Dalam literatur kitab fikih yang dijelaskan oleh para Ulama Mazhab Syafi’i terdapat ulasan lengkap tentang panduan menyamak kulit bangkai dan bagian-bagian bangkai yang dihukumi najis. Para cendekiawan fikih menarasikan tema ini dengan bahasa yang cukup rapi dan menarik untuk dipelajari, difahami, sekaligus dikaji secara mendalam. Secara umum, mereka menyampaikan bahwa kulit bangkai yang dihukumi najis bisa disucikan dengan cara disamak, sehingga akan bisa dimanfaatkan untuk dibuat sajadah, alas tidur, pakaian, dan lain-lain. Lalu, hal-hal apa saja yang di uraikan oleh mereka. Simak penjelasan berikut ini.
Bermula dari hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra yang berbunyi :
(وعن ابن عبّاس رضي الله عنه قال : قال رسول الله ﷺ : (إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Artinya :”Jika kulit bangkai itu disamak maka telah suci” HR. Ibnu Abbas
Batasan Kulit yang bisa disucikan dengan disamak
Kulit-kulit yang bisa disucikan dengan cara disamak adalah setiap kulit binatang yang dihukumi najis karena telah menjadi bangkai (tanpa penyembelihan secara syar’i). Baik binatang tersebut merupakan binatang yang halal dimakan dagingnya ataupun tidak.
Dari ketentuan ini mengecualikan kulit dari bangkai anjing dan babi, atau anak yang dilahirkan dari keduanya, atau anak yang dilahirkan dari perkawinan silang bersama hewan lain yang suci. Hal ini disebabkan karena keduanya telah dihukumi najis sebelum mati. Maka, kulit bangkai hewan tersebut tidak bisa suci ketika disamak.
Demikian ini sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam Fath al-Qarib-nya :
وَجُلُوْدُ الْمَيْتَةِ كُلِّهَا (تَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ) سَوَاءٌ فِيْ ذَلِكَ مَيْتَةُ مَأْكُوْلِ اللَّحْمِ وَغَيْرِهِ – إلى أن قال – (إِلَّاجِلْدَ الْكَلْبِ وَالْحِنْزِيْرِ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا) مَعَ حَيَّوَانٍ طَاهِرٍ, فَلَا يَطْهُرُ بَالدِّبَاغِ
“Seluruh kulit bangkai bisa suci dengan cara disamak, baik bangkai hewan yang dagingnya halal atau tidak. kecuali kulit anjing, babi, dan anak yang dilahirkan dari keduanya atau yang dilahirkan dari perkawinan silang bersama dengan hewan lain yang suci, maka tidak bisa suci dengan disamak”.
Alat Menyamak
Menyamak kulit bangkai tentunya tidak menggunakan alat-alat yang sembarangan, namun dengan alat-alat yang betul-betul bisa mengantarkan kulit bangkai yang najis tersebut menjadi suci. Dalam kitab Kifayatul akhyar karya Imam Taqiyuddin al-Hishni yang mengomentari kitab Matan Taqrib disebutkan :
وَيكون الدّباغ بالأشياء الحريفة كالشب والشث والقرظ وقشور الرُّمَّان والعفص وَيحصل الدّباغ بالأشياء المتنجسة والنجسة كذرق الْحمام على الْأَصَح وَلَا يَكْفِي التجميد بِالتُّرَابِ وَالشَّمْس على الصَّحِيح وَيجب غسله بعد الدّباغ إِن دبغ بِنَجس قطعا وَكَذَا إِن دبغ بطاهر على الْأَصَح
“Menyamak kulit itu menggunakan hal-hal yang bersifat kelat (sepat) atau pedas seperti campuran beberapa bahan tertentu, pohon qarz, kulit delima, dan pohon ‘afshin[1]. Menurut pendapat asoh, menyamak kulit juga bisa menggunakan sesuatu yang terkena najis dan yang Najis seperti kotoran burung dara. Menurut pendapat sahih, tidak cukup jika di samak dengan debu dan hanya melalui panas terik matahari. Dan wajib membasuhnya setelah menyamak dengan menggunakan barang najis, demikian halnya jika disamak dengan barang suci menurut pendapat asoh” (Kifayah al-Akhyar Hal. 18).
