Tafsir Ayat Keras Terhadap Non-Muslim

Thomas Lipke on Unsplash

Sebagian orang, ada yang memiliki mindset bahwa bersikap keras kepada non-Muslim merupakan bagian dari sikap seorang Muslim sejati. Pola pikir seperti ini tentunya perlu ditinjau ulang, sebab sebagaimana jamak diketahui bahwa ajaran Islam penuh dengan kasih sayang. Lalu, benarkah harus bersikap keras kepada non-Muslim? Tulisan ini akan menguraikan interpretasi para mufassir terkait Q.S. al-Fath ayat 29 yang sering dijadikan dalih untuk bersikap keras terhadap non-muslim. Di dalam al-Qur’an, Allah Swt. berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Q.S. Al-Fath [48]: 29)

Cuplikan ayat ke-29 surah al-Fath dari al-Qur’an di atas, kerap dijadikan sebagai dalil untuk melegitimasi bersikap keras dan membenci orang yang berbeda agama, meski ia berbuat baik atau tidak mengganggu. Dan sebaliknya, memaklumi setiap perilaku orang yang seagama, meski ia keliru dan melampaui batas.

Fenomena demikian, tentu saja menimbulkan keresahan dan menyisakan kejanggalan bagi kita mengingat bahwa visi agama Islam adalah untuk merahmati semesta alam (rahmatan lil alamin), tidak hanya terbatas pada kalangan Muslim saja, apalagi kita hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang warganya terdiri dari beragam suku, bahasa dan agama.

Pemahaman secara serampangan terhadap ayat tersebut dapat berpotensi merusak ikatan primordial dan persaudaraan sebangsa dan setanah air yang telah jauh-jauh hari dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu (founding fathers) negara kita.

Konteks Diturunkannya Ayat

Perihal sebab diturunkannya Q.S. al-Fath ayat 29, dijelaskan bahwa ayat tersebut turun dalam situasi konfrontasi dan ketegangan, bukan dalam kondisi damai dan tentram, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. dihalang-halangi untuk melaksanakan ibadah haji oleh kalangan kafir Quraisy, yang pada akhirnya kemudian melahirkan kontrak kesapakatan damai (Sulh al-Hudaibiyyah).       

Dalam disiplin ilmu al-Qur’an terdapat asbab an-nuzul, yaitu sebab diturunkannya ayat. Hal ini penting untuk diketahui, karena sebagaimana disebutkan dalam kaidahnya, masing-masing ayat haruslah ditempatkan dalam ranah dan proporsinya masing-masing. Sebab al-Qur’an tidaklah diturunkan dalam ruang yang hampa, melainkan berinteraksi dengan kehidupan masyarakat di saat turunnya ayat tersebut. Sehingga, tidak boleh memaksakan ayat yang turun dalam kondisi perang untuk diterapkan pada kondisi damai.

Interpretasi Ayat

Setelah mengetahui konteks diturunkannya ayat, kemudian beranjak pada step selanjutnya, mari kita kroscek ulang penafsiran ulama kredibel mengenai ayat tersebut, benarkah semutlak itu harus bersikap keras terhadap non-Muslim?

Imam Ibn Abbas (w. 68 H) sebagai generasi awal para penafsir al-Qur’an mengatakan, bahwa ayat ini hanya berlaku untuk para sahabat yang mengalami peristiwa Hudaibiyyah. Yang dimaksud dengan orang yang menyertai Nabi Muhammad Saw. adalah Abu Bakar, yang keras pembelaannya terhadap Rasulullah Saw. adalah Umar bin Khattab, yang berkasih sayang dengan sesama mereka adalah Utsman bin Affan, sedangkan yang rukuk dan sujud ialah Ali bin Abi Thalib. Penafsiran yang senada juga dikemukakan oleh al-Baghawi (w. 510 H) dalam Ma’alim at-Tanzilnya, as-Samarqandi (w. 373 H) dalam Bahrul Ulumnya, dan al-Alusi (w. 1270 H) dalam Ruh al-Ma’aninya. Bahkan, lebih lanjut Syaikh Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi (w. 1393 H) mengemukakan dalam tafsirnya:

وَيُفْهَمُ مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَلِينَ إِلَّا فِي الْوَقْتِ الْمُنَاسِبِ لِلِّينِ، وَأَلَّا يَشْتَدَّ إِلَّا فِي الْوَقْتِ الْمُنَاسِبِ لِلشِّدَّةِ، لِأَنَّ اللِّينَ فِي مَحَلِّ الشِّدَّةِ ضَعْفٌ، وَخَوَرٌ، وَالشِّدَّةُ فِي مَحَلِّ اللِّينِ حُمْقٌ، وَخَرَقٌ
Dipahami dari ayat ini bahwa seorang Mukmin wajib baginya untuk tidak bersikap lemah-lembut kepada non-Muslim, kecuali pada waktu yang yang layak untuk bersikap lembut serta tidak bersikap kasar kecuali pada waktu yang yang layak untuk bersikap kasar. Sebab bersikap halus di tempatnya kasar dapat memperlemah, sedangkan keras pada tempatnya halus merupakan perbuatan dungu dan kaku.[Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin Abdul Qodir asy-Syinqithi, Adwa al-Bayan fi Idloh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr), vol. 1, h. 416.]