Sejarah Kurban: Dikenang Sepanjang Zaman

Merayakan hari raya Idul Adha, berarti juga mengingat kembali peristiwa besar yang dahulu pernah dialami oleh bapak para nabi, Nabi Ibrahim AS. Pengalaman spiritual tentang nadzar yang “diingatkan” oleh-Nya untuk segera ditepati. Momen historis ini terasa abadi karena dikenang tiap tahun oleh umat muslim. Dibacakan kisahnya secara berulang dalam tiap-tiap khutbah hari raya. Direnungkan ayatnya yang termaktub dalam Alquran. Dan dipelajari hikmahnya sebagai ibrah dan suri tauladan.

Syahdan, ketika Nabi Ibrahim AS masih dalam usia muda, dan belum memiliki putra, beliau pernah berkurban ribuan ternak kepada Allah SWT sekaligus. Beliau mempersembahkan seribu ekor kambing, tiga ratus ekor sapi, dan seratus ekor domba. Baik manusia ataupun para malaikat terkagum-kagum akan kedermawanan Nabi Ibrahim AS tersebut. Jika urusannya memang tentang Tuhan, Nabi Ibrahim AS adalah pribadi yang akan memberikan semua yang dimilikinya. Beliau bahkan sampai-sampai mengatakan, “Demi Allah, andaikan saja aku punya putra, niscaya aku kurbankan pula di jalan Allah. Dan aku gunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya”. Pada waktu itu syari’at tiap-tiap nabi berbeda. Syari’at Nabi Ibrahim AS dan syari’at Nabi Muhammad SAW tidaklah sama. Dahulu, nadzar bisa disumpahkan dengan apapapun. Bahkan dalam syari’at Nabi Musa AS, adakalanya orang baru diterima taubatnya setelah ia membunuh dirinya sendiri. Nabi Ibrahim AS konon pernah mengucapkan kalimat tersebut, dan janji adalah hutang. Ketika masa semakin berlalu, lama kelamaan Nabi Ibrahim AS lupa akan nadzarnya, karena beliau tak kunjung dikaruniai putra. Hingga akhirnya di usia beliau yang semakin tua, beliau berdoa kepada Allah SWT, mohon dikaruniai putra. Tatkala beliau hampir mencapai seratus tahun, doa beliau barulah terjawab. Beliau dikaruniai Nabi Isma’il AS. Dan setelah Nabi Isma’il beranjak dewasa, Allah SWT mengingatkan Nabi ibrahim AS akan nadzarnya dulu.[1]

Hikayat akan mimpi Nabi Ibrahim AS untuk menepati nadzarnya ini juga yang konon menjadi latar belakang, kenapa hingga kini ada istilah hari tarwiyyah, hari ‘arofah, dan hari nahr.

Menurut sebuah pendapat yang dikutip Ibn Qudamah, pada malam ke delapan bulan Dzulhijjah Nabi Ibrahim AS bermimpi menyembelih putranya. Maka ketika fajar menyingsing, beliau memikirkan mimpinya tersebut ( يَرْوِي ). Beliau merenung apakah mimpinya semalam adalah wahyu dari Allah ataukah sekedar bunga rampai tidur? Maka hari ke delapan itu disebut sebagai hari tarwiyyah ( التَّرْوِيَةِ ), yang apabila dirunut, kata tarwiyyah mengakar pada kata yarwî. Dan pada malam selanjutnya, atau malam ke sembilan Dzulhijjah, beliau kembali mengalami mimpi yang sama. Akhirnya beliau tahu ( عَرَفَ ) bahwa mimpi yang belau alami benar-benar wahyu dari Allah SWT. Hari ke sembilan ini pada akhirnya disebut sebagai hari ‘arofah ( عَرَفَةَ ), yang jika ditelusuri konon mengakar pada kata ‘arafa yang bermakna tahu.[2] Sedangkan hari penyembelihan disebut sebagai hari nahr, nahr bermakan menyembelih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.