Orang kadang tak pernah mengira jika sejarah besar banyak yang hanya bermula dari peristiwa-peristiwa sepele. Jalinan pernak-pernik dalam kehidupan yang sengaja dan tak sengaja kita lewatkan membentuk rangkaian masif tentang alur kehidupan itu sendiri.
Syahdan, Syaikh Washil bin ‘Atho’, seperti biasanya mengaji kepada gurunya, Syaikh Hasan Al-Bashri di masjid Bashrah pada suatu hari. Semuanya baik-baik saja, sampai diskusi rutinan tiba pada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seorang hadirin kepada Syaikh Hasan al-Bashri yang sedang memimpin majelis, “bagaimana pendapat Anda tentang pelaku dosa besar?”.
Maklum diketahui, permasalahan itu dahulu agak sensitif untuk diangkat, dari pendapat yang sudah beredar, orang-orang Khawarij menyatakan bahwa pelaku dosa besar jelas kafir. Dan orang-orang Murji’ah menyatakan pendapat sebaliknya. Apa yang salah dari pelaku dosa besar sampai tega-teganya divonis murtad?
Di tengah larut mencari jawaban, Syaikh Washil bin ‘Atho’ yang tidak sepaham dengan pendapat yang ada berdiri dari majelis. Menurutnya, pelaku dosa besar haruslah di tengah-tengah antara beriman dan kafir. Kelak, inilah yang menjadi salah satu dari lima ajaran pokok Muktazilah: al-manzilah bainal manzilatain. Syaikh Washil tak melanjutkan lagi ngajinya kepada sang guru sejak hari itu, dan justru memilih untuk membuat halaqoh baru yang ia pimpin sendiri. Semakin hari majelis Syaikh Washil bin ‘Atha’ semakin mendapatkan simpatisan. Murid-muridnya bertambah, dan pahamnya mulai tersebar luas.
Disadari atau tidak, peristiwa sesaat inilah, konon, yang melatarbelakangi sejarah panjang lahirnya sekte rasionalis Muktazilah. Yang doktrinnya agak mengerikan jika kita tahu. Mereka berhasil selama tiga periode suksesi pemimpin kekhalifahan Bani Umayyah, atau selama kurang lebih empat belas tahun menyebarkan paham khalqul quran. Taringnya cukup kuat hingga ratusan tahun kemudian. Dan Muktazilah tetap merupakan seteru ketat perdebatan yang mendominasi saling bantah dengan kaum Sunni. Sampai pada akhirnya, pengikut-pengikut Muktazilah sekarang sudah terkikis habis, salah satunya mungkin berkat kegigihan ulama-ulama Sunni dalam menentang mereka. Hingga pendapat-pendapat mereka tak akan lagi kita temukan tersebar, kecuali dalam kitab-kitab Sunni yang kontra plus sangkalannya.
Khalifah Al-Makmun mungkin menjadi salah satu orang yang paling berjasa bagi mereka. Orang-orang Muktazilah ‘memperalat’ Khalifah Al-Makmun yang gemar ngaji filsafat, dengan mendorongnya untuk menyebarluaskan paham Muktazilah. Sebuah pendapat yang menjadi salah satu doktrin paling terkenal sepanjang masa, Khalqul Quran. Dan itu terjadi tepat di masa-masa akhir menjelang tahun kematian Al-Makmun. Namun sebenarnya Al-Makmun adalah orang yang taat, hanya saja dia dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya yang berkepentingan. Sampai-sampai ada riwayat bahwa pada akhirnya, ia bertaubat tepat beberapa saat sebelum ajal menjemput.
Semuanya memang baik-baik saja pada masa pemerintahan ayahnya, Harun Al-Rasyid. Karena beliau adalah orang Sunni yang taat. Dan lebih tepatnya mungkin, bisa membatasi diri untuk tidak mudah terbawa arus pemikiran mainstream. Harun Al-Rasyid adalah orang yang cerdas. Mungkin dengan tabiat dari sang ayah ini jualah, Al-Makmun putranya juga jadi gemar mengaji. Hanya saja, orientasinya yang agak berbeda. Dan pergaulannya yang agak salah. Khalifah Al-Makmun dekat dengan orang-orang Muktazilah. Dan mengagumi pemikiran-pemikiran mereka. Ini menjadi senjata dan kesempatan emas bagi sekte yang butuh perlindungan itu. Salah satu yang paling dekat dengan Al-Makmun adalah menterinya sendiri, Ibn Abi Du’ad. Ibn Abi Du’ad sudah seperti menjadi penasihat bagi Al-Makmun. Ditambah lagi, guru Al-Makmun dalam ilmu perbandingan agama, Abu Hudzail al-‘Allaf, adalah seorang Muktazilah seratus persen.
Padahal banyak yang tidak masuk akal dalam ideologi Muktazilah menurut Ahlussunnah. Ada tiga hal yang jelas membuat kaum filsafat kufur, -disebut pada sajak dalam kitab kifayatul ‘awam– hanya karena alasan logis mereka, Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci, tak pantaslah bagi-Nya untuk sampai tahu hal-hal kecil sedetil-detilnya. Mengingat betapa hinanya kenyataan yang ada, manusia sering berfikir hal-hal kotor dalam taraf yang sangat-sangat “sunyi”, tak ada yang tahu selain Dia sendiri. Dalam fan tasawwuf kadang dinamakan syirik khaffy. Pendapat ini dilanjutkan oleh para pembela Ahlussunnah yang gigih, disangkal mati-matian dengan rumusan bahwa Allah SWT punya sifat ‘ilmu yang tanpa batas. Qidamul ‘alam? Alam semesta adalah qadim, kata orang-orang filsafat. Hanya karena alasan logis, jika alam semesta ibarat cincin, dan penciptanya ibarat jemari, maka cincin akan selalu bergerak sama dengan jemari.
