Operasi Transgender Menurut Kacamata Fikih

Operasi Transgender Dalam Kacamata fikih

Pada Muktamar Ke-26 NU pada 10-16 Rajab 1399 H atau 5-11 Juni 1979 M di Semarang, Jawa Tengah. Membahas tentang operasi ganti alat kelamin berikut penjelasannya.

Dalam kajian fikih Islam, pernah muncul pertanyaan kasus yang identik dengan kasus di atas. Yaitu, andaikan ada seorang wali yang punya karamah bisa berubah wujud (tathawwur) dari laki-laki menjadi perempuan, atau ada seorang lelaki yang oleh Allah diubah wujudnya (di-maskhu) menjadi perempuan—seperti kisah sebagian Bani Israil yang diubah wujudnya menjadi kera sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 65—, apakah setelah berganti wujud itu ia membatalkan wudhu laki-laki yang menyentuhnya?

Ulama menjawab, untuk kasus pertama tidak membatalkan, karena dipastikan bahwa zat wali yang berubah bentuk itu pada hakikatnya tidak berubah, yang berubah hanya penampakan luarnya, sementara sifat dzukurah atau kelaki-lakiannya tidak berubah.

Sementara dalam kasus kedua ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama membatalkan, karena sangat mungkin yang berubah adalah zatnya. Kemungkinan kedua tidak membatalkan, karena mungkin yang berubah adalah sifatnya, bukan zatnya.[1]

Melihat kasus tathawwur atau perubahan wujud seorang wali di atas, perubahan fisik tidak otomatis mengubah status jenis kelamin seseorang. Orang yang asalnya laki-laki meskipun berubah secara fisik menjadi perempuan tetap dihukumi laki-laki, sehingga dalam hal wudhu umpamanya, maka tidak akan membatalkan wudhu laki-laki lain yang menyentuhnya.

Bahkan dalam kasus maskhu, yang perubahannya lebih drastis, berubah zat maupun sifatnya, ulama saja masih belum mantap, apakah membatalkan wudhu laki-laki lain yang menyentuhnya apa tidak. Apalagi hanya perubahan alat kelamin luar dari hasil rekayasa operasi ganti kelamin, di mana yang berubah hanya sebagian fisik luarnya saja, tentu secara fiqih sangat sulit diterima sebagai alasan perubahan jenis kelamin dari jenis kelamin asalnya.

Hukum Operasi Transgender

Operasi Transgender Dalam Kacamata fikih
viva.co.id

Lantas bagaimana hukum melakukan operasi transgender?

Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa walaupun seseorang telah mengalami transgender atau transseksual dengan cara melakukan operasi penggantian kelamin maka tetap tidak bisa mengubah statusnya, dengan artian yang laki-laki tetap laki-laki dan yang perempuan tetap perempuan.

Maka kalau kita tarik lebih jauh, istilah transgender di dalam kajian hukum syariat lebih dekat dengan istilah al-mukhannits (lelaki yang berperilaku seperti perempuan) wal mutarajjilat (perempuan yang berperilaku seperti laki-laki).

Selanjutnya, mengenai takhannuts, ada sebuah hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النِّسَاءِ

“Sesungguhnya baginda Nabi SAW melaknat para lelaki yang mukhannits dan para wanita yang mutarajjilat,” (HR Al-Bukhari dan Abu Dawud).

Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa baginda Nabi SAW melaknat terhadap perilaku takhannus dan tarajjul yang memastikan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram.

