Paradigma Dakwah Islamiah

Urgensitas dakwah dalam penyebaran dan perkembangan agama Islam merupakan suatu hal nyata yang tidak dapat terbantahkan. Keberadaan dakwah sebagai ujung tombak eksistensi agama Islam menjadikannya memiliki tempat tersendiri di hati umat Islam. Sebagai salah satu aktivitas yang memegang peran penting dalam Islam, tidak diragukan lagi bahwa diskursus mengenai dakwah banyak ditelaah dan dibahas dalam beberapa literatur klasik maupun kontemporer.

Kata dakwah yang berasal dari literatur bahasa Arab memiliki arti mengajak, mengundang, atau mendorong. Dapat juga dakwah diartikan mengajak ke jalan Allah SWT, yakni agama Islam. Dalam kitab Hidayah al-Mursyidin, Syaikh Ali Mahfudz mendefinisikan dakwah sebagai berikut;

حَثُّ النَّاسِ عَلَى الْخَيْرِ وَالْهُدَى وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ لِيَفُوْزُوْا بِسَعَادَةِ الْعَاجِلِ وَالْأَجِلِ

Upaya mendorong manusia untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk, memerintah mengerjakan kebaikan, melarang melakukan kejelekan, agar dia bahagia di dunia dan akhirat”.

Pada saat awal mula penyebaran Islam di Makkah, Rasulullah SAW menjalankan strategi dakwah secara sembunyi-sembunyi dan samar. Hal ini dilakukan melihat kondisi umat Islam yang masih minoritas dan kekuatan Islam yang masih lemah pada saat itu. Berbeda lagi ketika sudah hijrah ke Madinah, disana Beliau mulai mengembangkan sayap dakwah secara terang-terangan dan terbuka. Tentu saja hal ini erat kaitannya dengan atmosfer penduduk Madinah yang telah memberikan sinyal positif atas dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW serta keadaan umat Islam yang sudah memiliki kekuatan yang cukup baik apabila ada ancaman yang datang.

Berkaca dari pengalaman Rasulullah SAW dalam mengembangkan dakwahnya, perkembangan dakwah islamiah di masa-masa selanjutnya terus menunjukkan banyak perubahan sesuai keadaan, situasi dan kondisi sasaran yang dihadapinya. Namun pada dasarnya, semua metode dakwah yang ada memiliki pijakan prinsip dan pijakan hukum yang sama, sebagaimana telah digariskan oleh Allah SWT dalam Alqur’an;
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah ke jalan Tuhanmu (wahai Muhammad) dengan hikmah kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik, dan berbahaslah dengan mereka (yang engkau serukan itu) dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui akan orang yang sesat dari jalannya, dan Dia jua yang lebih mengetahui akan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125).

Secara garis besar, para ulama Ahli Tafsir banyak menafsiri kata “bil hikmati wal mau’idhotil hasanati” dengan arti memberi nasihat secara lembut tanpa menyakiti. Strategi ini ditujukan bagi mereka yang masih belum memiliki pemahaman atas syariat Islam. Lebih lanjut, penafsiran kata “wa jadilhum billati hiya ahsan” ditujukan kepada sasaran dakwah yang termasuk golongan yang membantah dan tidak menerima apa yang disampaikan, sehingga Alqur’an mengajarkan bagaimana etika berdebat secara dingin tanpa terbawa emosi yang justru akan menumbuhkan permusuhan dan pertikaian.[1]

Dari pengertian makna kata sendiri, dakwah telah menunjukkan bagaimana seharusnya hal tersebut dilakukan. Karena pada konteks ini, penerapan kata “mengajak” dalam kehidupan nyata lebih cenderung bagaimana seseorang yang menjadi sasaran tersebut menerima dengan apa yang ditawarkan. Apabila lebih mengutamkan cara yang bersifat memaksa, justru hal itu akan membuat seseorang tersebut enggan untuk menerima apa yang ditawarkan kepadanya. Bukankah dakwah itu mengajak, bukan menyepak? Bukankah dakwah itu merangkul, bukan memukul?.

Interpretasi Dakwah di Nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.