Warna-Warni Tarekat di Nusantara | Kata tarekat besal dari bahasa Arab at-Thariq yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini timbullah konotasi makna; cara seseorang melakukan sesuatu pekerjaan, baik terpuji atau tercela.
Kata tarekat secara umum mengacu pada metode latihan atau amalan (dzikir, wirid dan muroqobah), dan juga pada intuisi guru dan murid yang tumbuh secara bersamaan. Menurut istilah tasawuf, istilah tarekat dapat didefinisakan sebagai langkah perjalanan khusus bagi para sufi menuju Allah Swt.
Banyak sekali macam tarekat, akan tetapi semuanya tetap pada satu tujuan; yaitu moral yang mulia. Tidak ada perbedaan prinsip antara satu tarekat dan tarekat lainnya. Perbedaan yang ada hanya terletak pada jenis wirid dan dzikir serta kaifiyah (tata cara) pelaksanaannya.
Pertumbuhan dan Perkembangan Tarekat
Pertumbuhan tarekat kira-kira telah dimulai sejak abad ke-3 dan ke-4 H di luar Indonesia, seperti al-Malamatiyyah yang didirikan oleh Hamdun al-Qashar atau Taifuriyyah yang mengacu pada Abu Yazid al-Busthami atau pun al-Khazzaziyyah yang mengacu pada Abu Sa’id al-Khazzaz.
Namun tarekat-tarekat tersebut masih dalam bentuk sederhana dan bersahaja atau orisinil pabrik. Perkembangan tarekat justru terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 yang pada abad ini pertama kali pendirinya adalah Syekh Abdul Qodir al-Jailani, yakni pada awal abad ke-6 H. Kemudian disusul tarekat-tarekat lainnya. Semua tarekat yang berkembang, dalam priode ini merupakan korelasi tasawuf Hujatul Islam, Imam al-Ghazali. Dengan berdirinya sebagai tarekat, tasawuf Sunni mengalami perkembangan baru hingga saat ini.
Prosesi Mengikuti Tarekat
Proses pengambilan tarekat umumnya diawali dengan suatu baiat (sumpah). Baiat ini dibimbing oleh mursyid secara berhadapan (face to face) setelah murid melakukan tobat dari segala maksiat. Dalam pengambilan bait ini, dikecualikan tarekat ‘Alawiyah di mana tarekat ini tidak mengharuskan baiat.
Secara teori, tarekat berusaha untuk tidak berafiliasi dengan keruwetan tasawuf Falsafi. Inti tarekat ‘Alawiyah menurut Habib Muhammad Quraisy Syihab adalah ajaran al-‘Asyari dalam bidang akidah, ajaran ahli sunnah dalam bidang fikih, dan pandangan Imam al-Ghozali yang khususnya dari kitab Ihya’ ‘Ulumuddin dalam bidang akhlak.
Sayyid Abdullah al-Hadad mengatakan bahwasanya tarekat ini adalah Tharikah Ashabul Yamin atau tarekatnya orang-orang yang selalu menghabiskan waktunya untuk selalu ingat dan taat kepada Allah Swt dan hal-hal yang bersifat ukhrowi yang selalu mereka jaga dan lakukan.
Setelah melewati pembaiatan, murid menjalani tarekat sampai menemukan kesempurnaan. Nantinya, ia bisa mendapatkan ijazah lalu menjadi khalifah (syekh) atau mendirikan tarekat lain jika mendapatkan izin gurunya. Oleh karena itu, dalam tasawuf disepakati tiga ciri umum, yaitu; syekh, murid dan baiat.
Tonton juga: Bi’ah Progresif | Ensiklopedia Buku Lirboyo
Ragam Tarekat yang Banyak Diikuti oleh Orang Indonesia
Di antara tarekat- tarekat yang umumnya memperoleh simpati dan banyak pendukung di Indonesia adalah tarekat Kholwatiyyah, Syatariyyah, Qodariyyah dan ‘Alawiyyah.
Kebanyakan pengikut tarekat Kholwatiyyah adalah penduduk daerah Sulawesi Selatan dan yang pertama kali yang memperkenalkannya adalah Syekh Yusuf Tajul Kholwati al-Makasari, dan dilanjutkan Syekh Abd as-Somad al-Palimbani yang membawa tarekat Samaniyyah yang merupakan cabangan dari tarekat Kholwatiyyah ke pulau Sumatera untuk pertama kalinya.
Baca juga: Tentang Thoriqoh dan Tasawuf
Selanjutnya kebanyakan pengikut Syatariyyah adalah penduduk Sumatera Selatan, dan Syekh Abdur Rouf Sinkel adalah orang yang menyebarkan tarekat ini. Kemudian estafet perjuangan beliau dilakukan di Jawa oleh para pengikutnya.
Sementara itu, tarekat Qodariyyah banyak menyebar merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sedangan tarekat ‘Alawiyyah tersebar di Indonesia melalui keturunan ‘Alawiyyin dan murid-muridnya. Salah pengikutnya adalah Syekh Nuruddin ar-Raniri (ulama kelahiran Aceh) seperti yang beliau jelaskan sendiri di karya-karyanya. Tarekat ini merupakan tarekat tertua di Indonesia karena pendiri tarekat ini adalah Imam Ahmad bin Isa Muhajir yang merupakan nenek moyang Wali Songo. Sebagian keturunannya berhasil melestarikannnya sampai sekarang. Syekh Yusuf al-Kholwati maupun Syekh Nuruddrin ar-Raniri masing-masing mengaku mengikuti tarekat ini.
Selanjutnya Naqsabandiyah. Berikut tiga cabangnya yang merupakan tarekat terbesar di Indonesia yaitu; Naqsabandiyyah Madzariyyah, Naqsabandiyyah dan Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah, yang terakhir adalah gabungan dua tarekat yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Khotib Sanbas di Makkah.
Pada tahun 1875 M. beliau merupakan Maha Guru Ulama Indonesia modern. Sebagian santri dan murid beliau adalah Syekh Nawawi al- Bantani (w. 1887), Syekh Kholil (w. 1918), Syekh Mahfudz Termas (w. 1923) dan Hadratus Syekh M. Hasyim al-As’ari pendiri NU.
Di samping itu, terdapat pula tarekat Syadziliyyah Rifa’iyyah, Idrisiyyah, Tijannisiyyah dan lain-lain. Perbedaan antara kejawen dan tarekat di Indonesia menjadi penting bagi setiap studi dan penelitian yang diadakan oleh orang-orang tertentu di Indonesia.
Ketidakpedulian dan kurangnya perhatian terhadap perbedaan ini akan menghasilkan pandangan umum yang negatif terhadap tasawuf pada umumnya, dan tarekat Sunni pada khusunya.
Di Indonesia terdapat organisasi bernama JATMAN yang telah merumuskan kriteria apa saja yang dapat menentukan mana tarekat yang mu’tabaroh dan mana yang tidak.
Penulis: Komunitas Kajian Sejarah Lir-Ilir
Referensi:
- Al-Taftazani, at-Thoriqoh al-Akbariyyah fil kitab al-Tidzkari li Ibn ‘Arabi,
- Madhabib wa Syekhsiyat,
- Van Bruinessed, The Tarekat Naqsabandiyyah in Indonesia,
- Dr. Alwi Syihab Ph.D, pakar tasawuf di Indonesia,
Warna-Warni Tarekat di Nusantara
Warna-Warni Tarekat di Nusantara