Pesantren memiliki eksistensi tersendiri dalam dunia pendidikan. Ia merupakan fondasi pendidikan karakter bangsa. Dengan pendidikan akhlak, pesantren mampu mencetak pribadi yang berbudi luhur, intelek, santun dan mampu berinteraksi dengan berbagai kalangan. Terbukti, banyak tokoh yang memegang peran penting di Indonesia, lahir dari lingkungan pesantren.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran aktif santri sangat dibutuhkan. Santri bukan hanya berperan sebagai peserta didik, tapi juga merupakan tangan panjang kiyai (khususnya dalam menggaungkan syiar Islam). Sebagai lembaga pendidikan―disadari atau tidak―pesantren memiliki banyak hal dengan nuansa pendidikan. Salah satunya adalah tradisi ro’an. Ro’an merupakan istilah untuk menyebut kegiatan kerja bakti di pesantren.
Di Pondok Pesantren Lirboyo sendiri tradisi ini dilakukan setiap hari oleh Tim Kebersian pondok/madrasah dan Mahasantri Semester 3-6, khusus siswa Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tingkat I’dadiyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah hanya di wajibkan setiap hari Jum’at pagi saja.
Dengan melakukan ro’an bersama-sama, santri dapat bersosialisasi dengan rekan sejawatnya serta dapat bekerjasama untuk menciptakan suasana lingkungan pesantren yang bersih dan asri.
Di kalangan santri Lirboyo, entah sejak tahun kapan yakni membentuk tim ro’an angkatan dan menamainya dengan istilah unik dan menggelitik, tiap angkatan yang menjelang tamatan berlomba- lomba mengkompakkan diri dan membuat nama keren untuk tim ro’an mereka.
Ahir-ahir ini malah tidak hanya siswa tamatan saja yang bersemangat mensukseskan kegiatan ini, bahkan ada yang sejak kelas I Aliyah sudah membentuk tim ro’an lengkap dengan namanya.
Yang paling menarik di Lirboyo yaitu ketika ada ro’an ngecor gedung pondok atau madrasah, tampak ribuan para santri berantusias, berbondong-bondong datang dengan semangat dan berekspresi sebebas-bebasnya. Perwujudan yang paling tampak adalah dandanan yang dipakai oleh para santri ketika ro’an. Hampir tak ada yang lazim digunakan sehari-hari, dan cenderung aneh-aneh. Ada yang berpenampilan seperti politikus , berdasi, pakai jas bekas lengkap dengan kacamata hitamnya, topi koboy, helm, sepatu, celana bolong. Malah ada yang memakai daster orang hamil segala.heuheu
Para santri berpenampilan seperti itu bukannya malu, busana busana nyentrik-nyleneh tersebut malah bisa membuat tim yang dikomandoinya makin kompak dan semangat. Dalam ro’an tak ada lagi istilah pakaian syar’an wa adatan. Bahkan yang paling alim dan lempeng di kelas pun, bisa menjadi kopler ketika ro’an.
Di pesantren Lirboyo, ro’an identik dengan kegiatan siswa tamatan. Bahkan ada yang berasumsi belum afdol menjadi tamatan, jika belum ro’an. Walau tak menutup kemungkinan adik- adik kelasnya juga turut menjadi peserta ro’an.
Bila dilihat secara sekilas, ro’an memang tampak sebagai kegiatan yang biasa. Akan tetapi, menurut saya, terdapat beberapa nilai pendidikan dalam ro’an jika dilihat lebih dalam. Diantaranya yakni;
Pertama: Dalam ro’an―secara tidak langsung―santri dididik untuk mengikis egonya dan lebih mengedepankan sisi kerja sama. Hal ini dapat menekan tumbuhnya karakter individualis pada diri santri. Sebaliknya, ro’an justru bisa mengasah teamwork ability bagi santri. Para santri dilatih untuk bergerak dan bekerja berdasarkan kesepakatan kolektif. Seandainya tiap santri bekerja dengan egonya masing-masing, kegiatan ro’an tak akan berjalan lancar dan kemaslahatan bersama tidak akan tercipta.
