Dari Kasidah Ka’ab Hingga Maulid Nabi

Kebencian bisa berubah sepenuhnya menjadi rasa cinta. Kita bisa saja membenci seseorang, benci dengan amarah yang membara dan menjadi-jadi, namun esoknya rasa benci itu berubah drastis. Menjadi cinta dan rindu.

Syahdan, Sahabat Ka’ab bin Zuhair RA. Saat itu belum masuk islam. Jangankan masuk islam, mengenal islampun tidak. Ia hanya mendengar kata “islam” dari kawan-kawan yang sangat membenci agama itu. Ia salah paham tentang islam, terusik opini publik yang beredar, islam datang tiba-tiba, mengusik adat dan budaya Arab yang sudah tertanam lama, mengusik bangsa Arab karena islam mengatakan bahwa mereka “salah jalan”. Mereka telah lama hidup dalam kebodohan, dengan menyembah patung-patung tak bernyawa yang disucikan. Islam datang, dan tiba-tiba mencela Latta dan ‘Uzza. Sahabat Ka’ab bin Zuhair RA hanya tahu islam dari gosip-gosip yang berkembang, namun belum pernah secara langsung mengenal dengan dekat sang pembawanya; Nabi Muhammad SAW. Ia hanya melihat islam dari sebuah pantulan cermin, belum pernah melihat agama iu seutuhnya. Dari dimensi terbatas itu, ia membuat kesimpulan yang keliru.

Sahabat Ka’ab bin Zuhair RA adalah tokoh. Ia merasa memiliki pengaruh besar dengan kepiawaiannya menggubah syair. Dan itu benar. Kalau disebutkan, siapakah penyair paling tenar pada masa  itu, maka jawabnya adalah Labid, dan Ka’ab bin Zuhair. Bahasa-bahasa yang saat dilontarkan, bisa saja mengobarkan perang besar muncul dari sosoknya.

Saat itu syair dianggap harta yang sangat berharga. Ia tak ubahnya dewa. Tak ubah cahaya. Bangsa Arab menghargai betul syair, dan menghargai betul setiap bait yang keluar dari mulut penyair-penyair idola mereka. Mereka mengadakan pentas-pentas tahunan di pasar-pasar. Lomba tahunan di pasar ‘Ukadz adalah salah satunya.

Dan karena Ka’ab hidup di lingkungan yang membenci Nabi Muhammad SAW, ia juga menggubah syair-syair yang mencela dan memaki habis-habisan Nabi Muhammad SAW. Ia tak membuka pintu sedikitpun, untuk paling tidak membuktikan apakah kalimat-kalimat yang ia ciptakan ada benarnya. Ia bersyair, sebagai orang yang belum tahu kebenaran islam.

Tahun 628 M. Islam mulai mendapatkan pengaruh besar di kota kelahiran nabi; Mekah. Kota Mekah berhasil dikuasai. Peristiwa besar itu diabadikan dalam ingatan semua orang. Peristiwa Fathul Makkah. Berbondong-bondong orang masuk islam, berbondong-bondong dengan sukarela. Cahaya islam semakin kentara, patung-patung berhala dihancurkan, dan orang islam kini bisa bersembahyang di masjidil haram dengan bebas.

Kabar kemenangan Rasulullah SAW sampai kemana-mana. Kakak Ka’ab bin Zuahair, Bujair bin Zuhair RA yang pada waktu itu telah memeluk islam mengabari adiknya. Ia melayangkan sepucuk surat.

Rasulullah SAW telah mengeksekusi beberapa orang yang dulu mencelanya dan menyakitinya. Dan para penyair Quraisy yang tersisa adalah Ibn Ziba’râ dan Hubairah bin  Abî Wahb. Mereka telah melarikan diri. Kalau dalam dirimu memang masih ada hajat (untuk hidup), maka pergilah temui Rasulullah SAW. Karena Rasul tak pernah membunuh seorangpun yang bertaubat mendatanginya. Kalau kau tak mau melakukan itu, maka carilah keselamatanmu dengan melarikan diri.

Ka’ab bin Zuhair segera membalas surat itu. Ia membalasnya dengan untaian syair. Syair yang justru mengecam dan menyudutkan Nabi Muhammad SAW. Syair ini sampai juga kepada Nabi. Bujair pun membalas syair Ka’ab. Lalu hati Ka’ab mulai ragu. Tak ada lagi niatan baginya untuk melarikan diri, karena lapangnya dunia sudah terasa sangat sempit. Ia tak merasa memiliki tempat sembunyi yang aman. Ia lalu memutuskan untuk pergi menemui Rasulullah SAW di Madinah. Sebuah keputusan yang penting dan berani dalam hidupnya. Ia telah pasrah, apapun yang akan terjadi.

Ia menempuh perjalanan menuju Madinah, kota berperadaban yang baru saja menggeliat. Tiba disana, ia beristirahat ditempat kenalannya yang berasal dari Juhainah. Orang itu menyediakan tempat istirahat sesaat. Tidak lama, karena pagi-pagi buta Ka’ab langsung berangkat menunaikan salat Subuh. Tak sabar ia jumpa Rasulillah SAW. Tak sabar pula ia menantikan apa yang selanjutnya terjadi. Tentu saja Ka’ab meminta temannya untuk menunjukkan dimana Rasulullah SAW. Karena selama ini ia belum pernah berjumpa beliau, ia hanya tahu dan mendengar dari orang-orang. Ketika salat Subuh telah usai, Ka’ab minta ditunjukkan dimana Rasul duduk. “Itu dia Rasulillah, berdirilah dan mintalah jaminan keamanan padanya.” Kata kawan Ka’ab.

