Syaikh ‘Ishomuddin bin Yusuf al-Balkhy tiba-tiba sangat buru-buru. Pakar fikih kenamaan madzhab Hanafiyyah ini baru saja mendengar sebuah permasalahan tentang ilmu yang baru diketahuinya. Spontan beliau membeli sebuah pena. Karena beliau sadar waktu terus berjalan tak akan kembali. Dan kesempatan yang sama untuk mencatat faidah tersebut hampir mungkin tak akan terulang.
Sepenggal kisah tersebut mengingatkan kita dengan ungkapan tak asing bagi para sufi: waktu umpama pedang. Ia tak hanya tajam, tapi setiap saat bisa “memangsa” siapa saja yang tak benar-benar bisa memanfaatkannya. Seumpama pisau bermata dua.
Kita adalah sebuah keniscayaan, untuk melewati waktu tanpa sedetikpun bisa menghentikannya. Barangkali sesuatu yang paling berharga yang kita miliki saat ini adalah waktu. Sebab waktu yang kita miliki hari ini memuat kesempatan-kesempatan yang hampir-hampir tak mungkin terulang esok. Sebab waktu yang kita miliki hari ini bukanlah yang akan kita miliki esok hari, jika kita punya tentunya. Karena kapan nafas berhenti tak ada yang tahu.
Allah SWT tidak hanya sekali menggunakan sumpah atas nama waktu dalam kitab suci. Di beberapa mukadimah surat, Ia sebutkan demi masa, demi waktu terbitnya mentari, demi waktu fajar, atau demi malam hari. Sebuah bukti tegas yang lebih dari cukup untuk membuat kesimpulan bila waktu tak ternilai harganya. Sebab Allah SWT tak akan bersumpah sia-sia untuk hal yang “tak berguna”.
Barangkali filosofi tentang “waktu paling berharga” yang muncul disela-sela tafsiran ayat pertama surat al-‘Ashr oleh Imam Fakhr al-Razi patut kita renungkan kembali. Apa yang diungkapkan beliau dengan penyampaian yang hiperbolik itu ada benarnya. “Sisa hidup seseorang tak ternilai harganya. Andai kata engkau berdosa selama seribu tahun, kemudian disaat-saat terakhir hidupmu kau bertobat, maka balasannya adalah masuk surga untuk selama-lamanya. Maka kau akan tahu, saat-saat terbaik dalam hidupmu adalah saat-saat terakhir itu.”[1] Tentu saja, sebab andai saja beberapa jam terakhir itu bukan digunakan untuk bertobat, ceritanya akan lain.
Apa yang diungkapkan Imam al-Razi bukan dongeng. Kisah semacam itu pernah terjadi. Dahulu, Amr bin Uqaisy RA –walau tidak sampai berusia seribu tahun—adalah salah satu sahabat beruntung yang masuk surga sebelum sempat mendirikan salat satu rakaatpun. Beliau beriman kepada Rasul saat terjadinya perang Uhud. Dibalik baju zirah, beliau wafat dalam keadaan beriman, hanya berselang tak berapa lama setelah hidayah datang datang ke lubuk hatinya. Yang patut kita garis bawahi adalah, alangkah berharganya waktu sekian jam terakhir dalam hidup sosok sahabat Nabi tersebut. Tentu saja sebab waktu itu digunakan semestinya. Dan kisah kita semua seharusnya sama.
Waktu adalah salah satu dari nikmat yang tak mampu kita “hitung”. Namun banyak orang dengan mudah sering melupakannya. “Dua nikmat yang banyak manusia merugi olehnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Kesehatan, karena tak digunakan seyogyanya, demikian juga waktu senggang: banyak yang terbuang percuma. Allah SWT Maha Benar, setelah sumpah demi masa –dalam surat al-‘Ashr—Ia melanjutkan firman-Nya, “kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal baik”. Dalam artian, menggunakan waktu semestinya.
Kalau ingin tahu lebih jauh, tanyakan betapa berharganya waktu pada orang-orang yang diambang eksekusi: mereka yang esok pagi hidupnya diujung bedil. Atau pada penghuni neraka yang berteriak meronta, “Tuhanku, kembalikan aku ke dunia. Janjiku akan berbuat kebaikan”. Tapi kita sudah tahu itu jerit yang sia-sia, sebab Ia tak peduli lagi pada mereka, dan matahari yang sama tak akan terbit dua kali.
“Waktu menyimpan banyak keajaiban. Ia membuat orang memiliki kebahagiaan dan kesedihan, sehat dan sakit, kaya dan miskin. Bahkan ada yang lebih menakjubkan saat bicara waktu: akal tak mampu menghukumi ketiadaannya. Karena bagaimanapun juga waktu terbagi. Menjadi tahun, menjadi bulan, menjadi hari, dan menjadi jam. Lantas bagaimana mungkin ia tiada?
Tapi akal juga tak mampu menghukumi kalau ia ada. Karena masa pada detik ini tak bisa terbagi-bagi, sementara masa lalu dan masa depan hanyalah kealpaan. Lantas bagaimana mungkin ia ada?” –Fakhr al-Razi (1150 M-1210 M).
[1] Tafsir Mafatihul Ghaib. Juz 32 Hal. 84 Darul Fikr. 1981
0