Keramahan Agama Islam

  • Khoirul Wafa
  • Mar 26, 2017

Mudah saja mendefinisikan agama sesuai dengan persepsi masing-masing. Agama secara luas bisa bermakna “berbagai hal”, bagi setiap individu. Ada yang mendefinisikan agama dengan deskripsi singkat, “sebuah kebutuhan”. Ada yang mendefiniskan dengan ramah, “ajaran yang membawa kepada ketenangan dan tujuan hidup”. Tapi ada juga yang mendefinisikan dengan marah, “sebuah candu”.

Terlepas dari semua definisi dan ta’rif, agama memiliki nilai sakral yang sangat mendalam. Bagaimana tidak? Agama merupakan simbol kehidupan. Lebih tepatnya hampir semakna dengan itu. Setiap insan pasti dipertanyakan akan “apa agamamu?”. Pertanyaan itu kurang lebih sama dengan pertanyaan “apa dan bagaimana cara hidupmu?”, sebab agama secara berkesinambungan memiliki watak khas masing-masing. Memiliki ajaran dan ciri khas masing-masing. Semua itu tak jauh-jauh dari “mengatur hidup dan sikap hidup”.

Lebih lanjut, agama juga akhir-akhir ini menjadi semacam “sekat” untuk menghalangi kehidupan sosial. Sebagai seorang Indonesia yang masih banyak percaya mitos, agama yang berbeda seolah sudah membuat orang enggan “berjabat tangan” dan menjalin kerjasama. Apapun itu, baik itu ekonomi, ataupun bermasyarakat. Padahal tidak pernah ada cerita, islam melarang kaum muslimin menjalin kerjasama dengan non muslim. Mu’amalah dan berdagang dengan mereka mutlak diperbolehkan dan hukumnya sah secara fikih. Atau jika kita menelisik dalam aturan kepedulian sosial, bila ada seorang kafir dzimmi yang mati, dan tak ada orang yang mengurusi jenazahnya, hukumnya menjadi fardhu kifayah bagi seorang muslim untuk turut mengkafani dan menguburkan mereka.

Kita tentu ingat Perjanjian Aelia (ميثاق ايليا). Perjanjian ini dibuat dan ditandatangani sendiri oleh Khalifah Umar Ibn Khattab RA dengan umat Nasrani di Negri Yerussalem. Dinamakan Perjanjian Aelia, karena perjanjian tersebut ditandatangani di tanah Aelia, nama kuno kota Yerussalem. Berikut kutipan isi perjanjian tersebut,


بسم الله الرحمن الرحيم

هذا ما أعطى عبد الله عمر أمير المؤمنين أهل إيليا من الأمان. أعطاهم أماناً لأنفسهم وأموالهم ولكنائسهم وصلبانهم وسقيمها وبريئها وسائر ملتها.أنه لا تسكن كنائسهم ولا تهدم ولا ينتقص منها ولا من حيزها ولا من صليبهم ولا من شئ من أموالهم، ولا يكرهون على دينهم ولا يضار أحد منهم ولا يسكن بإيليا معهم أحد من اليهود

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, pemimpin orang-orang yang beriman, kepada penduduk Iliya. Ia adalah jaminan keamanan. Umar memberikan jaminan keamanan/perlindungan hak hidup, hak milik harta, bangunan-bangunan gereja, salib-salib mereka, orang-orang yang lemah,orang-orang merdeka dan semua pemeluk agama. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki, tidak dihancurkan, tidak ada hal-hal (sesuatu) yang dikurangi apa yang ada dalam gereja itu atau diambil dari tempatnya; tidak juga salibnya, tidak harta benda mereka, penduduknya tidak dipaksa untuk menjalankan keyakinan agama mereka dan tidak satu orangpun yang dilukai. Dan di Aelia tidak seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka.”[1]

Perjanjian Aelia menggambarkan bentuk keramahan dan toleransi islam akan pemeluk agama lain. Dibawah kekuasaan islam, kota Yerussalem makmur dan setiap orang tetap bisa menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Pemeluk agama Nasrani tak ada yang diganggu. Bahkan mencuri salib di gereja mereka saja termasuk menyalahi perjanjian. Mereka yang hendak keluar dari Yerussalem menuju negeri Romawi juga akan dilindungi. Adakah sikap dan kebijakan seperti ini salah? Jawaban yang tidak perlu, sebab perjanjian ini dibawah kuasa salah satu sahabat Nabi yang paling dekat dengan beliau. Paling zuhud, dan paling memiliki keluasan ilmu.