An-Nawawi menjelaskan:

المخنث ضربان أحدهما من خلق كذلك ولم يتكلف التخلق بأخلاق النساء وزيهن وكلامهن وحركاتهن وهذا لا ذم عليه ولا إثم ولا عيب ولا عقوبة لأنه معذور والثاني من يتكلف أخلاق النساء وحركاتهن وسكناتهن وكلامهن وزيهن فهذا هو المذموم الذي جاء في الحديث لعنه

“Mukhannits ada dua, pertama orang yang terlahir dalam kondisi demikian (mukhannits) dan ia tidak sengaja berusaha berperilaku seperti perilaku para wanita, pakaian, ucapan dan gerakan-gerakannya, mukhannits semacam ini tidak tercela, tidak berdosa, tidak memiliki cacat dan tidak dibebani hukuman karena sesungguhnya ia orang yang ma’dzur (dimaafkan sebab bukan karena kesengajaan dan usaha darinya). Yang kedua, orang yang sengaja berusaha berperilaku seperti perilaku para wanita, gerakan-gerakannya, diamnya, ucapan dan pakaiannya. Mukhannits yang keduanya inilah yang dilaknat di dalam hadits,”[1]

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pria yang melakukan operasi transgender statusnya sebagai pria tidak hilang. Dan usahanya melakukan operasi tersebut masuk dalam larangan nabi yaitu larangan laki-laki bertingkah dan bersikap sebagai seorang perempuan atau sebaliknya.

Di antara alasan dan hikmah larangan atas perbuatan seperti ini adalah menyalahi kodrat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Al-Munawi berkata di dalam karyanya, Faidhul Qadir:

وحكمة لعن من تشبه إخراجه الشئ عن صفته التي وضعها عليه أحكم الحكماء

“Hikmah dari laknat terhadap orang yang berusaha menyerupai lawan jenis adalah mengeluarkan sesuatu dari sifat yang telah ditetapkan oleh Sang Mahabijaksana (Allah Swt),”[2]

Di samping itu, kenyataan yang ada, ketika seorang lelaki berperilaku seperti wanita atau sebaliknya, maka sebenarnya ada alasan tertentu yang kalau dinilai secara syariat adalah alasan yang tidak baik. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah yang dikutip oleh Al-Munawi di dalam Faidhul Qadir:

والمخنث قد يكون قصده عشرة النساء ومباشرته لهن وقد يكون قصده مباشرة الرجال له وقد يجمع الأمرين

“Seorang yang mukhannits terkadang tujuannya agar bisa bergaul dan berkumpul dengan para wanita, terkadang tujuannya agar disukai oleh para lelaki, dan terkadang tujuannya adalah kedua-duanya,”[3]

Jika ada yang menyatakan bahwa dulu baginda Nabi SAW pernah membiarkan seorang mukhannits masuk ke tengah para wanita sehingga hal ini menunjukkan bahwa takhannuts tidaklah diharamkan, maka sesungguhnya kejadian itu dikarenakan orang tersebut kondisi takhannuts-nya sejak lahir dan diduga ia sama sekali tidak ada hasrat dengan lawan jenis. Namun setelah diketahui bahwa ia bisa menyebutkan kondisi-kondisi para wanita yang ia masuki, maka iapun dilarang berkumpul dengan para wanita.[4]

Kesimpulan

Dari semua keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan:

  • Transgender adalah kata lain dari takhannuts dan tarajjul;
  • Transgender tidak bisa mengubah status kelamin;
  • Transgender hukumnya haram dan mendapat laknat.

[1] Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, Beirut, Darul Fikr Al-Ilmiyah, cetakan kedua, 2003 M, jilid VIII, halaman 57.

[2] Zaid Al-Munawi, Faidhul Al-Qadir, Beirut, Darul Fikr Al-Ilmiyah, cetakan kedua, 2003 M, jilid V, halaman 271.

[3] Zaid Al-Munawi, Faidhul Qadir, Beirut, Darul Fikr Al-Ilmiyah, cetakan kedua, 2003 M, jilid IV, halaman 332.

[4] Al-Mala Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih, Beirut, Darul Fikr Al-Ilmiyah, cetakan ketiga, 2004 M, jilid X, halaman 64.

[1] Abdul Hamid as-Syirwani, Hawasyis Syirwani ‘ala Tuhfatil Muhtah, juz. I, hlm. 137, cet. Beirut: Darul Fikr.

Baca Juga; Dalil Lagu Cinta Tanah Air

Follow; @pondoklirboyo

Subscribe; Pondok Lirboyo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.