CERPEN: Guruku; Rimba-Raya

Semilir angin berkelit di antara jendela kelas, membuat rambutmu yang biasa disisir rapi terlihat memberontak bosan, berusaha bercengkrama dengan alam. Sedikitpun kau tak bergeming, tetap fokus pada buku pelajaran. Mendung di luar membuat seisi ruangan menjadi gelap. Kau suruh salah seorang muridmu menyalakan lampu meski saat itu masih pukul 10 pagi.

“Cuaca akhir-akhir ini tak memungkinkan kita untuk mengadakan praktek di lapangan sekolah. Sebagai gantinya saya akan bercerita pada kalian.” Tuturmu membuka pelajaran.

               “Anak-anak, ketahuilah, akibat dari pemanasan global cuaca sekarang tidak menentu dan sulit diprediksi.” Kau bercerita bahwa kebakaran hutan menyebabkan polusi udara, laut sekarang tak sebiru di masa lalu. Kami, anak zaman kerusakan selalu dikambing-hitamkan oleh angkuhnya moral manusia.

               “Masih penak zamanku, toh?” Dengan gaya bapak pembangunan kau mengejek kami. Separah apapun kau merendahkan kami, anak zaman sekarang, di akhir kelas kau selalu meniupkan semangat kepada kami, untuk bangkit dari keterpurukan.

Kau jelaskan bahwa air yang mengalir selalu mencari tempat yang lebih landai. Sesuai yang sudah digariskan oleh penciptanya, air takkan menggenang pada dataran yang lebih tinggi. Kau lanjutkan dengan mengutip teori Galileo, manusia tidak akan selamanya berada pada posisi yang sama dalam sehari-semalam. Bahkan, akan terus berputar dari tempat tinggi lalu beranjak ke posisi terendah. Walhasil, kehidupan tak selamanya indah, suatu saat akan berubah menuju titik terburuk yang tak pernah dirindukan. Begitupun sebaliknya.

               “Kita terluka hari ini, mereka terluka selamanya. Kalian harus bertahan dalam masa perjuangan, agar esok menuai hasil yang memuaskan. Karena sukses itu dinilai dari usahanya, bukan hasilnya. Nikmati prosesnya, jangan hanya berandai-andai esok hari kita akan menjadi seperti apa.” Ucapmu waktu itu menyulut sorak-sorai dan tepuk tangan dari kami, murid-muridmu. Menggugah jiwa-jiwa yang masih setia di titik nyaman, agar beranjak pergi menyaksikan dunia di luar sana yang begitu indah untuk sekedar diratapi.

Layaknya sungai, kau adalah mata air yang mengalirkan semangat pada muara di hati kami.

               Hari-hari menjadi lebih berwarna sejak kau hadir di sekolah kami. Kuingat kebiasaanmu membubuhkan kalimat motivasi di papan tulis, untuk kemudian kami baca bersama-sama dengan lantang. Man jadda wajada, adalah salah satunya. Aku sendiri awalnya tak mengerti maksud tulisan itu, hingga suatu hari kau bercerita bahwa kalimat arab itu kaudapat dari gurumu dulu di pesantren. Arti kalimat itu adalah barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapat hasil yang memuaskan.

               Kau juga begitu perhatian pada setiap muridmu. Selalu kau tanyakan kabar muridmu yang tidak hadir karena sakit atau uzur yang lain.

               Bagiku kau bukan sekedar PNS pengharap gaji pemerintah. Dengan ikhlas kau sumbangkan sebagian uang gajimu kepada orang tua siswa yang kurang mampu. Tak perlu ragu, aku yakin anak-istrimu pastilah tercukupi dengan hasil pekerjaanmu di luar jam sekolah. Kau sering berpesan, “Sebagian dari penghasilan yang kita terima, terdapat hak yang harus diberikan kepada orang lain, agar kehidupan ini seimbang.”

               “Lihatlah, betapa banyak anak kecil yang terpaksa bekerja, berpanas-panasan di pinggir jalan . Sementara kita sering lupa betapa perih kehidupan yang mereka jalani. Bersyukurlah, kalian masih bisa menikmati indahnya belajar!” Nasehatmu pada kami.

               Sebagai ketua kelas, aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan seisi kelas memperhatikan ucapanmu. Tepat saat mataku berhenti, di bangku paling belakang kulihat sesosok muridmu tertunduk bagai pohon kelapa di tepi pantai, terhempas oleh kencangnya angin, akarnya rapuh tak sanggup mencengkeram tanah yang lemah akibat terkikis abrasi kehidupan.

               Tak berselang lama, lonceng sekolah terdengar memekik di telinga, begitu angkuh menghabisi kami yang sedang asyik-masyuk oleh keterangan-keterangan yang kau paparkan. Kami seolah dipaksa pergi dari rumah sendiri.

               “Anak-anak, sekarang waktunya istirahat. Silahkan kalian gunakan dengan bijak.” katamu meredakan kejengkelan kami.

