Tanggal 11 juni 2023 M. kamis malam jumat, bertepatan dengan 21 Syawal 1444 H. pondok pesantren Haji Mahrus Ali (HMA) unit pondok pesantren Lirboyo mengadakan haul KH. Mahrus Ali yang ke 29. Dalam acara haul tersebut KH. Anwar Mansur, mantu sekaligus keponakan KH. Mahrus Ali menegaskan arti haul;
“Haul niku awake dewe dicritani, didongengi lampahipun wong seng dihauli. Lha niki maksude dos pundi? Ayo podo melok lampahe wong seng dihauli, dados mboten namung teko mawon, Tapi awake dewe iki sakpiroe ibadah nang gusti Allah, ayo dipadakno karo wong seng dihauli”
Artinya: “Haul itu adalah dimana kita berkumpul, diberi cerita dan kisah perjalanan hidup seseorang yang dihaul-i. Artinya bagaimana? Artinya, Ayo Monggo semangat menirukan jalan hidup orang yang dihaul-i. jadi kita tidak hanya datang, tapi seberapa banyak ibadah kita kepada Allah, ayo disamakan seperti orang yang di haul-I”
pengasuh pondok pesantren Lirboyo tersebut melanjutkan;
“Panjenengan niki dicritani tindak lampahe mbah yai mahrus mugo2 iso nirokno langkahe mbah yai mahrus. Niku kepentinganipun awake dewe nekani haul”
Artinya: “Kalian2 ini di beri cerita perjalanan hidup mbah yai mahrus semoga saja kelak bisa Menirukan langkah beliau. (selain untuk kirim doa) Itu tujuan kita menghadiri haul.”
Sebelumnya romo KH. Anwar Iskandar sebagai murid sekaligus saksi hidup KH. Mahrus Ali menceritakan kehidupan mbah Mahrus sekaligus menyampaikan dawuh dan konsisteni beliau semasa hidupnya, mbah Mahrus sering menyampaikan;
“Ojo sampe leren-leren nek ngopeni Nahdlotul Ulama, nek ngopeni NU seng ikhlas”
Artinya; “jangan sampai berhenti berkhidmah menjaga Nahdlotul Ulama. Kalau berkhidmah ke NU seyogyanya disertai dengan hati yang ikhlas”
Yai Anwar Iskandar menuturkan, dawuh tersebut sering mbah mahrus utarakan kepada santri-santrinya terutama setelah ditinggal wafat Mbah Nyai Zainab(istrinya) sampai menjelang beliau wafat (KH. Mahrus ali wafat di tanggal 06 ramadlan 1405 H bertepatan pada tanggal 26 Mei 1985 M tak terpaut jauh dengan istri beliau, 12 Jumadal Akhiroh 1405 H/ 4 Maret 1985 M).
Beliau melanjutkan;
“Suatu ketika, disaat memberangkatkan jenazah Mbah Yai Mahrus Ali, Mbah Yai Ali Maksum krapyak yang kala itu nderekaken jenazah mbah mahrus ali, dawuh
المَوْتُ بَابٌ وَالنَّاسُ دَاخِلُهُ
Mati niku koyo dene lawang, kabeh wong mesti mlebu nang kono, Sopo seng mlebu lawang sangune cukup, moko ora bakal repot Tapi lek mlebu kono sangune ora cukup mesti repot.”
Artinya: “Mati itu seperti halnya pintu yang setiap orang akan memasukinya. Seseorang yang masuk pintu dalam keadaan memiliki bekal yang cukup, maka dia tak akan bersusah payah kerepotan setelahnya. Tapi apabila masuk pintu tersebut dalam keadaan tidak memiliki bekal yang cukup, maka jelas tentu akan bersusah payah dan kerepotan setelahnya.
