Al-Fudail bin ‘Iyadl (wafat; 187 H) adalah mantan gembong preman, seorang pembegal ulung yang mencegat orang-orang di tengah jalan pada wilayah sekitaran Abyurd dan Sarkhos (daerah Samarkand). suatu hari ia hendak melaksanakan aksinya merampok rumah. Dengan sebuah kayu ia memanjat rumah korban. Dalam aksinya itu, tidak sengaja ia mendengar seseorang membacakan ayat al-Qur’an;
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Surat Al-Hadid: 16]
Tidak diragukan lagi kesalihan sang pembaca, bacaan al-Qur’annya bisa menyentuh hati seorang gembong preman seperti Fudail.
“Duhai tuhannku, sudah sampai waktunya (untuk bertaubat)!” Fudail merintih penuh penyesalan. Ia hempaskan tangga kayunya, kemudian duduk menangis penuh penyesalan.
Dalam keadaan menyesal ia Kembali pulang menuju reruntuhan rumah di pinggiran kota yang biasa ia tinggali.
Di dekat tempat tinggalnya, ada rombongan yang hendak lewat. Lamat-lamat Fudail mendengar percakapan mereka yang ternyata sedang membicarakannya. Dalam percakapan tersebut, rombongan memutuskan untuk memilih jalur lain yang lebih jauh dari pada jalur yang sudah ada di depan mata.
“Di jalan ini ada Fudail bin ‘Iyadl, aku khawatir ia akan merampok kita, mengambil harta milik kita” ucap salah satu dari mereka, rombongan yang lain juga menyembutkan keburukan demi keburukan yang pernah dilakukan Fudail.
Mendengar obrolan itu Fudail kembali menangis;
“Wahai diri yang buruk, celakalah kamu siksa Allah menantimu, sungguh engkau telah membuat penduduk ketakutan, dan lihatlah, orang-orang bersaksi atas keburukanmu!”
Akhirnya Fudail menghampiri mereka;
“Lewatlah, aku tidak akan menggangu kalian!”
Sejak saat itu Fudail bin ‘Iyadl berubah yang semula gembong preman dan perampok menjadi pribadi takwa dan zuhud, bahkan menjadi tolak ukur dalam hal kezuhudan, ketakwaan dan keikhlasan. Ia tidak peduli pada cacian orang. Bahkan, setelah taubat ia tidak pernah tertawa sama sekali kecuali saat anaknya meninggal. Sebagai bukti keikhlasan seorang hamba atas segala kepastian tuhannya.
Bertemu Dengan Khalifah Harun ar-Rosyid
Suatu hari Harun ar-Rosyid meminta kepada mentrinya ar-Robi’ supaya membawanya kepada seorang alim; “Hai Robi’, bawalah aku kepada alim supaya memberiku nasehat!”
Berangkatlah keduanya ke kediaman Sufyan bin Uyainah, setelah sampai mereka mengetuk pintu kediaman sang alim; “Siapa yang mengetuk pintu?”, suara sang alim terdengar dari dalam.
“Ini Amirul mukminin!”
Dengan penuh kegembiraan Sufyan bin Uyainah menyambut tamunya.
“Amirul mukminin minta kepadamu supaya memberi wasiat dan nasehat!”. Mentri sang Khalifah memulai pembicaraan.
Akhirnya Sufyan ibn Uyainah memberi nasehat-nasehat kepada Amirul mukminin. Setelah mendapat nasehat, harun ar-Rasyid bertanya kepada Sufyan ibn Uyainah; “Apa anda memiliki hutang?”
“iya, saya sedang terlilit hutang ini dan ini”. jawab Sufyan ibn Uyainah.
“Hai robi’, perintahlah seseorang untuk membayarkan hutangnya!”. ucap sang Khalifah kepada mentrinya. Setelahnya mereka pamit undur diri dari kediaman Sufyan ibn Uyainah.
“Hai Robi’, hatiku belum tenang, hatiku belum mendapatkan obatnya. Bawalah aku kepada orang alim yang lain!”
Robi’ memutuskan untuk membawa sang Khalifah sowan kepada Fudail bin ‘Iyadl. Kala itu sang alim tinggal di rumah yang sudah tua. Pada waktu antara Maghrib dan Isya’ keduanya sampai lantas mengetuk pintu.