Dalil yang lebih tegas lagi adalah firman Allah SWT. Termaktub dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9.

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9) الممتحنة: 8، 9

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang yang zalim. (9)” (QS. Al-Mumtahanah: 8-9)

Betapa tegasnya perintah menjaga kerukunan, walau antar umat beragama juga tercurah dalam sebuah hadis nabi. Makna tersirat yang mendalam seakan tertuang kala beliau marah besar waktu itu. Ada seorang muslim yang membunuh seorang kafir dzimmi di tengah-tengah pasar kota Madinah. Imam Al-Bukhôri sendiri telah merangkum satu bab khusus tentang hadis Nabi Muhammad SAW yang paling valid, menjelaskan tentang dosa membunuh kafir dzimmi secara lalim.


– حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَاحِدِ، حَدَّثَنَا الحَسَنُ، حَدَّثَنَا مُجَاهِدٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
[2]»

“Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Umar RA. Nabi pernah bersabda: Barang siapa yang membunuh seorang mu’ahad, maka ia tak akan mencium bau surga. Dan bau surga akan ditemukan sejak jarak empat puluh tahun.” (HR. Bukhori)

Ahmad Mursi Husain dalam Maqoshid Al-Syar’iyyah fi Al-Islam menulis, “Berbuat baik dan berlaku adil merupakan dua hal yang harus dilaksanakan seorang muslim kepada sesama manusia dan kepada ahli kitab. Orang-orang non muslim memiliki kedudukan khusus dalam mu’amalah dan undang-undang atau peraturan. Adapun yang dimaksud dengan ahli kitab adalah mereka yang melaksanakan ajaran agama sesuai dengan kitab samawi.”[3]

Pada akhirnya, anjuran untuk teguh menjaga kerukunan antar umat beragama juga kita bawa hari ini. Negeri Indonesia yang meenampung berbagai pemeluk agama seharusnya mampu mencontoh kota Madinah. Kota tempat wafatnya Nabi tersebut selalu memprioritaskan menjaga kesatuan. Perbedaan agama tidak lantas menjadi semacam sekat yang menghalangi penduduk meningkatkan kemakmuran, membangun kesejahteraan, apalagi sebagai pemicu pertikaian. Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pula mewanti-wanti, ketika Indonesia dulu masih labil bentuk konstitusinya. Indonesia waktu itu masih dalam bayang-bayang penjajah.

Telah dimaklumi bahwa manusia niscaya berkumpul, bercampur dengan yang lain. Sebab tak mungkin seorangpun mampu sendirian memenuhi segala kebutuhan–kebutuhannya. Maka mau tidak mau ia harus bermasyarakat dengan cara yang dapat membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak ancaman bahaya darinya. Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu dalam memperjuangkan kepentingan bersama dan kebersamaan dalam satu kata adalah sumber paling penting bagi kebahagiaan dan faktor paling kuat bagi terciptanya persaudaraan dan kasih sayang. Berapa banyak negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan merata, negeri-negeri menjadi maju, pemerintah ditegakkan, jalan-jalan menjadi lancar, perhubungan menjadi ramai dan masih banyak manfaat-manfaat lain dari hasil persatuan merupakan keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh[4]

Beliau juga telah membaca dan memprediksi, akan pentingnya menjalin kerjasama dan mengesampingkan perbedaan. Lebih-lebih hal itu menjadi pangkal perpecahan. “Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran, kemacetan, sumber keruntuhan, kebinasaan, penyebab kehinaan dan kenistaan. Betapa banyak keluarga-keluarga besar semula hidup dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai suatu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka. Bisanya menjalar meracuni hati mereka dan setanpun melakukan perannya. Mereka kucar-kacir tak karuan. Dan rumah-rumah mereka runtuh berantakan”.

Sejenak, mari kita renungkan arti penting meneguhkan NKRI, dan membawa NKRI ke arah yang lebih baik, dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa.

 

[1] Rujuk Ibn Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, jilid II, hlm. 449

[2] Rujuk, shahih Bukhari, hadis ke 6914

[3] Rujuk Ahmad Mursi Husain, Maqoshid Al-Syar’oyyah fi Al-Islam. Terj Kuwais. Amzah. Hal 7.

[4] Rujuk Muqaddimah Qanun Asasi.

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.