Filsafat adalah fan yang digemari Al-Makmun. Buku-buku ia susah payah terjemahkan. Segala cara untuk menunjang hobinya. Tentu saja karena dia adalah raja.
Menjadi tren sejak lama jika setiap kelompok pasti punya identitas untuk membesarkan namanya. Dulu orang-orang gereja punya pendapat tentang Geosentris. Bumi adalah pusat tata suya. Difatwakan kepada jemaat untuk menguji keimanan mereka. Lalu kemudian muncullah Galileo Galilei dengan teori sebaliknya, Heliosentris. Matahari adalah pusat tata surya. Gemparlah seluruh jagat. “Bumi adalah seonggok batu yang tak henti-hentinya berputar dalam sebuah ruang hampa. Mengitari sebuah bintang kelas dua.” Galileo disiksa supaya bungkam dan mencabut kembali pahamnya. Sudah pernah terjadi juga dulu, Khalqul Quran untuk menguji seberapa kuat umat Islam. Seberapa gigih orang-orang Sunni yang secara halus diusir dari tanah airnya untuk tetap bertahan dalam kebenaran. Alkisah, seorang yang paling gagah berani untuk mengakui paham ini adalah tokoh kita, Imam Ibn Hanbal. Beliau salah satu yang terdepan menolak bahwa Alquran adalah makhluk. Sampai putus asa, pemerintah gagal membujuk Imam Ibn Hanbal berkata setuju. Ketika beliau sampai di penjara dan didera puluhan kali, Ibn Hanbal tetap mengatakan Alquran adalah kalam-Nya, bukan makhluk. Teladan bagi kita, ketika yang lain memilih untuk pura-pura mengikuti alur dan permintaan raja, Imam Ibn Hanbal terang-terangan menolak.
Perintah untuk menyebarkan paham ini dikeluarkan dari dekrit yang dikirim ke provinsi-provinsi lain sekitar Baghdad. Daerah-daerah yang masih menjadi daerah kekuasaan Al-Makmun. Dalam sebuah suratnya kepada Gubernur Irak, Al-Makmun menulis, “Kita semua sudah tahu, kebanyakan orang, dari golongan rakyat-rakyat rendahan dan awam tidak punya kapasitas intelektual yang baik. Mereka orang-orang bodoh dan buta untuk tahu hakikat Allah senyata-nyatanya. Akhirnya mereka menyamakan antara Allah dan makhluk-Nya. Dan tetap berpendapat jikalau Alquran qadim dan bukan diciptakan oleh-Nya. Padahal Allah telah berfirman, {إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآناً}, dan setiap yang dijadikan (جَعَلَ) oleh-Nya, pastilah diciptakan-Nya. Seperti dalam firman-Nya, {وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ}”
Artinya kita tahu, Al-Makmun mungkin merasa dirinyalah yang bertanggung jawab dan tak mau disalahkan jika sampai rakyat melakukan dosa terbesar: syirik. Menurut pemahamannya, jika Alquran makhluk, dan sampai ada orang yang menyifati Alquran dengan sifat Qadim-Nya, otomatis orang tersebut telah menyekutukan-Nya dengan mengatakan ada hal lain yang Qadim selain Allah. Kita juga benturkan dengan pemahaman Muktazilah yang mengingkari sifat-sifat ma’ani. Karena kalam adalah sifat ma’ani, maka tidak kaget kalau Muktazilah mengingkari Alquran adalah kalamullah. Mereka lebih cocok dengan pemahaman jika Allah menciptakan kalam seperti halnya Ia ciptakan makhluk lain, bukan Allah bersifat kalam.
Mihnah Alquran berlangsung kurang lebih hingga empat belas tahun. Sampai pada masa kekuasaan Khalifah Al-Mutawakkil, para pejabat pemerintah yang berakidah Muktazilah mulai ditelanjangi dan disingkirkan dari pemerintahan. Era khalifah Al-Mutawakkil mengakhiri muktazilah sebagai faham resmi negara.
Selama masa-masa mihnah Alquran ini, banyak ulama yang kelelahan dan bosan dengan situasi yang bergulir. Muncul anekdot, ‘Ubadah Al-Mudhik1, menghadap khalifah Al-Wastiq yang masih meneruskan paham khalqul quran.
Kata Ubadah, “wahai Amirul Mukminin, semoga Allah memberikan pahala yang besar kepada tuan.” (Kalimat ini jamak digunakan ketika ada orang yang tertimpa musibah kematian keluarganya).
“Atas kematian apa?” tanya Al-Watsiq.
“Atas kematian Alquran,” jawab Ubadah diplomatis.
“Celakalah engkau. memangnya Alquran bisa mati?”
“Wahai Amirul Mukminin, setiap makhluq pasti mati. Ya Allah!!! Lantas apakah yang nantinya akan dibaca orang-orang dalam salat tarawih?”
Sang Khalifahpun tertegun. “Keluarkan dia! Keluarkan dia!!”
Bacaan:
Manaqib Aimmah Arba’ah MHM
Syarah Ummul Barohin karya Syaikh Sanusi
Hasiyah Syaikh Dusuqi untuk syarah Ummul Barohin
Kifayatul ‘Awwam
Siyar A’lam Nubala’
Biografi Imam Ibn Hanbal Syaikh Abd Aziz Syinawi
1 Menurut versi lain ‘Ubadah Al-Mukhonnas