’an atau tidak.

Adapun ketika darah haidnya berhenti, maka ia tidak diperbolehkan membaca al-Qur’an sebelum mandi hadas. Kecuali bila khawatir lupa, atau kecuali dengan menengok pada pendapat lemah (qaul dha’if) yang memperbolehkan selama haidnya tidak disertai junub.[2]

Walhasil, berbagai pendapat yang mengemuka di antara para ulama sangatlah beragam. Keberagaman ini murni dihasilkan dari kapasitas dan kemampuan ijtihad yang mereka lakukan. Pada gilirannya, semuanya akan tetap bermanfaat, terutama dalam menjawab berbagai permasalahan haid yang semakin kompleks sesuai perkembangan zaman.

One thought on “Bolehkah Wanita Haid Membaca al-Qur’an?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.