Persiapan Berkurban

Tak lama lagi hari raya Idul Adha akan tiba. Sebagian umat Islam telah menyiapkan beberapa persiapan guna menyambutnya, termasuk binatang yang akan dijadikan kurban apabila ia hendak melaksanakannya.

Namun sangat disayangkan, ketika seseorang telah bersinggungan langsung dengan hewan kurban, sering kali terjadi hal-hal remeh yang rentan akan hukum syariat. Salah satunya adalah perkataan yang tanpa mereka sadari telah menjadikan status kurban yang semula sunah[1] menjadi wajib. Sehingga konsekuensi dari status kurban wajib adalah keharusan untuk mensedekahkan seluruh daging kurbannya.

Misalkan, apabila ada seseorang yang mengatakan “ini adalah kurban saya” atau “hewan ini akan saya jadikan kurban” atau ungkapan-ungkapan yang senada, maka status kurbannya menjadi wajib. Karena ungkapan tersebut dikategorikan sebagai ucapan kesanggupan (iltizam) untuk menjadikan hewan tersebut sebagai hewan kurban.

Namun menurut ulama lain, perkataan semacam itu tidak lantas menjadikan status kurbannya menjadi wajib. Karena perkataan tersebut bukanlah sebuah ungkapan untuk menyanggupi (iltizam), akan tetapi sebatas memberi kabar (ikhbar) bahwa ia akan berkurban. Sebagaimana keterangan dalam kitab Umdah al-Mufti wa al-Mustafti,

مَسْأَلَةٌ اِشْتَرَى مَا يُجْزِئُ فِي الْأُضْحِيَّةِ وَقَالَ أُرِيْدُ هَذِهِ أُضْحِيَّةً لَمْ تَصِرْ أُضْحِيَّةً بِحَيْثُ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَبْحُهَا فِيْ وَقْتِهَا لِأَنَّهَا لَيْسَتْ صِيْغَةَ إِنْشَاءٍ وَإِنَّمَا هِيَ لِمُجَرَّدِ الْإِخْبَارِ فَلَا تَصِيْرُ أُضْحِيَّةً كَمَا يُفِيْدُهُ كَلَامُ التُّحْفَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ جَعَلْتُهَا أُضْحِيَّةً أَوْ هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ فَإِنَّهُ مَحْضُ إِنْشَاءٍ وَالْتِزَامٍ

Permasalahan: Ketika seseorang membeli hewan yang layak dijadikan kurban kemudian ia berkata: aku menghendaki hewan ini untuk dikurbankan. Maka ucapan tersebut tidak menjadikan hukum kurbannya wajib. Karena perkataan tersebut bukanlah ungkapan kesanggupan untuk berkurban, namun hanya sebatas memberi kabar. Namun apabila ia berkata: aku akan menjadikan (hewan tersebut) sebagai kurban atau (binatang) ini adalah kurban, maka kedua ucapan itu termasuk kesanggupan untuk berkurban”.[2]

Dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-Yaqut an-Nafis, Ahmad bin Umar Asy-Syathiri menjelaskan bahwa apabila yang mengucapkan kata-kata tersebut tergolong orang awam, maka tidak menjadi wajib selama tidak dinadzari,

مَنِ اشْتَرَى شَاةً وَقَالَ هَذِهِ اُضْحِيَّتِيْ لَزِمَتْهُ وَوَجَبَتِ التَّصَدُّقُ بِلَحْمِهَا كُلِّهِ إِنَّمَا بَعْضَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ قَالَ لَاتَجِبُ بِالنِّسْبَةِ لِلْعَامَّةِ لِأَنَّ الْعَامِيَ مَعْذُوْرٌ لِأَنَّهُ لَايُدْرِكُ مَعْنَى مَا قَالَهُ وَلَايَقْصُدُ بِهِ النَّذْرَ

Ketika ada seseorang membeli kambing, lantas ia mengatakan: ini adalah kurbanku. Maka status kurbannya menjadi wajib dan ia harus mensedekahkan seluruh dagingnya. Namun sebagian ulama mutaakhkhirin berkata, (dalam kasus itu) kurbannya tidak menjadi wajib apabila diucapkan oleh orang awam. Karena orang awam tidak mengetahui makna secara jelas di balik ucapannya. Apalagi ketika ucapannya tidak bertujuan nadzar”.[3]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.