Pada edisi sebelumnya telah disampaikan bahwa budaya Indonesia yang beraneka ragam perlu disikapi dengan bijak supaya dapat dijadikan media bermasyarakat yang paling efektif. Dengan berbagai sudut pandang dan filter pemahaman yang tepat maka misi tersebut akan mudah tercapai. Sebelumnya telah disampaikan sudut pandang syariat dan filter akidah. Selanjutnya akan kami sampaikan filter amaliah serta sudut pandang sosial dan psikologis.
Filter amaliyah. Yakni seleksi atau penilaian pada sebuah budaya apakah budaya tersebut bisa ditolerir oleh syari’at atau tidak. Bila suatu budaya mau tidak mau pasti mengandung larangan agama seperti penyia-nyiaan harta, maka budaya tersebut tidak layak dilestarikan. Namun jika sebaliknya, maka sebisa mungkin larangan agama itu dihindari.
Kendati begitu, pada realitanya pengakomodiran suatu budaya tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh kesabaran dan keuletan. Namun setidaknya sedikit demi sedikit budaya yang telah mengakar kuat ditengah masyarakat diupayakan agar tidak berseberangan dengan agama. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Imam al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumuddin Vol. 3 Halaman 62 :
“وَمِنْ لَطَائِفِ الرِّيَاضَةِ إِذَا كَانَ الْمُرِيْدُ لَا يَخْسُو بِتَرْكِ الرُّعُوْنَةِ رَأْسًا أَوْ بِتَرْكِ صِفَةٍ أُخْرَى وَلَمْ يُسَمَّحْ بِضِدِّهَا دَفْعَةًُ فَيَنْبَغِي أَنْ يَنْقُلَهُ مِنَ الْخُلُقِ الْمَذْمُوْمِ إِلَى خُلُقٍ مَذْمُوْمٍ آخَرَ أَخَفَّ مِنْهُ كَالَّذِيْ يَغْسِلُ الدَّمَ بِالْبَوْلِ ثُمَّ يَغْسِلُ الْبَوْلَ بِالْمَاءِ إِذَا كَانَ الْمَاءُ لَا يُزِيْلُ الدَّمَ كَمَا يُرْغَبُ الصَّبِيُّ فِي الْمَكْتَبِ بِاللَّعْبِ بِالْكُرَّةِ وَالصَّوْلَجَان وَمَا أَشْبَهَهُ ثُمَّ يُنْقَلُ مِنَ اللَّعْبِ إِلَى الزِّيْنَةِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ ثُمَّ يُنْقَلُ مِنْ ذَلِكَ بِالتَّرْغِيْبِ فِي الرِّيَاسَةِ وَطَلَبِ الْجَاهِ ثُمَّ يُنْقَلُ مِنَ الْجَاهِ بِالتَّرْغِيْبِ فِي الْآخِرَةِ”
“termasuk dari riadhah yang ampuh adalah bila seorang murid tidak mau meninggalkan kerendahan sama sekali atau meninggalkan sifat buruk yang lain dan tidak mau menggantinya dengan sifat (baik) yang berlawanan, maka sebaiknya seorang guru memindahnya dari akhlaq tercela kepada akhlaq tercela lain yang lebih ringan, seperti seseorang yang membasuh darah dengan air seni kemudian membasuh air seni tersebut dengan air ketika air tidak bisa (secara langsung) menghilangkan darah. Seperti seorang bocah yang dibujuk masuk sekolah dengan bermain bola dan tongkat pemukulnya dan permainan yang semisalnya, lalu memindahnya dari (menggemari) permainan kepada (menggemari) perhiasan dan pakaian mewah, lalu darinya dialihkan agar menggemari kepemimpinan dan jabatan, dan dari jabatan dialihkan agar menggemari akhirat”
Dua filter diatas menunjukkan bahwa apabila masih ditemukan peluang untuk disisipkan nilai-nilai agama maka tidak menutup kemungkinan budaya-budaya masyarakat diatas dapat mengandung unsur-unsur positif dan bisa terakomodir oleh syari’at secara proporsional. Sehingga puncaknya dapat digunakan sebagi media untuk berdakwah, bermasyarakat, dan menumbuhkan norma-norma di kalangan masayarakat sesuai dengan kultur masyarakat tersebut.
Kedua, sudut pandang sosial. Jika berbicara tentang sosial, pasti tidak akan terlepas dari masyarakat atau orang lain, sebagaimana yang disampaikan oleh bapak sosiologi dunia Imam Ibnu khaldun yang wafat tahun 1406 M. Lebih lanjut beliau menjelaskan dalam Muqaddimah-nya bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, yakni makhluk yang selalu membutuhkan orang lain untuk mempertahankan kehidupannya dalam segala aspek, dan ini termasuk sebuah keharusan. Dan diantara menjalankan peran sosial dalam konteks budaya adalah bagaimana cara mengambil sudut pandang pada sebuah permasalahan secara proporsional.
Tidak ada hukum paten dalam konteks sosial. Semua berdasar hukum-hukum kebiasaan yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri secara langsung maupun tidak langsung. Dan ini biasa dikenal dengan istilah norma sosial. Maka, hendaknya bagi pelaku budaya, lebih cerdas dalam menyikapi kepercayaan-kepercayaan yang demikian. Misalnya budaya sesajen.
Masyarakat jawa mampercayai jika tetap melestarikan budaya sesajen ini, mereka akan selamat dari mara bahaya dalam bentuk apapun, entah berupa gangguan jin, atau musibah-musibah yang akan menimpa mereka. Budaya ini apabila langsung dihilangkan akan menyakiti para sesepuh masyarakat yang telah konsisten melestarikannya.