“Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di kota Madinah, orang-orang berduyun-duyun mendatangi beliau. Mereka berkata, ‘Rasul telah tiba!’. Akupun mengikuti kerumunan mereka untuk turut melihat. Ketika nampak wajah beliau, aku langsung tahu bahwa wajah beliau bukanlah wajah seorang pendusta. Hal pertama yang aku dengar dari beliau adalah ‘Wahai sekalian manusia! Sebarkanlah salam, berikanlah makanan, jalin silaturahim, dan salatlah pada malam hari ketika orang-orang tengah tertidur. Maka kalian semua akan masuk surga dengan selamat.’” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Al-Hakim)
Kedatangan Nabi Muhammad SAW ke kota Yastrib menjadi kabar gembira bagi penduduk kota tersebut. Mereka berbondong-bondong ingin tahu, dan ingin melihat langsung bagaimana rupa nabi yang selama ini telah dijanjikan. Tak luput pula, ‘Abdullâh bin Salâm, perowi hadis ini. Beliau merupakan salah seorang beragama yahudi yang paling terhormat di kota tersebut. Menurut sejarah, beliau masih keturunan nabi Yusuf AS, dan beliau bak lautan dalam hal keilmuan. Beliau banyak tahu akan kitab suci umat nabi Musa AS. tersebut.
‘Abdullâh bin Salâm yang ketika itu masih belum memeluk islam, menceritakan dalam hadisnya, bagaimana pertama kali kesannya berjumpa nabi, dan bagaimana sekilas suasana ketika itu. Kala itu orang-orang berteriak bahagia, “Rasul telah tiba!” hingga tiga kali. Mereka berduyun-duyun mengerumuni nabi besar Muhammad SAW yang ketika itu masih baru sampai di Quba’. Dengan hanya melihat wajah beliau saja, muncul benih-benih keimanan dalam hati ‘Abdullâh bin Salâm, ia langsung percaya dan membenarkan nabi Muhammad SAW. Hal ini pulalah yang akhirnya diabadikan dalam Alquran (al-Ahqof: 10),
Menurut sebagian mufassir, sosok yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ‘Abdullâh bin Salâm.
Dalam hadis tersebut, nabi mewasiatkan empat hal penting. Empat hal yang jika dapat dilakukan, beliau telah menjanjikan surga.
Wasiat Pertama: Sebarkanlah Salam
Salam adalah salah satu media dan jalan untuk menciptakan jalinan kasih sayang. Salah satu cara yang paling tepat untuk menebarkan kedamaian dan persaudaraan antar umat muslim dengan saling mendoakan. Wasiat nabi untuk menebarkan salam, tak kurang maksudnya adalah anjuran bagi kita untuk memperbanyak mengucapkan salam kepada setiap muslim yang kita temui. Beliau nabi pernah bersabda,
“Dari sahabat Abu Hurairah RA beliau berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda ‘Kalian semua tidak akan masuk surga sebelum beriman. Dan kalian belum bisa sempurna imannya sebelum saling mengasihi. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mengasihi? Sebarkanlah salam diantara kalian.’” (HR. Muslim)
Tidak sampai disini saja, salam juga termasuk salah satu syiar islam dan hak seorang muslim. Nabi bersabda:
“Dari sahabat Abu Hurairah RA, nabi pernah bersabda, ‘hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam perkara’. Sahabatpun bertanya, apakah itu wahai rasulallah? Nabi menjawab ‘Ketika kamu jumpa seorang muslim, maka ucapkanlah salam. Ketika kamu diundang, maka datangilah. Ketika ada muslim yang minta nasihat, maka nasihatilah. Ketika ada muslim yang bersin, kemudian membaca hamdalah, maka doakan. Ketika ada muslim yang sakit, maka jenguklah. Dan ketika ada muslim yang meninggal, maka hadirlah mengantarkannya.” (HR. Muslim)
…
[ads script=”1″ align=”center”]
Wasiat Kedua: Berikanlah Makanan
“Dan mereka (Al-Abrâr, orang-orang yang taat kepada Allah) memberikan makanan karena cinta kepada Allah untuk orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (Mereka berkata) ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.’” (QS. Al-Insan: 8-9)
Memberikan makanan juga menjadi amaliah yang merupakan perantara untuk masuk surga. Hal tersebut nyata, kala seorang sahabat menghadap nabi dan mengemukakan pertanyaan tentang amaliah yang menjadi perantara agar dapat memasuki surga-Nya.
