Naskah khutbah kali ini adalah mencoba menjelaskan bagaimana Nabi Ibrahim As. mendidik putranya Nabi Ismail yang mana metode pendidikan tersebut begitu kental dan selaras dengan metode pendidikan yang diajarkan dalam pondok pesantren.
Khutbah I
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَه، يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَلِعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ. سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُّهُ وَخَلِيْلُه. خَيْرَ نَبِيٍّ أَرْسَلَهُ. أَرْسَلَهُ اللهُ إِلَى الْعَالَـمِ كُلِّهِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً وَسَلَامًا دَائِمَيْنِ مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْن. أَمَّا بَعْدُ فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ، وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah bulan dimana kita bersama-sama merayakan hari raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Hari di mana umat muslim disunnahkan untuk melaksanakan ibadah kurban yang kemudian dagingnya tak hanya dinikmati oleh yang berkurban, melainkan juga ditasarufkan kepada para fakir miskin.
Kita tahu bahwa kesunnahan berkurban pada Hari Raya Idul Adha secara historis bermula dari peristiwa di mana nabi Ibrahim As. mendapatkan perintah untuk menyembelih putra tercintanya Ismail As. Perintah tersebut pastilah merupakan sesuatu yang amat berat, bagaimana tidak, seorang ayah yang diperintahkan untuk menyembelih putra tercintanya, putra yang diharapkan sebagai penerusnya.
Akan tetapi karena perintah tersebut datang dari Tuhan semesta alam, maka tak ada penolakan, Ibrahim dengan mantap menyampaikan wahyu yang ia dapatkan kepada putra tercintanya Ismail. Begitu terkejut nabi Ibrahim ketika melihat respon putranya yang rela, pasrah dan justru bangga dengan kabar wahyu tersebut.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡیَ قَالَ یَـٰبُنَیَّ إِنِّیۤ أَرَىٰ فِی ٱلۡمَنَامِ أَنِّیۤ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ یَـٰۤأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِیۤ إِن شَاۤءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِینَ)
Artinya: Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” [Surat Ash-Shaffat 102]
Selanjutnya kita ketahui bersama diakhir peristiwa penyembelihan itu Allah SWT mengganti Ismail yang akan dikorbankan dengan seekor domba yang begitu gemuk dari surga, domba persembahan putra nabi Adam Habil. Semua berakhir bahagia.
Akan tetapi tak berhenti sampai di situ, Ismail pun tumbuh menjadi seorang yang saleh sehingga kemudian diangkat menjadi Rasul. Dan darinya pula kelak lahir para Nabi dan Rasul hingga sampailah pada beliau Nabi Agung Muhammad Saw.
Bila kita bisa mengambil ibroh, semua itu tak lepas dari peran Nabi Ibrahim sebagai orang tua dalam mendidik anaknya Ismail. Selain dengan selalu beribadah dan terus mendekatkan diri kepada Allah, beliau juga senantiasa mendoakan keluarganya dalam Al-Qur’an doa Nabi Ibrahim As. diabadikan:
(رَبَّنَا وَٱجۡعَلۡنَا مُسۡلِمَیۡنِ لَكَ وَمِن ذُرِّیَّتِنَاۤ أُمَّةࣰ مُّسۡلِمَةࣰ لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبۡ عَلَیۡنَاۤۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِیمُ)
Artinya: Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. [Surat Al-Baqarah 128]
Tak berhenti di situ, bahkan pada saat putra tercintanya baru lahir langkah yang beliau lakukan justru menjauhkan istri dan putranya tersebut mengasingkannya ke jazirah Arab tanah gersang yang tak berpenghuni.
Hal demikian dilakukan tak lain karena beliau tahu pendidikan terbaik bagi seorang calon pemimpin umat adalah dengan berpisah dari pangkuan orang tua, guna belajar mengenal kehidupan yang sesungguhnya dengan hidup di tengah komunitas yang plural.
Ditegaskan dalam Al-Qur’an: