Beberapa waktu lalu, KH. Said Aqil Siraj, ketua Umum PBNU yang juga mutakharij Pondok Pesantren Lirboyo, melakukan hal istimewa di tayangan live di salah satu stasiun televisi swasta. Beliau membeberkan bagaimana perjuangan Nahdlatul Ulama untuk kukuh dalam merawat persatuan dan perdamaian bangsa. Nahdlatul Ulama ingin rasa kebencian yang mulai merasuki masyarakat Indonesia, hilang dan berganti dengan saling berkasih sayang. Untuk itu, di akhir acara, beliau memperdengarkan beberapa bait syair kasmaran yang masyhur: qasidah Burdah.
Qasidah ini ditulis oleh Muhammad bin Said al Bushiriy. Ia adalah orang yang sejak kecil telah tumbuh bersama syair. Baik syair pujian, caci maki, atau untuk sekadar memuaskan hasrat nafsu. Namun Bushiriy — begitu ia dipanggil — kemudian menemukan guru yang tepat untuk membimbingnya. Hingga terbukalah hatinya. Dan yang keluar dari karya-karyanya adalah qasidah-qasidah madah, pujian kepada Rasulullah saw.
Penyair-penyair kala itu memuji syair-syair yang ia buat sebagai karya madah yang indah, agung, hingga ia dikenal sebagai salah satu penyair terbaik yang pernah lahir di muka bumi. Karyanya bertebaran dan dibaca di mana-mana. Ia menulis qashidah hamziyyah (syair yang tiap baitnya berakhiran huruf hamzah), yang berisi kisah-kisah perjuangan Nabi. Ia juga menulis qashidah mimiyyah, qashidah yang berakhiran huruf mim di tiap baitnya. Qashidah inilah yang kita kenal dengan qashidah Burdah. Qasidah ini telah memiliki tempat tersendiri di hati umat Islam, dahulu dan sekarang. Apalagi, ada kisah menakjubkan di balik masyhurnya qasidah ini.
Qasidah ini ditulis oleh Bushiriy kala ia sedang menderita sakit parah. Namun kecintaannya kepada Nabi tidak mencegahnya untuk terus menggumamkan pujian-pujian kepadanya. Suatu ketika, dalam tidurnya, ia bertemu dengan Nabi. Bertatap muka dengannya. Sebagai seseorang yang hampir seluruh kesempatan berbicara digunakan untuk melafadzkan puja-puji kepada sang Nabi, pertemuan itu sudah semestinya menjadi pertemuan agung antara pecinta dan sang kekasih.