Secara historis, berdirinya Langgar Angkring Pondok Pesantren Lirboyo sangat erat dengan awal mula KH. Abdul Karim berdomisili di Desa Lirboyo pada tahun 1910 M. Tepatnya, selang satu tahun kelahiran putri sulung Beliau dengan Nyai Khadijah (Dlamrah) yang bernama Hannah.
Misi KH. Shaleh Banjarmelati untuk menyebar luaskan Agama Islam terutama di daerah- daerah yang masih rawan merupakan latar belakang kepindahan KH. Abdul Karim dari Banjarmlati ke Lirboyo. Berawal dari keinginan Kepala Desa Lirboyo yang mendambakan kehadiran sosok yang alim di Desanya, untuk merubah tatanan kehidupan sosial dan masyarakat Desa yang tidak kondusif, penuh dengan pencuri, penjudi, peminum serta berbagai perilaku dekadensi moral lainnya, Kepala Desa tersebut memohon kepada KH. Shaleh Banjarmelati untuk menempatkan orang alim di Desa Lirboyo.
Kemudian, beliau berusaha mencari lokasi yang tepat dan mapan sebagai tempat pemukiman. Setelah tempat yang dimaksud ketemu dan telah dibeli, KH. Shaleh Banjarmelati mengumandangkan Adzan di tempat itu. Konon, warga Desa Lirboyo beberapa hari tidak dapat tidur akibat suara gemuruh makhluk halus yang meninggalkan tempat tersebut. Beberapa hari kemudian, KH. Shaleh Banjarmelati membangun rumah kecil nan sederhana, beratap daun kelapa dan berpagar bambu. Tanpa membantah sedikitpun, Mbah Abdul Karim mengiyakan ketika sang mertua dawuh;
“Kyai, panjenengan sampun kulo damelaken griyo wonten Lirboyo (Kyai, anda sudah saya bangunkan rumah di Lirboyo)”.
Malam itu juga, beliau berangkat ke Desa Lirboyo diantar oleh KH. Shaleh Banjarmelati dan adik iparnya, K. Asy’ari (menurut versi lain bukan K. Asy’ari melainkan K. Makruf Kedunglo). Tidak banyak bekal yang beliau bawa, hanya satu bakul nasi dan semangkuk sayur, sebuah alas tikar kusut dan lentera penerang.
Sesampainya di Desa Lirboyo, sang mertua dan adik ipar kembali ke Banjarmlati. KH. Abdul Karim sendirian, tanpa istri tercinta dan buah hati yang masih balita, serta tanpa bekal uang sepeserpun.
Setelah dua hari, barulah sang istri tercinta menyusul ke desa Lirboyo menemani sang suami membina rumah tangga disamping juga menebarkan sayap dakwah di bumi rantau. Tak banyak bekal dibawa Nyai Dlamrah, beliau hanya membawa sebakul beras, seekor ayam blorok, dan seikat kayu bakar.
Mendirikan Langgar Angkring
Tiga puluh lima hari kemudian, KH. Abdul Karim mendirikan Langgar Angkring di sisi rumah. Kurang lebih setengah tahun beliau bermukim di Lirboyo, muncul ide dari sang mertua untuk mendirikan sebuah Pondok Pesantren agar jangkauan penyebaran Agama Islam serta pendidikan kader penerus perjuangan Ulama semakin meluas. Setelah melalui pertimbangan yang matang, dibangunlah Pondok Pesantren pada tahun 1910 M/1329 H.
Berkat kerja keras, daya upaya dan keinginan luhur, dalam waktu relatif singkat telah berdiri bangunan Pondok Pesantren yang sangat sederhana. Namun, nampak gagah dengan gaya arsitektur klasik Bangunan inilah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Lirboyo.
Hinga kini, bangunan tersebut masih berdiri tanpa ada perubahan. Embrio Pondok Pesantren Lirboyo tersebut terletak dijantung Pondok Pesantren, tepatnya disebelah utara Masjid (Pondok lama).
Menurut para saksi sejarah, sewaktu KH. Shaleh Banjarmelati menentukan lokasi banguan Pondok, beliau menggali tanah sedalam tiga atau empat meter. Kemudian beliau mencium galian tanah tersebut. Aneh, tanah itu berbau harum semerbak. Akhirnya, KH. Shaleh Banjarmelati menetapkan tempat itu sebagai tempat berdirinya Pondok Pesantren. Dalam upaya menjaga historisitas serta barakahnya, bangunan pertama itu sampai sekarang masih utuh serta tidak dirubah sedikitpun. Saat ini, cikal-bakal Pondok itu menjadi bagian dari kamar santri yang masuk dikawasan kamar huni santri Blok E.
Melihat peran Masjid sangat urgen dalam keberlangsungan Pondok Pesantren, hingga dirasa belum sempurna tanpa kehadiran Masjid, Dua setengah tahun kemudian (tahun 1913 M), dibangunlah Masjid atas inisiatif KH. Abdul Karim.
Kedatangan Santri Pertama
Bangunan Masjid itu letaknya tidak jauh dari lokasi Pondok yang telah ada. Kendati sangat sederhana, berdinding kayu dan bambu, keberadaan Masjid sangat menunjang misi didirikannya Pondok Pesantren. Tak mengherankan jika tiga tahun kemudian (tahun 1915), datang santri perdana asal Madiun bernama Umar.
Kedatangannya untuk menimba ilmu Agama di Lirboyo disambut baik oleh KH. Abdul Karim. Selama nyantri, pemuda itu betul-betul uletra rjin, dan selalu taat kepada sang Kyai. Jerih payah dan jejak langkah Maha Guru selalu diikutinya segenap tenaga dan kemampuannya dicurahkan untuk membantu kesibukan sang Kyai.
Tak berselang waktu lama, datanglah tiga santri asal Kota kelahiran KH. Abdul Karim, Magelang. Mereka ialah Yusuf (versi lain bukan Yusuf tetapi Yusa’), Shamad, dan Sahil. Datang lagi dua santri asal Gurah Kediri, Syamsudin dan Maulana. Akan tetapi, dua hari setelah kedatangan kedua santri baru itu, musibah datang menimpa. Barang dan bekal keduanya habis dicuri orang, memaksa mereka pulang kampung, memang situasi Lirboyo waktu itu masih kurang aman.
Peredaran masa yang perlahan tapi pasti telah merubah cakrawala peradaban baru diatas langit Lirboyo. Sebuah Kawasan yang dulu kenyang akan pahit getir kebiadaban dan kebrutalan penghuninya, kini berubah menjadi Kawasan yang aman, tenteram, serta kondang dengan Pondok Pesantrennya. Perubahan radikal itu tak lepas dari intervensi KH. Abdul Karim yang tak kenal lelah dan pantang menyerah mengajak masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan lebih mengenal ajaran Agama Islam.
Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo mulai dikenal masyarakat luas, sehinga semakin banyak santri berdatangan ingin menimba ilmu Agama di Lirboyo. Untuk menghindari hal-hal yang tidak didinginkan, seperti gangguan-ganguan keamanan.
Dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling lokasi Pesantren. Sampai saat ini, hal tersebut masih berjalan dibawah pantauan Dewan Keamanan Pondok Pesantren.
Disarikan dari Buku; Pesantren Lirboyo, Sejarah, Fenomena dan Legenda.
Follow; @pondoklirboyo
Subscribe; Pondok Lirboyo
Baca Juga; Tradisi Ngaji Bandongan di Pondok Pesantren Lirboyo