LirboyoNet, Sidoarjo — Istighotsah adalah cara terbaik bagi umat Islam untuk berperan dalam menciptakan suasana negara yang damai dan tentram. Para kiai, santri, dan unsur masyarakat Islam lainnya wajib meyakini kekuatan muslim tertinggi: al-du’â silâhul mukmin. Doa adalah senjata masyarakat Islam yang paling ampuh. Maka sudah barang tentu muslim menggunakannya di setiap hajat peperangan apapun, termasuk dalam memerangi kekuatan-kekuatan musuh dâkhiliyyah dan khârijiyyah, musuh dari dalam tubuh, juga supremasi kekuatan di luar kelompok masyarakat Islam dan negara.
KH. Hasan Mutawakkil Alallah, ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, menegaskan ini di sela-sela acara Istighotsah Kubro Hari Lahir ke-94 Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, Ahad pagi (09/04). Beliau menilai, doa bersama adalah kesempatan terbaik bagi umat Islam, terutama nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama), untuk memperlihatkan dukungan yang besar bagi keselamatan dan kedamaian bangsa. “Kita beristighotsah untuk menunjukkan bahwa inilah cara Islam mewujudkan kedamaian bangsa. Bukan dengan cara-cara yang anarkis dan keras,” tutur beliau yang juga alumnus pondok pesantren Lirboyo ini. Istighotsah ini juga menunjukkan kepada dunia luar bahwa Islam dalam segala aspeknya, baik ketika berada dalam kondisi nyaman maupun sedang berada dalam tekanan berat seperti akhir-akhir ini, selalu mengedepankan cara berpikir dan cara bertindak yang adem dan menyejukkan.
“Pagi ini, kita berhasil menunjukkan kepada bangsa Indonesia, bahwa nahdliyin berada di garda terdepan untuk turut menyejahterakan bangsa. Di sini, bukan hanya ratusan ribu nahdliyin berada di tengah-tengah Gelora Delta Sidoarjo. Tapi Gelora Delta lah yang berada di tengah lautan nahdliyin,” ungkap beliau diikuti gemuruh sorak sorai peserta istighotsah.
Menilik foto yang beredar di beberapa media, dari acara yang bertemakan “Mengetuk Pintu Langit, Menggapai Nurulloh” ini memang terlihat jamaah istighotsah dengan pakaian serba putih menyemut, ‘mengepung’ stadion kebanggaan warga Sidoarjo. Itupun, ungkap KH. Hasan Mutawakkil, masih hanya sebagian kecil dari warga nahdliyin Jawa Timur secara keseluruhan. Karena berbagai lapisan organisasi Nahdlatul Ulama yang berada dalam naungan PWNU, baik PC (pengurus cabang), MWC (majelis wakil cabang), hingga ranting NU memohon maaf karena tidak bisa mengikuti istighotsah bersama ini. “Para jamaah kami banyak yang tidak bisa berangkat. Mereka telah kehabisan armada kendaraan. Sudah tidak ada perusahaan bis maupun p.o. kendaraan lain yang mampu mengantarkan mereka. Seluruhnya telah habis.” Memang, dari pantauan redaksi LirboyoNet, banyak PAC maupun MWC yang gagal berangkat karena kesulitan mencari armada. Dari MWC Pandaan, Pasuruan saja, mereka membutuhkan sembilan bus untuk mengangkut jamaah mereka. Dari satu pesantren di Mojosari, Mojokerto saja, sudah membutuhkan banyak sekali kendaraan untuk mengantarkan tujuh ratus santrinya.
Bagaimana dengan Lirboyo? Tidak kurang dari tujuh ratus santri mengisi penuh enam bus dan tujuh truk tentara. Mereka ‘hanya’ terdiri dari sebagian siswa tingkat Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Itupun tidak semuanya. “Setiap angkatan, setidaknya mendapat jatah 240 kursi,” tutur Ade Harits, siswa yang juga menjadi salah satu panitia pemberangkatan.
