I am Yeraz

Idzhab! Hadzaa baladunaa! Idzhab! Pergi! Ini negara kami”

Kata-kata itu selalu kulontarkan saat melewati tentara militer Israel. Tak peduli seberapa jumlahnya. Aku benci mereka, sangat benci. Begitupun saat aku dan dua temanku hendak memasuki sekolah darurat.

“idzhab! Hadzaa baladunaa..”

“Yeraz, hentikan!” Bentak Syekhra, salah satu yang paling tidak suka ketika aku memaki orang-orang Israel.

“Diam kau! Kenapa kau selalu marah jika aku memaki mereka, hah?!!” dengan perasaan dongkol aku meninggalkan Syekhra dan Malya. Ya, seperti saat ini. aku selalu melewati har-hari dengan rasa benci yang selalu membuncah. Untuk mereka, orang-orang Israel yang tak tahu diri. Mereka menyabotase bangsa dan kebahagiaan kami. Mereka yang tak berperikemanusiaan menyiksa kami di negeri kami sendiri. Apa mereka bisa disebut manusia?

***

“teng-teng”. Seseorang telah membunyikan lonceng tanda istirahat. Tidak ada kantin disekolah darurat. Jika nantinya lapar, maka kami harus sedia bekal sebelum berangkat. Kami bertemu lagi. aku, Syekhra, dan Malya. Dengan memakan bekal masing-masing, kami berbincang ringan, yang nantinya menjadi rumit.

“kenapa kau begitu membenci mereka?” Syekhra memulai pembahasan itu lagi.

“memangnya kamu tidak membenci mereka?” aku menimpali.

“buat apa…?”

“buat apa katamu? Kau sudah buta? Tuli? Setiap hari kita harus merunduk berlari menghindari ledakan. Setiap hari pula kita melihat tetangga dan saudara kita tergelepar bercucuran darah. Itu kau masih tanya kenapa?!” aku melihat perubahan ekspresi diwajah Syekhra.

“Fasis?” tanya Malya dengan santai.

“Siapa? Aku? Bukan. Aku bukan fasis. Aku bukan anti yahudi. Aku hanya anti kekerasan dan kekejian yang mereka lakukan setiap hari”.

“Bagaimana menurutmu, jika Allah menakdirkanmu mencintai salah seorang dari mereka?” goda Malya.

“Hei, apa maksudmu? Mustahil. Jelas-jelas kau lihat betapa aku benci mereka”.

“Yeraz, cinta dan benci beda tipis”. Ucap Malya dengan memicingkan matanya.

“Dengan selalu bersikap seperti ini, apa kau tidak takut hidupmu berujung seperti Aned?  Teman sekolah kita yang baru-baru ini masuk penjara hanya karena menampar tentara Israel. Kurasa cukup viral beritanya, bal ayna al-‘aalam? Kemana dunia?” geracau Syekhra yang dibalas anggukan Malya.

“Aku sama sekali tidak takut dengan mereka. Syekhra, Malya, cinta adalah perjuangan. Aku mencintai Palestina, berarti aku harus memperjuangkannya. Memperjuangkan bangsa, keluarga, cita-cita, kebahagiaan, dan masa depan. Memperjuangkan hak yang harusnya milik kita. Dan jika nantinya aku harus masuk penjara hanya karena perjuanganku, tak apa. Bukannya para sahabat tidak keberatan jika harus mati karena membela  Islam?”. Hening, kulihat Syekhra mengepalkan tangan.

“tetapi memaki saja apa bisa merubah keadaan?” tanya Syekhra.

“Tiap kali aku memaki mereka, hatiku berdoa semoga Allah mentakdirkan kebebasan kepada kita”. Tanganku terkepal. Ini diatas kesabaranku.

Fii quluubihim maradhun fataadahumullahu maradhaa. Jika dihati mereka terdapat rasa sakit, maka Allah akan menambahkan rasa sakit itu..” Braak. Tanganku memukul meja, lantas berdiri. Mungkin hatiku telah dikuasi emosi.

“Dari tadi, kau hanya memikirkan kemungkinan terburuk, Syekhra. Ayat itu ditujukan kepada kaum kafir.  Kepada mereka.”

“Tapi al-Qur’an adalah kitab orang Islam. semua perintah ataupun larangan yang ada didalamnya berlaku untuk semua muslim.

“Jaga ucapanmu, Yeraz!” bentak Malya dengan menudingku. Lantas meninggalkan kami. Aku menjambak rambutku sendiri, frustari.

