Empat ratus lebih santri se-Jawa Timur berdiskusi tentang pengelolaan media pesantren. Mereka jengah dengan ritual dakwah melalui media sosial pesantren mereka yang tak kunjung mendapat insight besar dari para pengguna media sosial. Tentu ada yang harus diperbaiki. Baik dari sisi produksi konten, manajemen yang masih belum rapi, dan persoalan pelik lainnya.
Diskusi itu terkonsep dalam event Halaqoh Media. Event ini diselenggarakan oleh komunitas Media Pondok Jawa Timur (MPJ), pada 22-24 Desember kemarin. Dalam event ini, kelompok diskusi terbagi menjadi empat komisi: Komisi Konten, Komisi Manajemen, Komisi Ekonomi dan Komisi Putri.
Komisi Konten memunculkan masalah yang cukup beragam dalam pengelolaan konten media pesantren. Mereka harus memecahkan masalah produksi konten yang kerap menemui tembok di dalam pesantren. Antara lain, peraturan pondok yang tidak memberi peluang untuk leluasa berproduksi, alat produksi yang minim, hingga miskinnya ide dan keistikamahan yang labil. Komisi ini dipimpin oleh Ahmad Nahrowi dari media Ponpes Lirboyo Al-Mahrusiyah Kota Kediri dan Yazid Fathoni dari media Ponpes Langitan Tuban.
Untuk menyelesaikan masalah ini, mereka bersepakat akan lebih rajin dalam menyelenggarakan Madrasah Media Pondok Jawa Timur (MMPJ). Perlu diketahui, Madrasah Media adalah salah satu program MPJ untuk meningkatkan kemampuan produksi konten para pegiat media pesantren. Dengan penyelenggaraan MMPJ yang lebih masif, diharapkan masalah-masalah di atas akan terselesaikan.
Baca juga: Strategi dan Sikap Cerdas Bermedia Sosial dalam Urgensi Dakwah Kekinian
Komisi Manajemen juga mendiskusikan masalah yang tak kalah rumit. Mayoritas peserta halaqoh memiliki masalah dalam regenerasi pengurus. Banyak upaya yang sudah dilakukan sebenarnya. Membentuk kepengurusan khusus. Melatih para junior. Dan lain sebagainya. Masalah regenerasi ini, salah satu penyebabnya adalah minimnya minat para santri pada media pesantren.
Menurut Hisyam Abbas, pimred lirboyonet tahun 2017-2018, perumus komisi ini, salah satu cara menarik minat para santri adalah mencitrakan tim media pesantren sebagai santri yang keren. “Kalian harus tampil keren di depan santri. Pakai PDL (Pakaian Dinas Lapangan) yang bagus. Beraksi di depan mereka layaknya media profesional,” terangnya.
Dalam setiap acara, tim media harus selalu berusaha mendekat kepada para masyayikh dan dzuriyah pesantren. “Selain untuk mengambil foto yang bagus, itu (mendekat kepada masyayikh) juga untuk menunjukkan betapa kerennya santri yang berkhidmah di media. Juga agar para masyayikh tahu bahwa kalian selalu berusaha keras dalam berkhidmah,” imbuhnya.
Dalam komisi ini juga didiskusikan permasalahan restu masyayikh dan dukungan pesantren. Meski kebutuhan dakwah pesantren di media sosial begitu mendesak, masih banyak para pemangku kebijakan pesantren yang belum memberi dukungan penuh pada tim media agar maksimal dalam memproduksi konten dakwahnya. Selain Hisyam, komisi ini juga dipimpin oleh Tajuddin Zahrou dari media Ponpes Sabilurrosyad Gasek Malang.
Dalam Komisi Ekonomi, para peserta tidak begitu terlihat aktif dalam berdiskusi. Zainul Haqq, perwakilan media Ponpes Menara Al-Fattah Tulungagung, yang menjadi perumus di komisi ini, memaklumi itu. “Mereka belum terbiasa berpikir untuk membangun aktivitas ekonomi di media. Ya, wajar jika alat media yang mereka punya tidak berkembang jauh,” ungkapnya.
Maka dalam forum itu ia membuka pandangan para peserta bahwa membangun ekonomi di dalam pesantren itu bukan hal tabu. “Semua hal yang ada dalam pesantren itu bisa jadi aset ekonomi bagi kalian,” tegasnya. “Kalian bisa membuka jasa dokumentasi bagi para santri. Bahkan banom pesantren juga bisa kalian kenakan tarif. Kalau cuma ‘terima kasih’ terus, media kalian gak akan berkembang,” sarannya.
Komisi ini juga dipimpin oleh gus Muhammad, salah satu jajaran pengasuh Ponpes MHI Jember.
Sementara itu, diskusi di Komisi Putri juga berlangsung serius. Mereka secara khusus membahas konten media sosial yang semakin hari semakin merugikan kaum santri, khususnya santri putri. Mereka resah karena banyak sekali akun yang menyebarkan konten berisikan santri putri, namun nihil edukasi.
Bahkan, santri putri terkesan hanya dijadikan obyek untuk menarik insight akun belaka. “Konten-konten ini sangat meresahkan, karena hanya menonjolkan ‘kecantikan’ santri putri, yang bahkan cantik itu relatif. Konten-konten mereka tidak edukatif sama sekali,” tukas Diski Nia Levi Yani, perumus komisi ini. “Tingkah akun seperti ini tidak dapat dibenarkan. Santri putri bukanlah obyek untuk ‘memuaskan’ hasrat mereka. Santri putri juga berhak dihargai prestasi intelektualnya,” tegasnya. Halaqoh Media adalah salah satu sub-event dari event akbar MPJ Fest ’22, yang diselenggarakan di Institut Pesantren KH. Abdul Chalim (IKHAC) Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto, 22-24 Desember kemarin. Selain Halaqoh Media, dalam event ini juga digelar Dialog Media, yang menghadirkan tokoh-tokoh besar seperti kiai D. Zawawi Imron, Mas’ud Marsudi. Juga para influencer muslim terpandang, seperti Lora Husein Basyaiban, Lora Ismael Khalili, Cak Ahmad Kafa, dan Ning Sheila Hasina.][
Download Rumusan Hasi Halaqoh Media Pondok Jawa Timur Tahun 2022
Menjadi Santri Keren dengan Mengelola Media Pesantren
Menjadi Santri Keren dengan Mengelola Media Pesantren