LirboyoNet, Surabaya – Industri keuangan syariah dunia masih didominasi negara-negara Teluk. Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, sudah sepatutnya ikut memberikan peran signifikan bagi perkembangan keuangan syariah. Meski masih berperan hanya 40 bn USD (bandingkan dengan Malaysia, 415 bn USD) dalam transaksi syariah, Indonesia memiliki peluang yang cukup besar.
Di Indonesia, ekonomi syariah tahun ini memang masih memberikan sumbangsih sebesar 314 triliun, atau 2,6% dari total PDB. Namun ini sebuah kabar bagus, jika kita tahu bahwa ia mengalami kemajuan 10% setiap tahunnya.
Fakta ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kuliahnya di ballroom Grand City, Jumat (28/10). Meski masih didominasi perbankan, menurutnya, industri keuangan syariah di Indonesia memiliki potensi-potensi yang masih bisa ditingkatkan. Semisal sukuk (surat berharga), takaful (asuransi), hingga BMT (baitul maal wa tanwil). Bukan tidak mungkin jika pada 2020 nanti syariah akan melampaui prediksi 3,2% dari PDB.
Apa yang membuat kita harus menanamkan harapan besar pada ekonomi syariah? Ani, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa industri keuangan pada dasarnya selalu berpijak pada trust, kepercayaan. Dalam APBN Indonesia tahun ini, trust itulah yang berusaha diperjuangkan. Pembangunan infrastruktur, pembersihan birokrasi, adalah salah satu usaha itu. Dan trust, adalah elemen terpenting dalam agama. Karenanya, ekonomi syariah, yang notabene berangkat dari agama, sejatinya memiliki peluang sangat besar untuk dipercaya para pelaku ekonomi.
Selain itu, pembangunan negara saat ini yang menjadikan infrastruktur sebagai prioritas, adalah kesempatan bagus bagi ekonomi syariah. Mengapa? Karena keduanya sama-sama mendudukkan aset sebagai instrumen terpenting. Karena prioritas pada aset itu pula yang menjadikan ekonomi syariah dianggap mampu memprediksi resiko lebih jauh.
Karakter syariah yang inklusif dan prudent, bijaksana, adalah juga sebuah nilai unggul. Maka pesantren, sebagai ‘rumah’ dari syariah, semakin ditunggu perannya saat ini. Pesantren, harap Ani, harus memulai memperkenalkan instrumen keuangannya, baik sukuk, takaful, maupun produk-produk lain. Peran inilah yang pada akhirnya akan menjadikan kita sebagai umat yang memberi, bukan umat yang meminta.][