Memejahijaukan Fanatisme

Ketika kita membahas apa itu fanatik, maka kita akan memasuki lorong dialog purba. Dimana diskursus mengenai hal tersebut sering tidak mencapai titik usai yang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan, lebih-lebih dalam aspek keagamaan.

Secara etimologi (bahasa), fanatik diartikan sebagai suatu kepercayaan atau keyakinan yang teramat kuat terhadap suatu ajaran, baik keagamaan, politik, dan lain sebagainya. Sebagian pakar menggambarkan sikap fanatik dengan sikap yang berlebihan dalam menganut, membela, serta memperjuangkan sebuah keyakinan. Sehingga pola pikir yang dibangun cenderung tertutup dan tidak sedikit pun memberi celah untuk mendengarkan ide dan opini yang dianggap bertentangan dengan keyakinannya.

Dan dari rahim fanatik inilah kemudian lahir sebuah tindakan, yang oleh sebagian kalangan dinilai negatif. Misalkan absolutisme, ekstremisme (Tatharruf), eksklusivisme, serta radikalisme, yang mana pada gilirannya semua akan mengantarkan terhadap runtuhnya persatuan (Ittihadul Ummah), menyuburkan permusuhan, serta menghidupkan permusuhan. Rasulullah Saw pernah bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

“Bukan termasuk golongan kami, seseorang yang mengajak untuk bersikap fanatik, dan seseorang yang berperang atas dasar fanatik, dan orang yang rela mati demi fanatik”.

Sudah sangat jelas, fanatisme yang dalam konotasinya disebut sebagai Ta’asshub sudah mendapatkan sikap secara tegas oleh Rasulullah Saw sebagaimana yang telah terekam dalam kitab Sunan Abi Dawud. Namun, realita kehidupan seakan tidak pernah mengetahui akan hal itu. Karena diakui ataupunt tidak, masih banyak dijumpai pola fanatik yang sangat beragam, mulai dari fanatik madzhab, fanatik ormas, maupun fanatik tokoh.

Fanatik Madzhab (Ta’asshub al-Madzhabiyyah)

Dalam perkembangannya, madzhab yang diakui oleh mayoritas kalangan Ahlussunnah wal Jamaah hanya terkualifikasi di kisaran empat madzhab (al-Madzahib al-Arba’ah), yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Eliminasi ini sangat mempertimbangkan bahwa hanya keempat madzhab itulah yang terdokumentasi (Mudawwanah) secara resmi dan dapat menjamin keauntentikan konsep madzhabnya. Imbasnya, tidak jarang masyarakat yang terjebak dalam pemahaman yang terkesan bersikap fanatik dan hanya membatasi diri dengan berpegang teguh atas salah satu madzhab yang dianutnya.

Melihat praktek yang diasumsikan fanatisme bermadzhab yang hanya sedemikian adanya, maka hal itu sebenarnya merupakan praktek bermadzhab secara tegas yang masih dapat dibenarkan menurut kacamat syariat. Karena dalam aplikasinya, sikap tegas dalam  bermadzhab hanya bertujuan untuk menguatkan keyakinan dan meningkatkan pemahaman terhadap madzhab yang dianut. Namun dengan catatan tanpa mengesampingkan atau lebih-lebih menafikan kredibilitas imam madzhab yang lain.

Di dalam kitab Manaqib A’immah al-Arba’ah dikatakan:

قَالَ الصَّلَابَةُ فِي الْمَذْهَبِ وَاجِبَةٌ وَالتَّعَصُّبُ لَا يَجُوْزُ. وَالصَّلَابَةُ اَنْ يَعْمَلَ بِمَا هُوَ مَذْهَبُهُ وَيَرَاهُ حَقًّا وَصَوَابًا وَالتَّعَصُّبُ السَّفَاهَةُ وَالْجَفَاءُ فِيْ صَاحِبِ الْمَذْهَبِ الْآخَرِ وَمَا يَرْجِعُ اِلَى نَقْصِهِ

Ulama berkata: Tegas dalam bermadzhab itu wajib, namun apabila fanatik bermadhzhab itu tidak diperbolehkan. Yang dimaksud tegas adalah mengamalkan terhadap ajaran yang menjadi madzhabnya dan meyakininya sebagai sesuatu yang benar dan tepat. Adapun yang dimaksud fanatik adalah sikap antipati terhadap madzhab lain dan mencari kelemahannya”.

Fanatik Ormas dan Tokoh (Ta’asshub al-Ijtima’iyyah wa Al-Syakhsiyyah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.