Ihwal Mereka yang Tak Ikut Berperang

  • Maherisme
  • Nov 12, 2022

Ihwal Mereka yang Tak Ikut Berperang: Ketika kembali dari peperangan dan memasuki Madinah, Rasulullah Saw. langsung mendatangi masjid, menunaikan shalat dua rakaat. Lalu, beliau duduk di hadapan kaum Muslimin. Tiba-tiba datanglah orang-orang yang tidak ikut berperang menjelaskan uzur yang menghalangi mereka sehingga tidak ikut berperang. Ada lebih dari delapan puluh orang sahabat yang bahkan bersumpah untuk menguatkan uzur mereka di hadapan beliau. Rasulullah Saw. menerima semua penjelasan yang mereka sampaikan, dan beliau kemudian memohonkan ampun untuk mereka.

Permintaan Taubat

Beberapa sahabat ada yang diterima taubatnya. Hingga Allah menurunkan ayat-ayat-Nya untuk mereka. Di antaranya, Ka’b bin Malik dan beberapa sahabat lainnya. Ka’b r.a. menceritakan hal ini dalam sebuah hadis panjang, yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Dalam hadis itu Ka’b menceritakan,

“Pada waktu aku tidak mengikuti perang itu, sungguh tidak ada orang yang lebih kuat dan lebih berkesempatan dibanding diriku. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk mempersiapkan diri ikut bergabung bersama pasukan Muslim lainnya.

Namun ternyata, aku harus pulang tanpa melakukan apa pun. Dalam hati aku berkata, ‘Aku mampu berangkat, tidak ada apa pun yang menghalangiku untuk mempersiapkan diri ikut berperang.’ Demikianlah seterusnya, saat orang-orang bersiap-siap dengan giat aku belum menyiapkan apa pun, dan keadaan itu terus berlanjut sampai akhirnya pasukan Muslim benar-benar berangkat ke medan perang.

Sungguh, aku ingin segera berangkat untuk menyusul mereka, seandainya aku dapat melakukannya, tetapi tetap saja aku tidak mampu. Aku sedih sekali karena setelah Rasulullah Saw. berangkat ke medan perang, setiap kali aku keluar menemui orang-orang, yang kulihat hanyalah orang-orang yang tenggelam dalam kemunafi kan atau orang-orang lemah yang uzur sehingga mendapatkan ampunan dari Allah Swt.

Ketika terdengar kabar bahwa Rasulullah Saw. dalam perjalanan pulang muncul rasa sumpek pada diriku, lalu muncul niatku untuk berdusta. Bagaimana aku dapat menghindari kemarahannya besok? Aku meminta pendapat anggota keluargaku yang kuanggap bijak. Kebatilan lenyap dari diriku saat Rasulullah Saw. telah sampai di Madinah. Niatku bulat untuk mengatakan yang sebenarnya.

Menghadap Rasulullah Saw.

Lalu, Aku datang menghadap Rasulullah dan memberi salam kepadanya. Beliau tersenyum, tetapi senyum seorang yang sedang marah. Kemudian beliau berkata, ‘Kemarilah.’ Aku pun mendekat dan duduk di hadapan beliau. Beliau lalu bertanya, ‘Apa yang membuatmu tak ikut berperang? Bukankah engkau telah membeli hewan tunggangan yang disiapkan untuk perang?’

Aku menjawab, ‘Benar. Demi Allah, seandainya aku duduk bukan di hadapan engkau di antara siapa pun dari penduduk bumi, pasti aku berusaha keluar untuk menghindari murkaNya dengan uzur tertentu. Dan, aku siap berdebat dengannya. Tapi, demi Allah, sungguh aku tahu, seandainya aku berbicara dusta
denganmu hari ini dan engkau memercayai dan meridhaiku, niscaya Allah akan memarahimu karena aku. Dan, seandainya aku bicara benar dan engkau akan memarahiku karena itu, aku berharap pada ampunan Allah atas apa yang kusampaikan itu.