               Setelah seisi kelas berhamburan pergi, aku beranjak menemui sosok lesu di bangku belakang tadi. “Boleh aku duduk di sampingmu?” Aku memohon padanya.

               Dengan satu anggukan ritmis, sosok itu sepertinya berkenan dengan keberadaanku di sampingnya.

   “Perkenalkan namaku Rimba!” Aku menawarkan tangan.

“Aku Raya.” Ucapnya lirih tak bersemangat.

Kulihat jauh di dalam matanya, ada sesuatu yang merongrong sebentuk kepedihan bertumpuk-tumpuk. “Kenapa kamu tidak keluar kelas?” Dengan canggung aku berusaha membuka pembicaraan.

               “Kalau pun aku menjawabmu, kau pasti takkan mengerti maksudku.” Jawabnya ketus. “Rimba. Dari awal aku sudah tahu namamu. Kau pasti heran melihatku lemas saat siswa lain bersemangat. Sadarlah! Sejatinya aku tidak pernah ada dalam kehidupan yang kaujalani.”

               Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan. Jawaban Raya tidak sesuai dengan pertanyaanku. “Apa maksudmu?” Tanyaku lagi.

               “Perlu kau ketahui, aku ada bukan sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Aku hanyalah isyarat alam terhadapmu. Lihat sekitarmu! Alam sudah tidak lagi bersahabat dengan manusia. Mungkin hanya dengan bencana kita bisa sadar, berusaha merawat, dan memperbaiki kerusakan di muka bumi.” Lanjut Raya.

               Aku semakin heran dengan Raya. Ia tiba-tiba melampiaskan kekesalannya padaku. Sedang, apa penyebabnya hingga ia bertingkah seakan aku telah berbuat kesalahan yang sebegitu besar? Padahal baru kali ini aku melihatnya di kelas. Kemana saja dia selama ini? Ataukah, aku saja yang terlalu acuh sampai teman sekelas saja tidak semua aku kenali, padahal aku ketua kelas?

               Hening semakin menyeruak di antara kami. Raya masih terdiam, tak nampak akan melakukan sesuatu. Namun, dugaanku salah. Ia sedikit bergeser dari tempat duduknya, berusaha mendekat padaku. Tanpa rasa canggung, tiba-tiba Raya berbisik lirih di dekat telingaku.

               “Rimba, kau harus tetap hijau! Tunggulah, suatu saat alam akan menyirami duniamu.”

*

               “Rimba, bangun!” Ucapmu sambil menepuk kencang pundakku.

               “Hah….!” Aku terlonjak. Bangun dari tidurku. Keringat membasahi tubuhku dan membuat nafasku naik-turun. Kau membangunkanku.

               “Kita harus segera pergi mencari tempat berlindung. Ada gempa bumi!”     Ruangan kelas begitu riuh oleh teriakan. Semua siswa berlarian tak tentu arah. Syahdan, ternyata sedari tadi aku lelap tertidur. Dan pertemuanku dengan Raya hanya sebatas mimpi!

“Ah, aku harus lari!” Seruku dalam hati.

*

               Nahas, gempa dan tsunami banyak menelan korban. Ribuan jiwa terenggut nyawanya, menyisakan kecamuk pada pikiran orang-orang yang ditinggalkan. Aku menyisir kesana-kesini. Kulihat pohon-pohon berserakan, bangunan jungkir-balik tak beraturan, bercampur bersama bekas air laut yang mengamuk hingga daratan. Hari itu, dengan bermodal seragam sekolah koyak, aku berjalan tertatih. Ada sedikit luka lebam akibat tertimpa reruntuhan saat banjir bandang berlangsung. Syukur aku selamat.

               Kusadari, bencana adalah sebuah perwujudan dari murka alam. Hutan yang dahulu hijau tertanami pepohonan rindang menjelma gedung pencakar langit. Laut biru kini tak lagi indah karena tercemar limbah. Katanya itu semua adalah satu bentuk perkembangan zaman. Namun imbas yang timbul darinya adalah rusaknya lingkungan. Perkembangan harusnya tak merusak! Jika merusak, patutkah dikatakan demikian? Sebut saja, globalisasi kalian itu adalah awal menuju kematian dunia.

*

               Langit kembali cerah. Hari di mana aktivitas sekolah kembali berjalan seperti semula. Gempa-tsunami telah lalu, membekas pada ranting, bangunan dan bekas-bekas lain di setiap sudut sekolah. Juga pada hati kami yang runtuh saat mendengar kabar bahwa kau menghilang! Hingga detik di mana kisah ini ditulis kau belum juga ditemukan.

               “Akan selalu ku kenang tiap nasihatmu. Kau disana, atau entah dimana, akan tetap menjadi guru kami!”

               Do’aku sepanjang waktu.[]

Lirboyo, 24 November 2019

*Penulis Muhammad Abdu Fadlillah. Santri 22 tahun asal Indramayu, Asrama HMC-15.

Baca juga:
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA (BAG. 1)

Subscribe Juga: Pondok Pesantren Lirboyo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.