Sahabat Umar bin Khattab memang hanya menjadi khalifah selama sekitar sepuluh tahun. Namun jasanya tidak bisa dibilang sedikit. Sahabat Umar RA melakukan banyak reformasi besar-besaran terhadap sekian besar distrik dalam sendi-sendi pemerintahan. Beliau banyak mencetuskan gagasan-gagasan segar yang membantu umat Islam kian berkembang. Pemikiran-pemikiran beliau yang cendung ‘progresif’ telah menginspirasi banyak orang. Tapi dibalik itu, beliau adalah orang yang paling kukuh memegang kitabullah dan sunnah rasul. Beliau tahu betul, bagaimana Alquran diturunkan. Bagaimana situasinya. Bagaimana kondisi saat itu. Beliau hampir setiap hari menyaksikan sunnah Nabi. Dengan ‘pengalaman’ seperti itu, tentu beliau sudah mampu menangkap esensi dibalik rahasia Alquran dan sunnah. Sebab kita yakin, beliau sebagai salah satu sahabat terbaik yang sering dipuji-puji Nabi Muhammad SAW tidaklah mungkin menelurkan suatu keputusan yang keluar dari koridor Alquran dan hadis.
Pemikiran sahabat Umar RA juga terus dipelajari dan ditelaah oleh generasi-generasi berikutnya. Salah satu sahabat yang begitu mengagumi pola pikir sahabat Umar RA adalah sahabat Abdullah bin Mas’ud RA. Hingga ketika beliau didelegasikan ke Kufah untuk menjadi hakim, sekaligus menyebarkan ilmu Islam, konon katanya nuansa pemikiran Sahabat Umar RA nampak ‘terwariskan’ kepada murid-murid sahabat ibn Mas’ud RA. Hingga akhirnya pada masa-masa kemudian, wilayah Iraq, dikenal sebagai basisnya ulama-ulama ahli ra’yu.
Banyak keputusan yang kelihatannya nampak bertentangan dengan nash Alquran pernah di diputuskan oleh sahabat Umar RA. Seperti keputusan beliau untuk tidak memotong tangan sekelompok pemuda pembantu Hatib ibn Abi Balta’ah yang mencuri seekor unta. Secara eksplisit, itu ‘melanggar’ dalil “wassâriqu wassâriqotu faqtha’û aydiyahumâ”, ayat yang menegaskan bahwa pencuri baik laki-laki ataupun perempuan wajib dipotong tangannya. Keputusan lain beliau yang paling bersejarah adalah keputusan untuk tidak membagikan harta rampasan perang (ghanimah) tanah sawad yang luasnya hampir mencakup seluruh daratan Iraq modern kepada prajurit-prajurit yang mengikuti peperangan. Beliau memiliki banyak pertimbangan, seperti mementingkan masa depan Islam, jika tanah itu hanya dibagikan kepada prajurit perang, Islam hampir tak akan memiliki pemasukan dari pajak. Dan para pendatang baru tidak akan mendapatkan tempat. Wilayah tersebut juga menjadi rentan kembali direbut musuh, karena statusnya menjadi hak pribadi.[1]
Dan tentu saja keputusan beliau hakikatnya sedikitpun tidak keluar dari Alquran dan hadis. Meskipun jika kita memahami situasi dan kondisinya, seolah-olah keputusan tersebut bertolak belakang dengan nash. Menepis tudingan ini, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Butjy mengatakan, “Kenyataannya, Sahabat Umar RA tidak pernah keluar dari nash dalam ijtihad dan hukum yang beliau diputuskan. Dan apa yang disalahpahami sebagian para penulis bahwa keputusan beliau keluar dari jalur nash sejatinya adalah dalil atas kuatnya sahabat Umar dalam berpegang kepada nash. Dan kesungguhan beliau untuk tidak keluar darinya.”[2]
Bagaimana lebih jelasnya? Mari kita runtut sebagian saja.
