Hari Kasih Sayang, Lima Belas Abad Lalu

Sungguh paradoks. Hari itu seharusnya menjadi hari duka bagi penduduk Makkah. Mereka bakal kehilangan pemuda terbaiknya. Tapi Allah berkehendak lain. Ia jadikan hari itu menjadi hari tak terlupakan oleh mereka: Hari paling bahagia.

Bertahun-tahun seusai menikah, Abdul Muthalib tak kunjung dikaruniai putra. Bangsa Arab di masa-masa sebelumnya mewariskan tradisi nazar untuk hal-hal yang sangat diharapkan. Karenanya Abdul Muthalib merasa perlu melakukannya: Jikalau ia dikarunai putra, sepuluh jumlahnya, akan ia kurbankan putra terakhirnya.

Tahun demi tahun berlalu. Mula-mula ia bergembira. Ia benar-benar dikarunia putra. Satu putra lahir, kegembiraan luar biasa terukir. Satu lagi lahir menyusul kakaknya. Bertambah lagi kebahagiaannya. Hingga kemudian lahirlah Abdullah. Kebahagiaan itu lambat laun berubah kengerian: Abdullah adalah putra yang kesepuluh.

Abdullah tumbuh menjadi pemuda yang luar biasa tampannya. Budi pekertinya santun, selayaknya putra pemegang kunci Ka’bah. Di masa itu, tak ada perawan yang tak memajang potret tampan Abdullah di hatinya. Bukan hanya klan Quraisy, tapi seluruh perawan Makkah. Abdullah menjelma cita-cita perawan di mana-mana: menjadi pilihan Abdullah sebagai pelabuhan terakhirnya.

Tetapi hari itu tetap tiba. Hari di mana Abdul Muthalib berkehendak menunaikan janjinya: menyembelih salah satu putranya. Berbagai rayuan dihaturkan pada Abdul Muthalib untuk mengurungkan niatnya. Dari keluarga hingga tetangga. Semua berakhir percuma.

Tetapi sungguh. Masyarakat Makkah tak rela pemuda setampan dan sesantun itu meninggalkan dunia ini dengan sia-sia. Abdul Muthalib sebenarnya tak kuasa membunuh Abdullah. Dia putra tercintanya. Tetapi ia bukan orang yang gampang mengingkari janji. Walaupun sebuah janji untuk membunuh anak sendiri. Ia begitu kukuh pada pendiriannya. Sebab sifatnya itulah ia pantas menjadi pemuka masyarakat Makkah.

Tetapi kaum Quraisy yang enggan kehilangan pangeran terbaiknya itu menawarkan hal yang tak bisa ditolak Abdul Muthalib.

“Wahai Abdul Muthalib. Apa yang kau perbuat ini justru akan memperburuk watak kaummu. Mereka akan menganggap pembunuhan ini sebagai perbuatan yang wajar, ‘Toh, pemimpin kita juga melakukannya’. Dan apa yang akan terjadi tahun-tahun kemudian? Mereka akan terbiasa memenggal anak kandungnya. Kau ingin kaum kita mewariskan tradisi seperti ini?”

Dan pada akhirnya hati Abdul Muthalib perlahan luluh. Apalagi kaum Quraisy juga menawarkan win-win solution. Sebagai pengganti kepala Abdullah, Abdul Muthalib dipersilahkan untuk menyembelih seratus unta. Ia terima itu.

Kabar batalnya pengurbanan Abdullah itu tersiar cepat. Maka bergembiralah seantero Makkah. Tak terkecuali seseorang di sudut rumah sana. Perempuan muda yang tak kalah tenarnya dengan Abdullah. Dialah Aminah.

Rumahnya sangat dekat dengan bukit tempat Abdul Muthalib melaksanakan kafaratnya. Ketika Aminah di dalam kamar dan berusaha meredam suka hatinya, di detik yang sama Abdul Muthalib memandang ke arah rumahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.