“Wahai rasul, apakah yang bisa menetapkan masuk surga? Nabi menjawab ‘Katakanlah perkataan yang baik, dan sedekahkanlah makanan.” (HR. Thabarâni)
Imam Al-Khatthabi menafsirkan, “Rasul SAW menjadikan amaliah yang terbaik adalah memberikan makanan yang merupakan kebutuhan pokok badan. Lalu beliau menyatakan bahwa perkataan yang paling baik adalah menebarkan salam, baik yang umum dan khusus, untuk orang yang tak kita kenal, atau orang yang kita kenal. Sehingga akhirnya bisa menjadi semata-mata keikhlasan untuk Allah. Karena salam adalah salah satu syiar islam.”
Fadhîlah menyedekahkan makanan akan semakin menumpuk kala kita memberikannya di saat yang tepat. Di saat banyak orang membutuhkannya. Sesuai firman-Nya,
“”Atau memberi makan pada hari kelaparan” (QS. Al-Balad)
Wasiat Ketiga: Jalin Silaturahim
“Dan takutlah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (takutlah kalian semua untuk memutus) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.” (QS. Al-Nisâ’:1)
Menyambung silaturahim merupakan salah satu anjuran bagi umat muslim. Menjalin silaturahim selain memiliki nilai lebih dalam tahap sosialisasi dan hubungan antar manusia, juga memiliki nilai lebih dimata agama. Beberapa kali disebutkan bahaya memutuskan tali silaturahim dalam Alquran, hingga tak perlu lagi kiranya ditegaskan akan arti penting slaturahim dalam islam.
“Diriwayatkan dari sahabat Anas RA, aku pernah mendengar rasulullha SAW bersabda, ‘Barang siapa yang senang dilapangkan rizkinya, atau dipanjangkan umurnya, maka jalinlah silaturahim.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wasiat Terakhir: Dirikanlah Salat Malam
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada tuhannya dengan rasa takut (terhadap siksa-Nya) dan mengharap (rahmat-Nya). Dan dari rizki yang Aku berikan kepada mereka, merejka menafkahkannya.” (Al-Sajdah: 16)
Demikian kiranya Allah mengabadikan pujian-Nya kepada hamba-hambanya yang beriman dan mendirikan salat malam dalam Alquran. Malam adalah waktu yang tepat untuk berdoa dan bermunajat. Waktu yang tepat untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Nabi pernah bersabda kepada sahabat beliau, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash untuk tak lupa mendirikan salat malam saat terjaga,
“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku, ‘Wahai Abdullah, jangan sampai kamu seperti si Fulan. Dia terjaga di malam hari namun meninggalkan qiyamul lail.’” (HR. Bukhari dan Muslim.)
“Allah merahmati seorang laki-laki yang melakukan qiyamul lail lalu mendirikan salat malam dan membangunkan istrinya. Ketika istrinya menolak, si laki-laki menyipratkan air di wajah istrinya. Allah merahmati seorang wanita yang melakukan qiyamul lail, lalu mendirikan salat dan membangunkan suaminya. Ketika suaminya menolak, ia menyipratkan air di wajah suaminya.” (HR. Ahmad)
Refleksi Hadis
Nabi yang diutus di jazirah Arab, tidak hanya diutus untuk bangsa Arab. Beliau diutus bahkan untuk sekalian alam. Beliau diutus menyebarkan agama islam. Membangun peradaban yang bermartabat, dan menghancurkan budaya-budaya jahiliyyah yang menyimpang dari ajaran agama. Beban di pundak beliau seakan semakin berat, kala waktu itu beliau juga dinantikan kejadirannya di Yatsrib, sekarang menjadi Madinah, juga untuk mendamaikan pertikaian antar dua suku utama kota itu, Aus dan Khazraj. Pada akhirnya, beliau pulalah yang kemudian membangun peradaban dan menjadikan Madinah kota yang Mutamaddin, sebuah cikal bakal negri yang membentang luas, mengalahkan luasnya imperium adikuasa Persia saat itu. Bukan sebuah gambaran kota islam, namun kota yang tetap damai meski dihuni berbagai macam agama yang berdampingan. Hidup rukun meski berbeda, hidup saling berbagi meski sama-sama tak begitu memiliki.