Menganulir Jatah Al-Muallafatu Qulûbuhum
Pada masa Nabi Muhammad SAW, orang-orang yang dilunakkan hatinya disebut Al-Muallafatu Qulûbuhum. Maksudnya, mereka diberi jatah zakat agar iman mereka semakin kuat, dan tidak keluar meninggalkan agama Islam. Pada masa kepemimpinan Sahabat Abu Bakar RA, mereka tetap mendapatkan bagian. Uyaynah Ibn Hishn dan Aqra’ bin Hâbis adalah dua orang contoh yang mendapat jatah pada masa kepemimpinan beliau, mereka mendapatkan surat resmi sebagai tanda bukti. Namun ketika dua orang ini datang untuk meminta kembali bagian kepada khalifah Umar RA, justru khalifah Umar merobek surat tersebut.
“Allah sudah memperkuat Islam dan tidak memerlukan kalian. Kalian tetap Islam, atau yang ada hanya pedang.” Tutur Khalifah Umar RA. Kedudukan mereka akhirnya disamakan dengan penduduk muslim biasa lainnya.
Jika kita urutkan, ijtihad sahabat Umar RA kali ini bisa dikategorikan ke dalam metode ijtihad tahqiqul manât, atau aplikasi muara hukum. Macam-macam model ijtihad dibagi menjadi tiga, tahqîqul manât, tanqîhul manât, dan takhrîjul manât[3]. Pembahasan lebih lanjut bisa disambung pada artikel selanjutnya. Pola yang dipakai sahabat Umar RA dalam tahqiqul manât ini adalah dengan mengetahui pokok ‘illat atau alasan utama diberlakukannya hukum yang ada. Dari diksi dalam ayat tersebut, al-muallafatu qulûbuhum memiliki arti orang yang dilunakkan hatinya agar mereka mau memeluk Islam. Islam menarik hati mereka agar mau bersyahadat dengan harta zakat atau rampasan perang. Pada masa kekhalifahan sahabat Umar RA, Islam sudah jaya. Sehingga tidak membutuhkan lagi yang namanya al-muallafatu qulûbuhum. Para penduduk dari berbagai pelosok negeri sudah masuk agama Islam dengan berbondong-bondong. Sehingga manât hukum yang ada sudah tidak relevan diterapkan pada masa kepemimpinan beliau[4].
“Ihtihad dengan menggunakan metode tahqîqul manât tidaklah membutuhkan pengetahuan akan maqashidus syari’. Tidak juga butuh akan ilmu tata bahasa Arab. Sebab pokok tujuan dari ijtihad ini adalah mengetahui kenyataan dari maudhu’.” Ungkap As-Syathiby.[5]
Tidak Memotong Tangan Pencuri
Jika kita tidak mengetahui pola rumitnya kajian ushul fikih dalam Alquran, tentu kita tidak bisa mengerti apalagi memilah-milih mana yang termasuk ayat yang bersifat umum, atau disebut ‘âm, mana ayat yang bersifat khusus, atau disebut khâs. Atau jangan-jangan ayat yang dijadikan dalil telah di mansûkh, atau direvisi. Perlu kajian mendalam. Dan tentu saja yang paling tahu akan hal ini adalah para sahabat. Sebab mereka menyaksikan langsung fase demi fase ayat demi ayat Alquran diwahyukan. Dalam kajian antropologi ushul fikih, ayat memotong tangan dikategorikan ayat yang bersifat umum. Jika kita kaji, bagaimanapun juga, ayat yang bersifat umum bisa di takhsis atau dikerucutkan. Bisa diarahkan ke dalam suatu kondisi yang sesuai.[6]
Salah satu bukti ayat tersebut bisa di takhsis adalah rumusan bahwa yang bisa dipotong tangannya hanyalah maling yang mencuri harta lebih dari satu nishab untuk ukuran waktu itu, atau setara harga 4,25 gram emas untuk ukuran saat ini. Bagaimanapun juga Alquran tidak mencantumkan aturan ini. Tapi ini adalah hasil dari ijtihad para ahli fikih.
