Kerukunan antar umat beragama berarti harmonisasi kehidupan umat beragama tanpa mengurangi hak dasar pemeluknya untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, kerukunan antar umat beragama adalah suatu keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dan bekerjasama saling bahu membahu dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tanpa adanya kesepakatan bersama, kerukunan antara umat beragama tidak mungkin terwujud, oleh karenanya empat pilar bangsa (NKRI, Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika) merupakan kesepakatan mengikat (Mu’ahadah) yang menjadi payung bersama bagi seluruh warga negara dalam menjalin kerukunan antar umat beragama.
Di tengah pluralitas Indonesia, kerukunan antar umat beragama merupakan aset berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, demi terciptanya kehidupan masyarakat yang damai, harmonis dan bebas dari ancaman, ketakutan dan kekerasan terutama yang ditimbulkan dari konflik agama, sehingga stabilitas, persatuan dan pembangunan nasional dapat terwujud dan membawa kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran dunia akhirat. Realitas kemajemukan bagi bangsa Indonesia bukan menjadi sumber pertikaian dan konflik yang berdampak kemunduruan dan kerugian bersama, namun justru kemajemukan dapat dikelola menjadi sumber kekuatan yang membangun, menguatkan dan membawa kemajuan.
Kerukunan umat Islam dengan umat agama lain juga tidak bertentangan dengan firman Allah Swt:
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang kepada sesama mereka.”
Sebab, tuntutan bersikap keras dalam ayat di atas adalah kepada orang-orang non muslim yang memusuhi dan memerangi umat Islam, bukan orang-orang non muslim yang hidup dalam keharmonisan, kerukunan dan kedamaian bersama umat Islam. Kepada non muslim yang terakhir ini, umat Islam diperintahkan untuk menjalin hubungan yang damai dan harmonis dengan menjaga prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh syariat.[1]
Prinsip Menjalin Kerukunan bagi Umat Islam terhadap Pemeluk Agama Lain
- 1. Dasar hubungan antara umat Islam dan pemeluk agama lain
Realitas keberagaman manusia dalam agama dan keyakinannya merupakan sunatullah yang tidak bisa dihilangkan. Andaikan Allah Swt mempersatukan manusia dalam satu agama misalnya tentu Dia kuasa, namun realitanya tidak demikian,
“Dan jika Tuhan-mu Menghendaki, tentu Dia Jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali orang yang Diberi rahmat oleh Tuhan-mu. Dan untuk itulah Allah Menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhan-mu telah tetap, Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hud: 118– 119)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa perbedaan agama, keyakinan dan pendapat di kalangan umat manusia akan selalu ada.[2] Perbedaan agama tidak bisa dijadikan alasan untuk berperilaku buruk, memusuhi dan memerangi pemeluk agama lain. Dengan demikian asas hubungan antara umat Islam dengan non muslim bukanlah peperangan dan konflik, melainkan hubungan tersebut didasari dengan perdamaian dan hidup berdampingan secara harmonis.[3] Islam memandang seluruh manusia, apapun agama dan latar belakangnya, terikat dalam persaudaraan kemanusian (Ukhuwwah Insaniyyah) yang mengharuskan mereka saling menjaga hak-hak masing, mengasihi, tolongmenolong, berbuat adil dan tidak menzalimi yang lain.[4] Allah Swt. berfirman:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
- 2. Mengedepankan budi pekerti yang baik
Di manapun berada, terlebih di lingkungan yang plural, seorang muslim tidak dapat melepaskan dirinya dari hubungan sosial dengan pemeluk agama lain. Islam mengajarkan, dalam setiap menjalin hubungan dan interaksi sosial dengan siapapun baik muslim maupun non muslim, setiap muslim harus tampil dengan budi pekerti yang baik, tutur kata yang lembut, dan sikap yang penuh kesantunan dan kasih sayang.[5] Sebagaimana perintah Allah Swt Kepada Nabi Musa As dan nabi Harun As. Untuk bertutur kata lembut kepada Fir’aun:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44)
- 3. Internalisasi semangat persaudaraan nasional (Ukhuwwah Wathaniyyah)
Kerukunan antar umat beragama tidak dapat terjalin sempurna hanya dengan sikap saling toleransi saja, namun diperlukan adanya keterbukaan diri untuk terlibat dalam kerjasama demi meraih kebaikan bersama. Bangsa Indonesia disatukan oleh kehendak, citacita, atau tekad yang kuat untuk membangun masa depan dan hidup bersama sebagai warga negara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh elemen bangsa Indonesia disatukan dan meleburkan diri dalam satu ikatan kebangsaan atau persaudaraan sebangsa setanah air (Ukhuwwah Wathaniyyah), terlepas dari perbedaan agama dan latar belakang primordial lainnya.[6] Sebagaimana Nabi Saw Menyatukan seluruh penduduk Madinah dalam satu ikatan kebangsaan:
“Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri. Kecuali bagi yang zalim dan jahat, maka hal demikian akan merusak diri dan keluarganya. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, bukan dari komunitas yang lain.”
- 4. Kebebasan beragama, beribadah dan mendirikan rumah ibadah
Agama Islam menjamin kebebasan beragama bagi setiap pemeluk agama lain, dalam arti memaksakan non muslim untuk memeluk agama Islam merupakan sebuah larangan.
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqoroh: 256)
Di sisi lain, problematika pendirian rumah ibadah di tengah-tengah masyarakat yang plural merupakan persoalan yang sensitif. Setiap peristiwa pengerusakan, atau gangguan terhadap rumah ibadah ataupun aktifitas peribadatan selalu menimbulkan dampak kerenggangan antar pemeluk agama yang dapat merusak kerukunan di antara mereka, bahkan rawan menyulut konflik. Islam memberikan toleransi dan menjamin kebebasan terhadap pemeluk agama lain untuk melakukan kegiatan keagamaan dan beribadah sesuai keyakinannya.[7] Begitu pula terhadap pendirian tempat ibadah, namun kebebasan tersebut tetap harus mempertimbangkan kebutuhan terhadap rumah ibadah serta harus sesuai perundang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku.[8]
- 5. Tidak mengganggu, merendahkan, menistakan atau menghina simbol-simbol agama lain.[9] Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Alloh, karenamereka nanti akan memaki Alloh dengan melampaui batas dasar pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap ummat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am: 108)
- 6. Menghormati hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia, seperti hak memilih pekerjaan, memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya, berpolitik, keadilan hukum dan sebagainya.[10]
(Dirangkum dari Keputusan Bahtsul Masail Maudlu’iyah Konferwil PWNU Jatim 2018)
___________________