Pesan pertama nabi ketika menyelesaikan perjalanan hijrah, sebuah catatan penting bagi kita. Beliau mewasiatkan empat hal untuk penduduk kota yang telah lama menunggu beliau.
“Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di kota Madinah, orang-orang berduyun-duyun mendatangi beliau. Mereka berkata, ‘Rasul telah tiba!’. Akupun mengikuti kerumunan mereka untuk turut melihat. Ketika nampak wajah beliau, aku langsung tahu bahwa wajah beliau bukanlah wajah seorang pendusta. Hal pertama yang aku dengar dari beliau adalah ‘Wahai sekalian manusia! Sebarkanlah salam, berikanlah makanan, jalin silaturahim, dan salatlah pada malam hari ketika orang-orang tengah tertidur. Maka kalian semua akan masuk surga dengan selamat.’” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Al-Hakim)
[ads script=”2″ align=”right” float=”right”]
Yang beliau sampaikan pertama kali bukanlah “dirikanlah salat malam”. Bukan itu yang beliau pentingkan pertama kali untuk mulai membangun kota Madinah. Justru hal tersebut menjadi hal terakhir dalam pesan beliau. ini memiliki makna yang dalam sebenarnya kala kita renungkan baik-baik.
Hal pertama yang paling penting, yang menjadi wasiat pertama nabi adalah “sebarkanlah salam”. Secara harfiah memang bermakna sebarkanlah ucapan “assalâmu’alaikum”, namun ada kandungan lain. Yang sejatinya kita sebarkan pertama kali adalah kedamaian. Membutuhkan kedamaian untuk membangun sebuah kota yang rukun. Sejatinya yang kita utamakan sebelum memulai membangun banyak hal adalah membangun arti kedamaian.
Kemudian nabi melanjutkan wasiatnya dengan “sedekahkanlah makanan”. Yang kita sedekahkan secara lahiriyah adalah sebentuk makanan pokok. Namun lebih dari itu, kita diberi wejangan setelah terbentuknya kedamaian dengan memperkuat ekonomi. Memperkuat kekuatan dan modal untuk mulai membangun masyarakat yang lebih bermutu. Tidak dengan ekonomi yang lemah, namun dengan ekonomi yang kuat. Memliliki banyak harta berarti memliki banyak kesempatan untuk banyak-banyak bersedekah.
Yang ketiga, “jalin silaturahim”. Memiliki masyarakat yang damai dan kuat membutuhkan kekompakan. Membutuhkan rasa saling mengerti dan saling menyayangi. Dengan silaturahim, hubungan antar satu insan dengan insan yang lain akan semakin kuat. Hubungan persaudaraan akan terbentuk, dan gambaran negri yang mutamaddin akan semakin dekat. Yang nampak sebenarnya adalah persaudaraan lahir, namun sejatinya, diam-diam kita tengah membangun sebuah komunitas yang bersatu lahir dan batin.
Baru kemudian nabi berwasiat untuk beribadah kepada-Nya, “dirikanlah salat tatkala orang-orang sedang pulas tertidur”. Sebuah tujuan akhir, tatkala sudah terbentuk negri yang damai dan kuat, barulah kita dapat tenang beribadah kepada-Nya. Setelah terbentuk sebuah masyarakat yang madani, baru kita dapat dengan tenang menyembah-Nya. Kita patut berkaca pada saudara-saudara kita yang jauh, di negri mereka yang dilanda peperangan, yang kedamaiannya hilang, yang ekonominya berantakan, yang warganya saling bermusuhan, bagaimana mungkin mereka dapat beribadah dengan tenang? Bagaimana mungkin mereka dapat menunaikan salat malam dengan khusu’, sementara nyawa mereka sedang dalam bahaya?
Ini menjadi sebuah renungan yang paling penting. Sebenarnya makanah yang paling musti kita dahulukan? Egois membentuk komunitas dengan membawa-bawa nama islam? Ataukah lebih baik membangun sebuah bangsa yang kuat dan damai, hingga akhirnya dengan sendirinya agama islam dapat membentuk komunitas yang kuat didalamnya? []
0