KH. Anwar Iskandar melanjutkan dawuhnya:
“Kala itu adalah suatu Peristiwa yang mengejutkan bagi kita. Tahun 1985 kita kehilangan ulama besar yang alim, yang memiliki konsistensi pada pemikiran-pemikiran yang sangat maju, tentang bagaimana seharusnya kewajiban umat islam memikirkan agama islam. Tentang bagaimana seharusnya orang pesantren memikirkan pesantren. Tentang bagaimana orang NU memikirkan NU. Tentang bagaimana orang indonesia memikirkan indonesia. Itu semua adalah suatu konsistensi dari mbah yai mahrus.
Mbah yai mahrus sering dawuh di beberapa event, entah itu mauludan, rojabiyahan, mantenan;
“Wong pesantren mikirno pesantren wong islam mikirno islam wong NU mikirne NU Mikirne tok niku lo pon ngibadah, nopo meleh nandangi”
Artinya; “Orang pesantren seyogyanya memikirkan pesantren, orang islam seyogyanya memikirkan islam, orang NU seyogyanya memikirkan NU. Memikirkan saja itu sudah ada nilai ibadah, lebih lebih mau khidmah bertindak”
Kita ini santri-santri di didik untuk peduli, untuk ada mubalah, jangan hanya diam saja. Tidak usah khawatir, kamu pasti akan dirawat oleh Allah jika kamu mau memikirkan agama Allah.
Pada malam itu juga beliau menjelaskan ayat al-Qur’an;
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Jangan kau kira orang orang yang membela agama allah itu mati,, tidak, mereka akan terus hidup serta diberi rizqi”
Imam ghozali dalam Ihya’ Ulumu ad-Din menjelaskan;
وَلَا تَظُنَنَّ أَنَّ هَذَا مَخْصُوْصٌ بِالْمَقْتُوْلِ فِيْ الْمَعْرِكَةِ فَإِنَّ لِلْعَارِفِ بِكُلِّ نَفْسٍ دَرَجَةُ أَلْفِ شَهِيْدٍ وَفِيْ الْخَبَرِ إِنَّ الشَّهِيْدَ يَتَمَنَّى فِيْ الْآَخِرَةِ أَنْ يُرَدَّ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلُ مَرَّةً أُخْرَى لِعَظْمِ مَا يَرَاهُ مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ وَإِنَّ الشُّهَدَاءَ يَتَمَنَّوْنَ لَوْ كَانُوْا عُلَمَاءَ لِمَا يَرَوْنَهُ مِنْ عُلُوِّ دَرَجَةِ الْعُلَمَاءِ
“Jangan kamu kira bahwa ayat tersebut terkhusus bagi orang yang terbunuh dalam medan peperangan. Sebab bagi setiap orang yang arif, setiap nafasnya setara seribu orang mati syahid. Dalam suatu hadist, sesungguhnya orang mati syahid kelak di akhirat berharap supaya dikembalikan ke dunia kemudian mati dalam keadaan syahid Kembali, begitu seterusnya, sebab agungnya pahala mati syahid dan sesungguhnya orang yang mati syahid berharap supaya menjadi ulama dikarenakan luhurnya derajat ulama”
Jangan kamu kira bahwa ayat tersebut dikhususkan hanya untuk orang-orang yang mati dimedan perang saja, tidak. Tapi para ulama-ulama yang mengajarkan ilmu kepada santri-santrinya Yang kemudian santrinya terus memperjuangkan agama Allah Swt. itu termasuk alladzina yuqotiluna fisabilillah. Mereka kiai-kiai yang mewakafkan dirinya untuk menyebarkan Agama Allah Swt. itu termasuk aladzina yuqotiluna fisabilillah.
Lantas KH Anwar Iskandar menutupnya dengan urgensi nderek haul. Beliau dawuh: “Poro Hadirin, Betapa senangnya mbah yai-mbah yai mendapat kiriman doa dari anak cucunya. Karena
خَيْرُ الْهَدِيَّةِ لِلْاَمْوَاتِ الْدُعَاءُ وَالْاِسُتِغْفَارُ
“Hadiah Terbaik untuk orang yang sudah meninggal adalah Berupa mendoakan dan memintakan ampun”
Sekian semoga bermanfaat.
Baca Juga: Mengenang KH. Abdul Karim Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo
Subscribe; Pondok Lirboyo
Follow; pondoklirboyo