Maka bergegaslah Ka’ab bin Zuhair RA menjumpai Nabi Muhammad SAW. Ia mendekat dan duduk didekat beliau. Tangan Ka’ab diletakkan di tangan Nabi Muhammad SAW. Pada waktu itu, Nabi belum mengenal siapa orang didepannya. Orang asing yang tiba-tiba duduk didepan Nabi itu.

Tanpa basa-basi, Ka’ab langsung mengutarakan maksudnya. Ia tidak langsung mengatakan dan mengakui bahwa ialah Ka’ab bin Zuhair RA. Tentu saja atas perlakuan dan sikapnya selama ini terhadap nabi. Orang-orang disekitar Nabi juga tak ada yang berkata apapun. Mereka hanya tahu syair-syair Ka’ab, namun belum pernah melihat rupa penyairnya.

Wahai Rasulallah, Ka’ab bin Zuhair sudah datang dan minta jaminan keamanan kepadamu. Ia bertaubat dan masuk agama islam. Maka adakah engkau mau menerimanya jika aku datang padamu membawa serta dia?” Kata Ka’ab dengan nada politisnya.

Nabi Muhammad SAW bukanlah pribadi yang pendendam. Beliau juga bukan pribadi yang suka mengungkit-ungkit kesalahan seseorang. Beliau selalu membuka lapang pintu maaf, dan menerima siapapun yang sadar dan bertaubat. “Tentu saja”, kata Nabi.

Mendengar jawaban tersebut seperti mendapat angin segar. Tanpa ragu lagi Ka’ab mengaku, “Aku wahai Rasul! Ka’ab bin Zuhair”.

Spontan saja, salah seorang sahabat Anshor melompat hendak menikam Ka’ab. “Biarkanlah aku dan musuh Allah ini, aku penggal lehernya!

Namun Nabi Muhammad SAW menjawabnya dengan bijak. Beliau tidaklah membiarkan seorangpun melukai orang yang sudah masuk islam. “Biarkan dia, karena dia telah datang bertaubat. Tak melakukan lagi apa yang dilakukannya dulu.

Kemudian ia menyenandungkan kasidah yang begitu popular dan melegenda, Banât Su’âd. Bânat Su’âd, itu kalimat pertama kasidah ini.

بانَت سُعادُ فَقَلبي اليَومَ مَتبولُ ** مُتَيَّمٌ إِثرَها لَم يُفدَ مَكبولُ

Su’ad berpisah jauh sekali, maka hatiku hari ini sedih, sakit karena cinta. Lemah lunglai tak mampu lepas dari ketertawanan dan belenggu.

وَما سُعادُ غَداةَ البَينِ إِذ رَحَلوا ** إِلّا أَغَنُّ غَضيضُ الطَرفِ مَكحولُ

Dan Su’ad di pagi hari pergi, ketika mereka pergi hanyalah suara erang rusa dan kedipan mata.

هَيفاءُ مُقبِلَةً عَجزاءُ مُدبِرَةً ** لا يُشتَكى قِصَرٌ مِنها وَلا طولُ

Pinggangnya indah berpantat besar, tidaklah ada aib, entah dia pendek atau tinggi.

تَجلو عَوارِضَ ذي ظَلمٍ إِذا اِبتَسَمَت ** كَأَنَّهُ مُنهَلٌ بِالراحِ مَعلولُ

Gigi-gigi tersingkap bila tersenyum, seakan sedang terus menerus meminum arak.

شُجَّت بِذي شَبَمٍ مِن ماءِ مَحنِيَةٍ ** صافٍ بِأَبطَحَ أَضحى وَهُوَ مَشمولُ

Bercampur dengan air dingin bening mengalir banyak yang diambil waktu dhuha dihembus angin utara 

Sahabat Ka’ab bin Zuhair RA memohon maaf kepada Nabi dalam gubahan syairnya, memuji Nabi Muhammad SAW, memuji para sahabat. Ia tidak melewatkan kesempatan baik, saat semua orang berkumpul, dan mendengarkan syairnya.

لا تَأَخُذَنّي بِأَقوالِ الوُشاةِ وَلَم ** أُذِنب وَلَو كَثُرَت عَنّي الأَقاويلُ

Janganlah engkau menghukumku berdasar kata-kata para pengadu domba, padahal aku tidak bersalah, meski banyak di jadikan telah beredar banyak gosip.

لَقَد أَقومُ مَقاماً لَو يَقومُ بِهِ ** أَرى وَأَسمَعُ ما لَو يَسمَعُ الفيلُ

Aku telah menghadiri suatu majlis, yang kalaulah aku menghadirinya, aku akan melihat dan mendengar sesuatu yang kalaulah didengar oleh seekor gajah

لَظَلَّ يُرعَدُ إِلّا أَن يَكونَ لَهُ ** مِنَ الرَسولِ بِإِذنِ اللَهِ تَنويلُ

Dia akan terus merasa takut, kecuali baginya diberikan harapan dari Rasul dengan rido Allah.

Rasulullah menerima taubat Ka’ab. Bahkan beliau memberikan burdah yang sedang beliau kenakan. Jubah itu menjadi warisan turun-temurun, sampai pada keluaarga para khalifah Ummayah dan Abbasiyah. Sebuah kenang-kenangan yang indah, dan bukti bahwa Nabi Muhammad SAW tidak marah apabila seseorang menyanjungnya lewat sebuah kasidah. Nabi tidak akan pernah marah karena maulid, justru beliau merestuinya.[]

 

Disarikan dari: Sirah Ibn Hisyam juz 2. Hal 510. Maktabah Darul Kutub ‘Ilmiyyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.