“Siapa di depan pintu?”. jawab seorang perempuan dari dalam.
“Khalifah dan mentrinya hendak sowan!”
“Beliau sedang khusyuk beribadah dalam kamarnya”. pelayan perempuan tadi menjelaskan keadaan tuannya yang sedang tidak bisa diganggu.
“Khabarkanlah kedatangan kami, kami hendak sowan kepadanya!”
“Bagaimana aku berkhabar sementara beliau sedang bermunajat dalam ibadahnya!”
“Masuklah dan khabarkan kedatangan kami!”. sang tamu terus mendesak supaya segera dipertemukan.
Akhirnya Perempuan tadi mencoba masuk untuk mengatakan kedatangan khalifah. Di dalam kamar Fudail bin ‘Iyadl sedang khusyuk bermunajat dengan tuhannya;“Aku belum ingin menemuai keduanya, jangan buka pintu untuk keduanya”
Perempuan tadi keluar dan mengatakan bahwa fudail belum ingin menemuinya.
“Kami harus mencoba untuk masuk” sang Khalifah memaksa masuk. Masuklah mereka berdua dan menemukan Fudail ibn ‘Iyadl dalam kamar kecil ditemani lentera kecil. Saat menyadari kedatangan keduanya, Fudail mematikan lenterannya sehingga dalam kegelapan itu harun ar-Rasyid masuk dan tanganya meraba-raba. Dengan tidak sengaja tangannya menemukan punggung Fudail ibn ‘Iyadl.
“Tidak ada telapak tangan halus yang selamat dari siksa Allah Swt.”
Ucapan Fudail tersebut langsung menyentuh hati Khalifah; “Nasehatilah aku!”
“Hai Harun! Saya tidak pernah melihat orang yang lebih bodoh darimu dalam mengatasi urusan orang-orang muslim. Bagaimana kamu bisa tertawa, bagaimana kamu bisa tidur dengan tenang!”. Fudail terus memberi nasehat, membuat Khalifah menangis tersedu-sedu hingga kehilangan kesadaran.
Robi’ meminta kepada Perempuan tadi untuk membawakan air guna menyadarkan khalifah.
“Wahai Fudail! Sudah cukup nasehat yang ka berikan kepada Amirul Mukminin”. pinta Robi’ kepada Fudail.
“Kalian adalah orang yang membuatnya tidak sadar. Kalian munafik, kalian tidak menanggung dosanya kelat di hari kiamat!”
Semuanya diam hingga Khalifah berkata kepada Fudail; “Hai Fudail, apakah kamu punya hutang yang bisa aku bayarkan?”.
“Benar, hutangku banyak tapi kamu tidak akan mampu melunasinya!”. jawab Fudail.
“Bagaimana bisa ada hutang yang tidak bisa aku lunasi?”. Harun ar-Rasyid keheranan.
“Dosaku sangat banyak, apa kamu bisa menanggungya untukku?!”.
Tersadarlah sang Khalifah dan menangis.
“Sudah, jangan lagi menggangu as-Syaikh beribadah pulanglah semoga kalian mendapat keberkahan. Akhirnya mereka berdua pamit”. Pelayan Perempuan tadi meminta supaya sang Khalifah dan mentrinya pulang.
Dalam perjalanan Harun ar-Rasyid berkata kepada Rabi’; “Hai robi’! jika kamu ingin membawakan penceramah kepadaku bawalah orang seperti Fudail”.[1]
Demikianlah kisah Fudail bin Iyadl seorang preman yang bertaubat dengan sungguh-sungguh hingga Allah Swt. mengangkat derajatnya. Semoga Bermanfaat. Waallahu A’lam Bi as-Showab.
Baca Juga; Operasi Transgender Menurut Kacamata Fikih
Follow; @pondoklirboyo
Subscribe; Pondok Lirboyo
[1] As-Sayyid Muhammad bin Ahmad as-Syathiri, Syarah Yaqut an-Nafis, Hal. 245-247, jilid. 3, Dar al-Hawi, Cetakan pertama tahun; 1994 M.