Selain hal tersebut, ada satu hadis yang konon melatar belakangi ijtihad sahabat Umar RA untuk permasalahan ini, yaitu
“Hindarilah hukuman-hukuman karena (adanya) berbagai ketidak jelasan”
Sahabat Umar RA menggolongkan kasus pencurian saat paceklik menjadi masalah nasional sebagai satu bentuk syubhat atau ketidak jelasan yang bisa menggugurkan hukuman potong tangan.[7] Tentu saja beliau memiliki wewenang menetapkan hal tersebut, sebab beliau tergolong mujtahid mutlak, setaraf imam empat madzhab. Selain syubhat tersebut, ternyata juga banyak kasus syubhat serupa yang mentakhsis ayat diatas. Seperti tidak dipotong tangannya istri yang mencuri harta suami, atau anak yang mencuri harta ayahnya[8]. Kita tak perlu heran akan betapa luasnya khazanah fikih yang dimiliki Islam.
Tidak Membagikan Tanah Sawad
Ulama Hanafiyyah dalam mencetuskan hukum agaknya memiliki penyelesaian yang sama dengan pola sahabat Umar RA. Mereka memiliki dua metode utama, jika permasalahan tersebut benar-benar baru dan tidak ada ayat Alquran maupun hadisnya. Metode pertama adalah dengan mencetuskan maksud atau dilalah hukum. Menelusuri alasan suatu nash yang tentunya hanya memiliki satu makna. Metode kedua dengan cara ijtihad. Entah itu merujuk kepada pencarian ‘illat hukum, atau mencoba mencari persepsi yang terkuat tapi bukan dengan qiyas, atau dengan konsep istidlal.[9]
Agak rumit bukan? Sahabat Umar dalam hal ini memakai metode pertama. Sahabat Umar RA berhasil menemukan maksud dari ayat dan hadis tentang pembagian rampasan perang. Kemudian beliau menerapkannya pada kasus yang beliau hadapi hari itu. Lantas beliau mengambil sikap. Memang pada awalnya sikap beliau mendapat tanggapan negatif dari sahabat senior sekelas Abdurrahman bin ‘Auf RA. Namun kebanyakan pembesar sahabat lain seperti sahabat Ali KRW dan sahabat Ustman RA setuju akan ijtihad sahabat Umar RA.[10]
Beberapa contoh diatas memberi kita konklusi, bahwa sebenarnya bukan sahabat Umar RA keluar dari nash, akan tetapi beliau amat berpegang teguh dan memahami nash dengan sedetil-detilnya. Bahkan beliau mampu menerapkan proses ijtihad yang tergolong rumit, tanpa berfikir panjang. Sering kita menuduh orang lain salah, padahal justru kita sendiri yang sebenarnya masih perlu banyak belajar.
[1] Baca: Muhammad Khudhori Bik, Tarikh Tasyri’ Islam, hal 64-68. Dar fikr.
[2] Dhawabitul maslahah. Hal 142. Muassasah Risalah.
[3] Syarh Risalah Al-‘Akbari fi Ushul Fiqh. Hal 92. Darul Kunuz Isybiliya. 2007.
[4] Lihat dhawabitul Mashlahat. Hal 143-144. Muassasah Risalah.
[5] Al-Muwafaqat. Juz 4. Hal 165.
[6] Baca jam’ul Jawami’. Hal 44-47. Cet. Dar Kutub Ilmiyyah. 2003.
[7] Baca Dhawabit Mashlahat. Hal 145-147. Muassasah Risalah.
[8] Lihat Hasyiyah AL-Bayjuri. Hal 162. Juz 4. Cet. Darul Minhaj. 2016.
[9] Baca: Al-Fushul fil Ushul karya Al-Jashhash. Juz 2. Hal 387. Versi Maktabah Syamilah.
[10] Tarikh Tasyri’ Islam, hal 67. Dar fikr.