Tentunya pergi ke ruang kebahagiaan. Hal yang satu ini memang kerap diperbincangkan oleh khalayak dari semua tingkatan berbagai golongan mulai yang bersifat mulia hingga pengobral dosa. Kiranya perbincangan terkait kebahagiaan tidak berlebihan jika melihat naluri insani. ‘Bahagia itu sederhana’ ungkapan itu deras mengguyur beberapa kalangan akhir-akhir ini sederas perkembangan teknologi hari ini. Kiranya ungkapan sederhana tidak sesederhana ditafsiri dengan arti yang sederhana. Secara garis besar, kebahagiaan memiliki beberapa faktor yang berperan penting terhadap dan dalam kemunculannya. Faktor -faktor itu erat kaitannya dengan pengetahuan, pengalaman dan lingkungan yang berperan membangun pola pikir(mindset).
Tidak sedikit para motivator yang menyebarkan ide-ide menghadapi problematika hidup yang tertuang dalam karya-karya yang jumlahnya tidak sedikit pula. Siapa dari sekian banyak cendekia yang telah berhasil dalam hidup sesuai teori hidupnya? Benarkah para motivator telah hidup dalam ruang yang syarat kebahagiaan?. Mungkin ini yang perlu kelanjutan dalam pengkajian cermat dan serius.
Ihya’ Ulumiddin, sebuah buku yang disusun oleh al-Allamah Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at–Thusi yang sufi itu, telah diperhitungkan dalam kancah percaturan intelektual dunia. Banyak dari mereka yang dalam karyanya mengutip karya al-Ghazali mulai dari teologi, sosiologi dan kajian khusus lainnya yang hanya membidik misi keagamaan dan beberapa tema lain.
“Nrimo ing pandum”, ungkapan yang para pengkaji karya al-Ghazali lebih akrab dengan istilah Qona’ah ini telah berlalu-lalang dalam keseharian beberapa kalangan khususnya mereka yang bersentuhan dengan nuansa jawa. Selain Qona’ah, mereka akan sering menemui kata Syukur dalam ekspedisi penelusuran beberapa halaman di lembar lembar karya al-Ghazali.
Dalam hal ini, salah satu ulama menyatakan bahwa Syukur memiliki keterkaitan antara tiga komponen dasar berupa pengetahuan, kondisi dan realisasi (al–Amal). Ketiga hal tersebut bersifat kronologis mulai dari pengetahuan seseorang terhadap nikmat yang bersumber dari yang menjadikan dan memberi nikmat. Hal ini berkelanjutan pada kebahagiaan (al–Farh) seseorang disebabkan kenikmatan yang diberikan kepadanya. Dua komponen itu akan menimbulkan reaksi upaya merealisasikan Syukur.
“والعمل هو القيام بما هو مقصود المنعم ومحبوبه”
Dalam konteks ini, al–Amal diartikan dengan melaksanakan atau mengolah suatu nikmat sesuai tujuan Tuhan yang maha memberi dan kekasih-Nya. Sederhananya, jika ada orang diberi pakaian dengan harga yang fantastis, maka sudah seharusnya orang tersebut memakainya sesuai tujuan pemberinya yaitu menutup anggota tubuh. Kiranya bagaimana reaksi pemberi jika orang yang diberi pakaian menjadikannya sebagai keset yang akan terus di injak setiap kaki yang berdiri di atasnya seraya acuh terhadap tujuan yang memberi?
Dalam menyikapi hal ini, semua nalar normal akan sepakat terkait perasaan yang memberi dan etika yang diberi. Secara garis besar al–Amal erat kaitannya dengan hati, anggota tubuh dan lisan sebagai perwujudan interaksi terhadap Tuhan, sesama dan diri sendiri. Pentingnya pengetahuan dalam berislam sesuai undang-undang akan berpengaruh terhadap kesadaran Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin yang akan dirasakan dalam dunia nyata yang tidak hanya bias-bias cahaya pada air yang sebentar lagi akan menguap begitu saja.
“وبالله المستعان وعليه التكلان”
Wallahu A’lam
Penulis: M. Ibnu Najib, santri Ma’had Aly PP. Lirboyo semester VII asal Magelang
0