Demi Allah, aku tidak memiliki uzur sama sekali untuk tidak ikut berperang. Demi Allah, tidak ada orang lain yang lebih kuat dan lebih mudah dibandingkan aku untuk ikut berperang ketika aku tidak mengikuti perang itu bersamamu!’

Setelah mendengar penjelasanku, Rasulullah Saw. bersabda, ‘Semua yang dia ucapkan benar. Berdirilah hingga Allah memberi keputusan kepadamu!’

Beberapa Sahabat yang Tertunda Taubatnya

Aku pun berdiri. Sekelompok laki-laki dari Bani Salmah marah dan mencelaku karena aku tak mengajukan alasan seperti yang lain. Aku menanggapi mereka, ‘Adakah orang yang mau melakukan seperti apa yang kulakukan ini?’

Mereka berkata, ‘Ya, ada dua laki-laki mengatakan seperti yang kaukatakan. Dan, kepada mereka berdua dikatakan seperti apa yang telah dikatakan padamu.’ Aku bertanya, ‘Siapa mereka berdua?’ Mereka menjawab, ‘Murarah bin Ar-rabi’ dan Hilal bin Umayyah.’ Mereka menyebutkan dua nama orang salih yang telah mengikuti Perang Badar.

Bagiku, keduanya merupakan teladan. Rasulullah Saw. kemudian melarang semua kaum Muslimin berbicara kepada kami bertiga, termasuk orang-orang yang tidak ikut berperang bersama Rasulullah Saw. Mulailah orang-orang menjauhi kami, hingga bumi terasa asing bagi kami, tidak seperti yang aku kenal. Kami menjalani kondisi ini selama lima puluh malam. Kedua sahabatku yang menjalani hukuman terus saja berdiam diri di rumah mereka masing-masing sambil menangis. Aku, yang merupakan salah satu yang paling muda dan paling berani di antara kaumku, tetap pergi menunaikan shalat bersama kaum Muslimin. Berjalan ke pasar-pasar, tetapi tak seorang pun yang mau berbicara denganku.

Aku menemui Rasulullah Saw. dan mengucapkan salam kepadanya, kebetulan beliau sedang berada di tengah majelisnya setelah menunaikan shalat. Lalu berkata dalam hati, ‘Apakah kedua bibirnya bergerak menjawab salamku atau tidak?’ Kemudian, aku shalat di dekatnya sembari mencuri pandang ke arahnya. Ketika menghadap ke depan dalam shalatku, beliau menghadapkan tubuhnya ke arahku.

Namun, jika aku menoleh kepadanya, Rasulullah langsung memalingkan muka dariku. Suatu ketika, saat aku sedang berjalan di sebuah pasar, tiba-tiba datanglah seorang dari Syam untuk menjual makanan di Madinah. Dia berkata, ‘Siapakah yang bisa menunjukkan kepadaku Ka’b bin Malik?’

Secarik Surat Penderitaan

Orang-orang menunjukkan tempat keberadaanku. Orang itu lalu menemuiku dan menyerahkan secarik surat dari Raja Negeri Ghassan. Isi surat itu berbunyi, “Telah sampai berita kepadaku bahwa sahabatmu (Muhammad Saw.) sekarang telah membencimu. Padahal Allah tidak menjadikanmu di negeri yang hina dan sia-sia. Maka, datanglah menemuiku. Pasti akan aku tolong segala kebutuhanmu.”

Selama membaca surat itu, aku berkata, ‘Ini juga ujian.’ Lalu, aku menuju tanur, surat itu aku bakar. Lewat malam keempat puluh, dari lima puluh malam masa hukuman, tiba-tiba datang utusan Rasulullah Saw. menemuiku menyampaikan pesan, ‘Rasulullah Saw. memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.’

‘Apakah aku diperintahkan untuk menceraikannya atau apa yang harus kulakukan?’ tanyaku. Utusan itu menjawab, ‘Tidak, tidak perlu dicerai. Namun, jauhi dia dan untuk sementara jangan mendekatinya.’