Secara kesimpulan, alat yang bisa digunakan untuk menyamak adalah :
- Sesuatu yang Hirrif (kelat/sepat/pedas)
- Bisa juga dengan sesuatu yang terkena najis atau yang najis, yang bisa membersihkan kulit bangkai dari hal-hal yang membuatnya berbau busuk dan amis.
Tata cara menyamak
Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa tata cara menyamak adalah membersihkan dan menghilangkan kulit bangkai dari sesuatu yang menyebabkannya berbau busuk, seperti darah dan potongan-potongan daging yang menempel, dan sesamanya. Dengan menggunakan sesuatu yang hirrif (kelat/sepat/pedas), meskipun najis. Maka cara yang demikian sudah mencukupi untuk menghantarakan kulit bangkai yang semula dihukumi najis menjadi suci. berikut keterangannya :
وَكَيْفِيَّةُ الدَّبْغِ أَنْ يَنْزِعَ فُضُوْلَ الْجِلْدِ مِمَّا يُعَفِّنُهُ مِنَ الدَّمِ وَنَحْوِهِ بِشَيْئٍ حِرِّيْفٍ كَعَفْصٍ وَلَوْكَانَ الْحِرِّيْفُ نَجِسًا كَذَرْقِ حَمَامٍ كَفَى فِي الدَّبْغِ
“Tata cara menyamak adalah menghilangkan fudlulul (hal-hal yang melekat) kulit yang bisa menyebabkan bau busuk, seperti darah dan sesamanya, dengan menggunakan barang yang kelat/sepat/pedas, seperti tanaman afshin, meskipun barang yang digunakan tersebut itu najis seperti kotoran burung dara, maka yang demikian sudah dianggap cukup dalam penyamakan”.
Hukum kulit yang telah disamak
Kulit yang telah disamak bisa dinyatakan suci apabila telah sampai pada kondisi yang sekira direndam dalam air, maka bau busuk yang terdapat pada kulit tidak kembali. Hal ini sebagaimana yang disampaikan dalam kitab Tausyeh karya Imam Nawawi al-Bantani berikut ini :
مما يعفنه) أي من الذي يجعل الجلد عفونة (من دم ونحوه) كقطعة لحم بحيث لو تقع في الماء عرفا لا يعود إليه النتن وذلك إنما يحصل (بشيء حريف)
“(Tata cara menyamak) yakni tujuan menyamak (adalah menghilangkan hal-hal yang melekat pada kulit yang bisa menyebabkan bau busuk, seperti darah dan sesamanya) seperti potongan daging. Dengan sekira apabila direndam dalam air, secara keumumannya, maka bau busuk yang terdapat pada kulit tersebut tidak kembali. Dan yang demikian hanya bisa hasil dengan sesuatu yang hirrif”.
Bagian-bagian bangkai yang najis
Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa tulang dan bulunya bangkai hukumnya adalah najis. Begitu juga bangkainya itu sendiri hukumnya juga najis. Kemudian dalam kelanjutan penjelasannya disampaikan bahwa mayat manusia itu hukumnya suci. Begitu pula rambutnya juga dihukumi suci jika ia meninggal.
Referensi :
- Fath al-Qarib al-Mujib, Jakarta : Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
- Kifayah al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar. Jakarta : Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
- Tausyeh ala Ibn al-Qasim. Jakarta : Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
[1] Sejenis tanaman yang berbau wangi dan rasanya pahit.
Panduan Menyamak Kulit Bangkai
Panduan Menyamak Kulit Bangkai