Kunjungan Dari Lamongan

  • Hisyam Syafiq
  • Jan 13, 2016

LirboyoNet, Kediri – Semakin tingginya tingkat eksplorasi pada sistem pendidikan, yang terus diupayakan untuk memenuhi tuntutan zaman, menarik agaknya melihat bagaimana sistem klasik dalam pendidikan Pondok Pesantren Lirboyo dapat bertahan.

Banyak lembaga lain yang bertransformasi menjadi lebih “modern”. Tidak bisa tidak, itu adalah sebuah wujud kerja keras agar bisa menumbuhkembangkan santri yang berdaya saing. Memberi mereka bekal yang aktual. Mereka memperluas jaringan dan memberi fasilitas yang kekinian, sebut saja komputer dan internet.

Sebenarnya, apa yang dituju Ponpes Lirboyo tidaklah jauh berbeda. Setiap pesantren tentu ingin menelurkan santri yang dapat berdaya guna di tengah masyarakat. Dan, tentu saja, untuk menuju ke sana dapat ditempuh dengan beragam cara.

Adalah Pondok Pesantren Roudlotul Muta’abbidin, sebuah pesantren di Kabupaten Lamongan, yang meyakini bahwa Ponpes Lirboyo memiliki sistem unik untuk mempertahankan kesalafannya. Maka siang itu, Senin (11/01), sang pengasuh, Ustadz Ibnu Abbas, datang dengan beberapa minibus yang membawa dua kelompok besar: 36 santri putra dengan beberapa ustadznya, yang segera menuju kantor Al-Muktamar. Dan di lain sisi, 54 santri putri melangkah ke arah Ponpes Hidayatul Mubtadiaat.

Waktu mereka tidak banyak. Hanya 24 jam untuk meraba sistem pembelajaran. Maka sore itu juga, santri putra membaur dalam aktivitas musyawarah santri Ibtida’iyyah. Tidak cukup di situ. Setelah jama’ah shalat Isya, mereka diarahkan menuju gedung Muhafadzah. Salah satu pembimbing mereka, Ustadz Thaha, menilai, proses muhafadzah ini menjadi salah satu unsur penting yang ingin mereka ketahui. “Kiranya, metode menghafal ini cocok dengan suasana pendidikan di pesantren kami. Muhafadzah sangat membantu santri untuk memahami pelajaran,” tegasnya.

Perlu diketahui, Ponpes Roudlotul Muta’abbidin telah cukup lama menjalin hubungan dengan Ponpes Lirboyo. Sejak 2010, mereka rutin setiap tahun mengirimkan santri-santri mereka untuk ikut belajar bersama santri Lirboyo. Walhasil, semakin banyak sistem pendidikan yang dapat ditularkan di sana. Muhafadzah salah satunya. Dalam prakteknya, Ustadz Thaha menerangkan, muhafadzah sudah menjadi metode wajib bagi para santri. Imbasnya, pemahaman mereka pada pelajaran semakin tinggi.

Para santri ponpes ini mayoritas berdomisili di kampung sekitar pesantren. Di samping belajar di madrasah diniyah, mereka juga sekolah formal di MA Raudlatul Muta’abbidin, yang bernaung di yayasan yang sama. Di keseharian mereka, banyak yang ikut membantu orangtua. Dari ngangsu (menimba air) hingga ngarit (mencari rumput). “Mereka ini luar biasa. Di luar kegiatan belajar, masih harus mengisi waktu dengan kerja keras,” puji Ketua Tiga Ponpes Lirboyo, Bapak Hamim HR dalam satu kesempatan. “Kalian tidak usah berkecil hati. Saat Sahabat Nabi berjumlah 1500-an, yang mondok (ahlus shuffah) cuma tiga ratus orang. Yang lain berangkat dari rumah masing-masing,” imbuh Bapak M. Masruhan, salah satu dewan Mudier Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM).

Mengenai musyawarah, para santri yang baru saja menjuarai even kompetisi voli Kabupaten Lamongan ini sedikit demi sedikit mulai mengikuti alur yang sudah menjadi tradisi Lirboyo. “Untuk membantu keefektifan situasi musyawarah mereka, kami memberikan buku-buku tanya jawab karya santri Lirboyo. Mereka bisa mencari jawaban di situ,” imbuhnya.

Esok harinya, santri putra yang terbagi menjadi enam kelompok kecil menuju gedung An-Nahdloh, tempat santri kelas V Ibtida’iyyah sekolah. Di dalam kelas, mereka mencermati para santri yang memulai pelajarannya dengan berdiskusi. Pelajaran di hari kemarin menjadi fokus utama pembahasan. Baru kemudian mustahiq (guru) masuk untuk merumuskan permasalahan yang sudah dibahas, lalu menambah pelajaran mereka.

Kunjungan ini mereka akhiri pada Selasa (12/01) siang. Setelah dilepas oleh beberapa pengurus Ponpes Lirboyo dan MHM, mereka menuju maqbarah. Tak lain, ziarah ini untuk mempererat hubungan para santri dengan almaghfurlah KH. Abdul Karim. “Walaupun hanya beberapa jam di sini, kami ingin diakui sebagai santri Mbah Abdul Karim. Semoga kami bisa ikut rombongan beliau kelak,” harap Ustadz Ibnu Abbas.][

 

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.