Kemudian, aku memberi tahu kedua sahabatku yang lain mengenai hal itu. Aku berkata kepada istriku, ‘Pergilah engkau ke keluargamu! Tinggallah sementara bersama mereka hingga Allah memutuskan perkara ini.’

Setelah itu, selama sepuluh hari aku kembali berdiam diri, sebelum akhirnya genap kami bertiga menjalani hukuman itu selama lima puluh malam sejak Rasulullah Saw. menjatuhkan larangan terhadap khalayak untuk berbicara kepada kami.

Penerimaan Taubat

Pada malam kelima puluh, aku menunaikan shalat shubuh di rumah. Ketika sedang berzikir, saat dadaku sesak dan bumi menjadi begitu sempit, aku mendengar suara dengan nada tinggi berasal dari arah Gunung Sil’, ‘Wahai Ka’b bin Malik, bergembiralah!’

Aku langsung bersujud. Aku tahu bahwa itulah saatnya ketika semua masalah telah terurai. Rasulullah Saw. memberi tahu bahwa Allah telah menerima taubat kami ketika beliau sedang menunaikan shalat shubuh. Kaum Muslimin lalu berdatangan untuk meluapkan rasa gembira kepadaku.

Dari kediamanku, kemudian mereka mendatangi kediaman kedua sahabatku yang juga dihukum untuk menyampaikan berita gembira dan mengucapkan selamat kepada mereka berdua. Pada saat itu, orang yang meneriakkan berita gembira itu juga datang menemuiku dan mengucapkan selamat. Aku melepas kedua bajuku dan kemudian memakaikan keduanya kepada si pembawa berita gembira itu. Padahal saat itu, demi Allah aku hanya memiliki kedua baju itu, sehingga kemudian aku meminjam dua helai pakaian yang langsung kukenakan.

Aku lalu menemui Rasulullah Saw. sementara orang-orang terus datang secara bergelombang untuk menemuiku dan mengucapkan selamat atas diterimanya tobatku. Aku memasuki masjid. Dalam masjid Rasulullah Saw. tampak dikelilingi kaum Muslimin.

Thalhah bin Ubaidillah berdiri, menyalami, dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, saat itu tak ada seorang pun dari kalangan Muhajirin yang berdiri untuk menyambut kedatanganku, kecuali Thalhah. Sungguh aku tidak dapat melupakan peristiwa itu, karena Thalhah.”

Turunnya Firman Allah dan Penerimaan Taubat

Ka’b berkata, “Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw., tampak wajahnya berseri-seri menunjukkan tanda kegembiraan. Beliau lalu berkata, ‘Bergembiralah karena kabar ini. Ini kabar gembira kedua sejak ibumu melahirkanmu.’

Aku lalu bertanya, ‘Apakah berita ini berasal darimu, wahai Rasulullah Saw. ataukah langsung dari hadirat Allah?’ Rasul menjawab, ‘Tidak, berita ini bukan dariku, melainkan turun langsung dari hadirat Allah.’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, karena tobatku sudah diterima, aku akan mengeluarkan hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya.’

Namun, Rasulullah Saw. buru- buru menukas, ‘Simpanlah sebagian hartamu, hal itu lebih baik untukmu.’ Aku kemudian menyahut, ‘Wahai Rasulullah, aku telah selamat karena kebenaran maka seiring diterimanya taubatku ini aku hanya akan mengatakan hal-hal yang benar dalam sisa hidupku.’ Saat itulah, Allah Swt. menurunkan ayat:

“Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar (QS Al-Taubah [9]: 117-119).”

Sumber : Fiqh as-Sîrah an-Nabawiyyah Ma’a Mûjaz Litârîkh al-Khilâfah ar-Râsyidah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy Hal. 585

Baca juga : Belajar Karena Butuh

Tonton Dawuh Masyayikh Lirboyo “Belajar Selagi Masih Muda”

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.