[ads script=”2″ align=”right”]
Sebelum istighotsah dibaca beramai-ramai, terlebih dahulu dibacakan maklumat PWNU Jawa Timur oleh KH. M. Anwar Iskandar, salah satu wakil Rois Syuriah PWNU Jatim. Salah satunya adalah “Menjaga negara dari hal-hal yang merusak tatanan adalah wajib, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harta terbesar bangsa dan negara ini.” Bagaimana tidak, menjaga kedaulatan negara adalah salah satu bentuk ikhtiar umat Islam yang paling penting untuk menjaga kontinuitas dalam menabur kebaikan dan nilai-nilai Islam di bumi, terutama bumi Nusantara. Umat Islam Indonesia berkewajiban untuk menghindarkan negara dari pudarnya rasa kepercayaan penghuninya terhadap semua unsur negara dan pemerintahannya.
Setiap masyarakat Islam Indonesia hendaknya memaklumi ini. Karena menyebarkan Islam yang damai, teduh, mengayomi, adalah perwujudan dari Islam yang “rahmatan lil alamin”. “Salah satu ikhtiar besar Islam (untuk mewujudkan kondisi itu) adalah hifdz al-daulah, menjaga kedaulatan NKRI. Keutuhan dan persatuan Indonesia adalah tanggungjawab setiap warga NU,” tegas Gus Anwar, yang juga satu almamater dengan KH. Hasan Mutawakkil Alallah.
Turut hadir Rois ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Ma’ruf Amin. Dalam amanat yang beliau sampaikan, tugas nahdliyin adalah menjaga bangsa, umat dan negara dari berbagai masalah. “Kita hari ini hadir untuk mengetuk pintu langit. Memohon berkah pada sang Kuasa untuk menyelamatkan bangsa ini dari gangguan-gangguan yang tersebar dari dalam dan luar (tubuh negara dan agama).”
Beberapa hari sebelum hadir di Sidoarjo, beliau bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Beliau memberitahukan bahwa PWNU Jawa Timur akan melaksanakan hajat kubro demi keutuhan negara. “Presiden terharu, dan memang inilah yang harus dilakukan oleh umat Islam. Harus mendukung negara melalui upaya-upaya batiniah,” tutur beliau. Kemerdekaan adalah rahmat, dan mempertahankannya adalah bentuk dari merawat rahmat itu.
Hari itu, tutur beliau, menjadi saksi bahwa kiai adalah sosok yang sangat besar perannya dalam menyelamatkan negara. “Kiai tidak hanya sibuk mencetak santri dan kiai mumpuni, tetapi juga berdoa secara konsisten demi keselamatan bangsa.” Para kiai dan ulama selalu hadir dalam upaya-upaya kebangsaan, dengan mengharap perolehan rahmat dari sang Cahaya di atas Cahaya.
Tidak jauh-jauh, salah satu buktinya adalah apa yang dilakukan pesantren Lirboyo. Beberapa bulan terakhir ini, para santri, terutama kelas Tiga Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, terus dikerahkan untuk membaca aurad-aurad (bacaan wirid) tertentu setiap harinya. “Kami mendapat instruksi ini dari beliau KH. M. Anwar Manshur langsung. Beberapa bulan terakhir ini, setiap malam selepas sekolah kami membaca hizib nawawi dan hizib nashar. Beliau benar-benar mengharap santri untuk ikut ikhtiar dalam mendinginkan situasi negara dengan senjata kami, yakni doa,” tukas Anas Lauhil Mahfudz, salah satu pengurus kelas Tiga Aliyah.
Mari bersama mewujudkan Indonesia yang damai dan berdaulat, dengan terus berupaya dari segala aspek yang kita bisa. Karena dengan ikhtiar yang simultan dari berbagai lapisan masyarakat, sesuai apa yang ditekankan Rois ‘Am PBNU, sekecil apapun amal jika disatukan dengan rahmat Allah, dengan doa yang terus dipanjatkan, akan menjadi besar. Senjata ini akan melipatgandakan impact dan pengaruh ikhtiar lahiriah kita, sehingga bisa berguna bagi kemaslahatan nusa dan bangsa.][