Mengucapkan ‘sayidina’ kepada nabi Muhammad sering menjadi perbincangan hangat di antara umat muslim. Sebagian dari mereka melarangnya dengan dalil:
أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل
Artinya: “Seorang lelaki telah datang kepada Rasulullah seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayidina, Ya anak Sayidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami!” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertakwa dan jangan membiarkan setan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka se-siapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.” (HR. Ahmad)
Juga dengan dalil:
لا تسيدوني في الصلاة
Artinya: “Janganlah mengucapkan sayidina padaku saat sholat.”
Ada juga yang memperbolehkannya bahkan sunah untuk mengucapkannya dengan dalil:
انا سيد ولد ادم ولا فخر
Artinya: “Aku adalah junjungan/tuan dari anak turun adam dan tidak ada kesombongan sama sekali”
Kalau kita cermati dari kedua pendapat tersebut merupakan adab kepada nabi Muhammad. Yang melarang berpendapat ketika menambahkan sayidina berarti menambahkan sesuatu yang tidak diberikan oleh Allah SWT, karena ada perintah untuk tidak meninggikan dengan ungkapan yang tidak diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Dan memakai kaidah mengikuti perintah berarti melakukan sebuah adab, bahkan ketika mengucapkan sayidina berarti merendahkan Rasul yang sudah bergelar Nabi atau Rasul.
Sedangkan pendapat yang memperbolehkannya bahwa sayidina itu tetap pantas disandang oleh siapapun bahkan seorang nabi dan rasul dengan dalil di atas, yaitu yang disampaikan rasul, “Aku adalah junjungan/tuan dari anak turun adam dan tidak ada kesombongan sama sekali”, di sini nabi Muhammad mengakui sendiri bahwa beliau adalah seorang sayyidul waladil adam, andaikan tidak boleh jelas menggunakan lafal yang lain seperti aku nabi atau rasul dari anak turun adam. Dan mengikuti kaidah:
التزام الأدب مُقدَّم على امتِثال الأمْر
“Mempertahankan adab atau kesantunan lebih diutamakan daripada memenuhi perintah”
Artinya, konteks pelarangan memanggil sayidina di atas adalah lebih pada ketawadhu’an beliau terhadap para sahabatnya, bukan dalam konteks melarang ‘karena itu buruk’. selain itu juga berpijak pada firman Allah:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).”(QS an-Nur: 63)
Maka tidak heran bila kalangan Nahdiyin lebih mengutamakan adab ketika memanggil beliau. tidak lain hal itu untuk menjaga kehormatan beliau serta agar panggilan kepada beliau lebih tinggi dari pada panggilan kepada selainnya.
Sedangkan mengenai dalil:
لا تسيدوني في الصلاة
Menurut pendapat Mutaakhirin Khuffad bahwa hadist tersebut tidak ada dasarnya atau maudhu’ (palsu).
Oleh: M. Yusuf, santri Ma’had Aly PP. Lirboyo semester VII asal Trenggalek.