Dulu, pada masa Jahiliyyah, orang-orang kafir Mekah memiliki banyak kebiasaan atau adat istiadat yang sangat aneh. Salah satunya adalah sebuah ritual menyembelih binatang tertentu untuk dijadikan atas nama ‘kurban’ dan diserahkan sebagai bentuk persembahan kepada berhala-berhala yang ada di sekeliling Ka’bah. Selesai menyembelih binatang yang dijadikan kurban, kemudian mereka memotong-motong daging dan melumurkan darahnya pada dinding-dinding Ka’bah dan di sekelilingnya. Dengan ritual tersebut, orang-orang Jahiliyyah mengharapkan keselamatan dan terhindar dari segala bentuk marabahaya.
Namun, setelah datangnya ajaran Islam serta disyariatkannya Udhiyyah (kurban) pada tahun kedua Hijriyyah, ritual kemusryrikan orang-orang kafir Mekah yang merupakan adat-istiadat Jahiliyyah tersebut diarahkan menjadi ibadah yang sangat bermanfaat dan lebih baik. Karena pada mulanya, ritula kurban orang-orang Jahiliyyah tersebut hanya membuang-buang harta dan mengotori masjidil haram. Sehingga kedatangan syariat Islam benar-benar telah merubah adat istiadat tersebut menjadi ibadah yang bernilai pahala sebagai bentuk pendekatan terhadap Allah Swt.
Udhiyyah (Kurban) dalam syariat Islam diartikan sebagai suatu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan menyembelih hewan tertentu pada yaumun nahr dan ayyamit tasyriq (tanggal 10,11,12,13 dzulhijjah). Salah satu dalil legalitas ibadah kurban adalah firman Allah Swt:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka sholatlah kamu (sholat idul adha) dan sembelihlah (kurban)” (QS: Al-Kautsar 02).
Dan sabda Nabi Muhammad Saw:
اُمِرْتُ بِالنَّحْرِوَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
Aku diperintahkan untuk menyembelih Kurban, dan hal itu sunnah bagi kalian”.[1] “
Dari berbagai dalil legalitas hukum ibadah Kurban yang ada. Tersirat berbagai hikmah dan faidah yang terkandung dibalik pensyariatan ibadah Kurban tersebut. Setidaknya, ada beberapa dimensi atau tinjauan penting dalam ibadah yang menjadi syi’ar besar agama Islam ini. Diantaranya adalah:
Dimensi Spiritual
Seseorang yang melaksanakan ibadah Kurban berarti telah melaksanakan anjuran yang telah tercantum di dalam Alqur’an dan Hadis. Karena sejatinya, setiap umat islam yang melaksanakan ibadah Kurban hanya memiliki tujuan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt serta mengharapkan ridho dan ampunanNya. Serta tercakup sebuah awal pembiasaan diri untuk bersikap ikhlas dalam melaksanakan amal ibadah kepada Allah Swt.[2]
Sehingga tidak heran betapa besarnya pahala dan balasan yang telah Allah Swt janjikan bagi mereka yang melaksanakan ibadah Kurban tersebut. Salah satunya dijelaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadisnya, “Tiada amal ibadah manusia pada hari Nahr (hari menyembelih Kurban) yang lebih disenangi oleh Allah Swt kecuali mengalirkan darah (menyembelih binatang Kurban). Sesungguhnya hewan Kurban datang pada hari kiamat dengan tanduknya, bulunya, dan kuku kakinya. Dan sesungguhnya darah binatang kurban akan jatuh (ke dalam tempat diterimanya amal) oleh Allah sebelum darah tersebut jatuh ke bumi” (HR. At-Turmudzi).
Dimensi Sosial
Ibadah Kurban tergolong ibadah yang Ghoiru Mahdhoh, dengan artian bahwa ibadah tersebut tidak hanya menitikberatkan pada hubungan seorang hamba kepada Tuhannya, melainkan juga mempertimbangkan hubungan antara hamba tersebut dengan masyarakat di sekitarnya. Dengan begitu, selain memberi manfaat sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah Swt, ibadah Kurban juga memberi manfaat pada sesama umat Islam terutama terhadap golongan fakir miskin serta dapat membantu kebutuhan kaum yang lemah (dhuafa’).[3]
Dengan melihat dialektika tersebut, tidak terasa aneh lagi bahwa dalam Fiqih mengenai pembahasan tentang pendistribusian daging Kurban dirumuskan dalam beberapa pemilahan. Pemilahan tersebut mencakup pendistribusian bagi orang-orang yang termasuk kategori kaya hanya sebatas ith’am (konsumsi) saja. Namun untuk golongan fakir miskin lebih leluasa baik dalam hal menjual atau mengkonsumsi ataupun yang lainnya, karna pemberian pada kelompok ini berstatus tamlik (pemberian hak milik).[4]
Dimensi Historis
Sudah diketahui bahwa ibadah Kurban disyariatkan untuk mengingatkan kepada umat Islam akan peristiwa agung nabi Ibrohim As yang mendapat perintah dari Allah Swt lewat sebuah mimpi untuk menyembelih putranya yaitu nabi Ismail As sebagai tebusan dari nadzar yang pernah beliau ucapkan.[5] Dan dari peristiwa ini pula umat islam dapat mengambil hikmah dan uswah (suri tauladan) bagaimana bentuk kepatuhan dan kesetiaan seorang hamba terhadap Tuhannya. Karena kalau bukan didasari atas keimanan dan kesetiaan, sulit rasanya membayangkan nabi Ibrohim As rela memenuhi perintah untuk menyembelih putra yang telah lama diidam-idamkannya. Tugas pengabdian seperti itulah yang diharapkan dapat dimiliki umat islam di tengah kehidupan yang serba individualitas dan materialistis di era globalisasi seperti saat ini.
Dan yang terpenting adalah konsep demokrasi dalam pengambilan keputusan telah ditunjukkan oleh nabi Ibrohim As. Sebelum menjalankan perintah, beliau terlebih dahulu mengajak dialog dan memberikan kesempatan pada nabi Ismail As untuk memikirkannya secara matang atas perintah tersebut. Meskipun sebenarnya nabi Ibrahim As mempunyai otoritas mutlak dalam mengambil keputusan, namun beliau memilih melakukan pendekatan dialogis dan persuasif agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Walhasil, ibadah Kurban sebagai salah satu syiar agama islam merupakan ibadah yang mengajarkan umat untuk senantiasa mendekatkan diri pada Allah Swt seraya mengikuti jejak historis nabi Ibrohim As dan nabi Ismail As yang menjadi lambang ketaatan dan kesetiaan seorang hamba pada perintah tuhannya serta ibadah yang mampu menarik kekuatan hubungan sosial dengan umat islam yang lain. Dengan mengetahui beberapa aspek dimensi ini pula diharapkan umat islam semakin tekun dan bersemangat dalam menjalankan perintah yang satu ini dan mampu menerapkan dan mengamalkan esensial berbagai dimensi yang ada dalam kehidupan nyata. [] Sekian, Wallahu A’lam.
_______________________
[1] Al-Masalik, juz 5 hal 146.
[2] Hasyiyah Al-Qulyubi, juz 4 hal 251, cet. Al-Haromain.
[3] Mukhtashor Tafsir Ayatil Ahkam, hal 187, cet. MHM Lirboyo.
[4] Fathul Wahhab, juz 2 hal 189, cet. Al-Hidayah.
[5] Dzurrotun Nashihin, hal 136.
0