Selain itu, ro’an juga mengajarkan pada santri untuk menerima perbedan yang niscaya. Tak peduli berasal dari suku apa, tak peduli dialek yang dimiliki bagaimana, tak peduli orang tuanya berprofesi sebagai apa, semua melebur dalam harmoni gotong royong. Tanpa sadar hal tersebut dapat menciptakan generasi yang pluralis, generasi yang tidak gampang menghakimi pihak yang punya perbedaan dengan dirinya.
Generasi seperti inilah yang kita butuhkan, kapan pun juga di mana pun. Sebab, tanpa generasi yang mampu menerima perbedaan, tentu akan muncul berbagai sikap intoleran. Mulai dari budaya kafir-mengafirkan hingga kebiasaan mengklaim orang lain yang berbeda tidak akan dapat jatah masuk surga. Padahal, Allah swt telah menerangkan secara tersirat bahwa keberagaman adalah keniscayaan dalam surat Yunus ayat 99. Dan, saya rasa tradisi ro’an di pesantren telah mengejawantahkan hal tersebut.
Kedua; Berhidmah, membantu ikhlas kepada seorang guru ataupun para kiai pengasuh pondok pesantren. Sebagaimana yang di dauwuhkan oleh Abuya as-Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki al-Hasani:
ثبات العلم بالمذاكرة، وبركته بالخدمة، ونفعه برضا الشيخ.
“Melekatnya ilmu dapat di peroleh dengan cara banyak muthola’ah, dan barokahnya dapat di peroleh dengan cara berkhidmah, sedangkan manfaatnya dapat di peroleh dengan adanya restu dari guru’’.
Ketika mustahiq (sebutan guru di pesantren lirboyo) memberikan kita sebuah ilmu, mereka tak sekalipun mengharap imbalan, karena niat mereka begitu mulia, mengamalkan ilmu dan mengajarkannya, selaras dengan hadis Rasulullah Saw;
“Barangsiapa menyampaikan satu ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya, maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal), ia akan tetap memperoleh pahala” (HR. Al Bukhari).
Berkhidmah sendiri terdapat banyak cara diantarannya yakni bin nafs (dengan fisik/ tenaga) seperti contoh bergotong royong membersihkan pondok, bahu-membahu mendirikan bangunan, dan lain sebagainya.

Ada beberapa kutipan dawuh dari para Masyayikh Lirboyo tentang khidmah diantarannya:
Dawuh Almaghfurlah Romo KH. A. Idris Marzuqi;
” Aku luweh seneng santri seng ora pinter tapi gelem khidmah daripada santri pinter tapi ora gelem khidmah “.
(Saya lebih suka kepada santri yang tidak pintar tapi mau berkhidmah dari pada santri pintar tapi tidak berkhidmah).
Dawuh Almaghfurlah romo KH. Abdul Aziz Manshur : قم حيث أقامك الله
” Berkhidmahlah dimanapun Alloh menempatkanmu “.
Dawuh Romo KH. M. Anwar Manshur;” Lak wes mari mangan piringe di isahi “
Santri kalau sudah selesai makan ( sekolah/mengaji ) piringnya di cuci ( disempurnakan dengan khidmah ).
Pengasuh Pondok Pesantren al-Mahrusiyah Lirboyo, KH Reza Ahmad Zahid Imam mengatakan;
“Para santri di pondok pesantren diajari oleh para mustahiq yang rela berkorban meluangkan waktunya, menyisihkan segala kesempatannya demi transformasi ilmu pengetahuan. Mulai mengajarkan alif-ba-ta hingga mengurai permasalahan dan menemukan solusi semua ia lakukan sebagai bentuk khidmah,”.
Jika perjuangan dan pengorbanan kiai maupun mustahiq untuk santrinya begitu besar, kita pun sebagai santri selayaknya menghormati beliau-beliau, khidmah adalah salah satu lantaran yang bisa dilakukan, karenanya para ulama’ dan masyayikh lirboyo sangat menganjurkan seorang santri untuk khidmah selama ngangsu kaweruh di pondok pesantren.
Semoga kita bisa berkhidmah dengan ikhlas kepada para Masyayikh dan mendapatkan Ridlo guru. Wallahu A’lam Bishawab.
Follow; @pondoklirboyo
Subscribe; Pondok Lirboyo