–Hammem—

“Idzhab! Hadzaa baladunaa! Idzhab! Idzhab!”

makian itu selalu menjadi sarapanku ketika gadis itu lewat. Gadis yang entah bisa-bisanya Tuhan takdirkan untuk menyukaiku. Gadis yang biasa dipanggil temannya, Yeraz. Jika aku tak menyukainya, mungkin bisa saja aku menjebloskannya ke penjara. Seperti Aned Tamimi, gadis berumur 16 tahun yang masuk penjara karena menampar temanku. Jika orang-orang mengatakan bahwa cinta tak butuh balasan, menurutku itu munafik. Aku butuh balasan, tapi inilah kata keadaan. Jika aku tertangkap basah mencintai gadis Palestina, maka tamatlah riwayatku dan dia tidak hanya sekedar membenciku, tetapi membenci kami. Biarlah ku diam seperti ini. yang dengannya kujadikan makian sebagai peredam kerinduan.

–Yeraz—

Sebenarnya aku benci harus berjalan mengendap-endap sejauh 50 meter hanya untuk keluar dimalam hari. Karena banyak tentara Israel yang berjaga mengawasi warga Palestina yang berkeliaran dimalam hari, dan tak sedikit pula dari mereka yang tidur maupun bermain domino. Demi mengantarkan makanan untuk nenekku, aku rela melakukan ini. aku juga tak mau mengusik ketenangan yang diusahakan itu. Melalui lorong-lorong yang menjadi sarang tikus dan… “oh, ya” aku membekap mulutku, lantas berbelok kesalah satu gang yang penuh dengan sampah, bersembunyi. Takut kalau mereka tiba-tiba mencariku hanya karena aku berteriak menginjak tikus. Aku menahan nafas ketika sayup-sayup terdengar suara khas orang Israel yang berat dan kasar.

Sekarang kau yang harus bertahan dengan caramu sendiri. Aku tak bisa jika membelamu terus menerus”.

Aku tertegun. Itu tidak ditujukan untukku. Aku melihat sekitar dan ternyata ada ventilasi rumah diatas troli sampah itu. Kusibakkan rambut kebelakang telinga. Ternyata terdengar pula suara perempuan menangis. “kau harus bertanggung jawab”. Dengan teriak, perempuan itu berkata.

“bertanggungjawab katamu? Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau berterima kasih padaku karena sudi menolongmu! Jika tidak, maka kau akan menjadi budak nafsu mereka setiap hari!” bentak si lelaki, aku bergidik mendengarnya.

“kalian menjijikan! Kalian Israel, merampas bangsa dan harga diriku”. Plaak. Aku memegang pipiku yang entah kenapa turut merasakan sakitnya. Ya, ini semua tak adil. Tapi, siapa perempuan itu? Perempuan Palestina dan lelaki Israel? Apa maksudnya kata bertahan dan membela? Aku melihat arlojiku. Allah, jam berapa ini? aku harus segera kembali.

***

Jalanan begitu rusuh. Api, asap, teriakan, jeritan, tangisan, dan makian terobral disini. Entah untuk alasan apalagi lelaki Palestina itu menyerang mereka. bahkan anak kecil yang tak tahu apa-apa, ikut melempari mereka batu. Pemandangan disini hanya ini adanya, lantas tentara Israel itu memberondong dengan peluru dari pistol mereka. “Aaahh…” pundakku terasa begitu nyeri. Darah sedikit demi sedikit mengalir. Sepertinya terserempet peluru. Bukan masalah yang pelik sebenarnya,  tapi aku harus berlari sebelum mereka manangkapku.

Aku berlari secepat yang kubisa dangan pundak terluka. Masuk dibangunan lama yang tak terpakai, bersembunyi. Tenagaku perlahan habis. Meski agak jauh, hiruk pikuk itu tetap saja terdengar. Nafasku berburu dengan peluh mengalir. Tiba-tiba telingaku terdengung. Ngilu dan sangat lama, hingga aku terjatuh dengan memegang telingaku. Terlintas wajah-wajah orang terdekatku. Apa ini? semakin lama dengungan ini semakin kencang membuat luka dipundakku terasa begitu nyeri. Aku menangis. Terlintas Abraa, tetanggaku umur 7 tahun yang tadi kulihat ikut melempari batu. Dia dikejar tentara Israel. Door.. seketika aku tersadar dan dengungan itu hilang. Aku harus pulang.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.