Tawakal : Sebuah Penghambaan Diri Kepada Allah

  • santri lirboyo
  • Mei 28, 2021
Tawakal
Daftar Isi [ Tutup ]

TAWAKAL : SEBUAH PENGHAMBAAN DIRI KEPADA ALLAH

Oleh: Mohammad Hasan Alkafrowi*

Syahdan, ada seekor rusa yang sedang berlari kencang untuk menghindar dari amukan api yang tiba-tiba saja melahap habis hutan yang selama ini ia tempati. Rusa tersebut tetap berusaha mengayunkan kakinya untuk bisa keluar dari hutan agar ia bisa selamat. Api yang berkobar hebat di belakangnya sudah tidak terkendali lagi. Yang bisa ia lakukan hanya berlari dan berlari supaya api tersebut tidak sampai membumihanguskan dirinya.

               Saat tiba di ujung hutan, takdir sepertinya tidak memihak padanya. Sewaktu ia menatap sebuah laut memanjang, menghentikan gerak kakinya. Saat ia menoleh ke belakang, kobaran yang menyala-nyala juga sudah siap untuk melahap tubuh mungilnya. Bukan hanya itu saja, dari kejauhan terlihat seorang pemburu yang sudah mulai menarik anak panah untuk bisa melumpuhkannya.

               Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menggeleng-gelengkan kepalanya karena kebingungan mencari cara agar selamat dari kejadian ini. Karena api sudah berada tepat di belakangnya, dan anak panah dari pemburu tadi sudah hendak dilepaskan, ia berteriak lantang:

“Allah Akbar.”

               Dari celah cakrawala, langit menyambar. Suara dari kilat petir membuat mata siapa saja yang melihatnya terperangah, disusul dengan tetesan gerimis yang mulai turun dengan derasnya.

               Mendengar suara gemuruh petir yang begitu dahsyatnya, sang pemburu tersentak kaget. Arah incaran anak panaknya meleset jauh. Dan api besar yang hendak memmbungihanguskan seekor rusa tadi seketika padam sebab turunnya gerimis yang berjatuhan dari langit.

***

               Setiap kali masalah datang menimpa, kalimat terakhir yang keluar dari mulut kita adalah “Ya Allah!”. Setiap kali dalam keadaaan sedih, dalam keadaan tepuruk, atau sedang menghadapi masa-masa krisis, dengan santun dan penuh harap, kita meneriaki nama-Nya khusyu’, dengan disertai segenap semoga, semoga Allah akan mengabulkan do’a-do’a kita. Sebab dalam keadaan demikian, hanya “jari-jemari” Allah yang bisa mengubah semuanya.

               Sayangnya kebanyakan dari kita selalu saja lupa tentang hal ini. Kita selalu mendahulukan akal daripada iman. Kita selalu dikalahkan oleh ego yang selalu mengatakan bahwa kita bisa menyelesaikan semua masalah kita sendiri, bahwa kita bisa mengubah keadaan dengan usaha kita.

               Inilah yang menjadi penyebab awal munculnya istilah menyerah dalam kamus kehidupan. Dan tanpa merasa bersalah sedikit pun, kita selalu mengatasnamakan istilah tawakkal di akhirnya.

Tak Sadar

               Kita lupa, siapa yang telah menyelamatkan Nabi Muhammad Saw. ketika bersembunyi di dalam gua dengan sahabatnya untuk menghindari kejaran para kafir Quraisy; yang menjaga Ashabul Kahfi di dalam gua saat tertidur selama ratusan tahun lamanya; yang memberikan jalan keluar terhadap tiga orang yang terjebak di dalam gua ketika tidak ada lagi jalan keluar bagi mereka; yang menyelamatkan Nabi Ibrahim dari panasnya api dunia dan mendinginkannya; yang menyelamatkan Nabi Musa saat pasukan Fir’aun mengejarnya; yang menyelamatkan Nabi Nuh dari banjir bandang; yang menyelamatkan Nabi Yusuf dari pengapnya sumur yang disebabkan oleh kedengkian saudara-saudaranya sendiri; yang menyelamatkan Nabi Ayyub dari penyakit yang sudah bertahun-tahun bersahabat dengannya.

               Sangat disayangkan bila kita hanya mengingat-Nya sewaktu kita sudah mencapai titik akhir dari apa yang sering kita sebut sebagai perjuangan. Harusnya, sejak awal kita sudah mengajak Allah untuk membersamai kita dalam semua cobaan yang menghadap. Dalam bahasa tawakal, keikutsertaan Allah dipandang sebagai syarat mutlak bagi seseorang sebelum mencari jalan keluar dari masalah yang sedang ia hadapi.

               Namun realitanya, kita hanya ingat kepada Allah setelah kita berusaha sebisa mungkin melawan masalah yang ada, seakan-akan kita mampu menyelesaikannya tanpa bantuan Allah. Antara mengakui atau pun tidak, begitulah kenyataan yang ada.

Penerapan Tawakal

               Kita masih belum bisa melawan nafsu kita yang senantiasa terus berupaya untuk berkata bahwa “Aku bisa.” Tanpa mengikut sertakan Allah di dalamnya. Kita selalu saja berdalih bahwa tawakal ditempatkan di akhir saja. Kalau memang begitu adanya, lalu kenapa Allah menyuruh kita untuk mengucapkan bismillah sebelum memulai segala sesuatu? Bukankah itu menandakan bahwa apa pun yang kita lakukan, masalah apa pun yang sedang kita hadapi, sudah selayaknya membawa nama Allah, dengan harapan bahwa setelah kita melewatinya kita akan semakin dekat dengannya.

               Inilah yang dimaksud oleh Ibnu Qoyyim al-Jauzi ketika mendefinisikan tawakal sebagai “Amalan dan ubudiyah (penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah. ” Dalam artian kita meletakan Allah dan menyandarkan segala urusan padanya. Di awal sebelum kita benar-benar mulai melangkah, bukan di tengah, atau di akhir ketika kita merasa tersesat seperti kebanyakan orang lakukan, ketika mengamalkan konsep tawakal karena tidak menemukan jalan keluar terhadap apa yang sedang dihadapinya.

               Dengan seperti itu, kita bisa menjadi hamba yang sempurna imannya. Tidak hanya menjadi hamba yang memasrahkan segala hal yang tidak bisa kita lakukan selain atas pertolongan Allah Swt. Menjadi hamba yang selalu ingat kepada Allah pada saat akan, sedang, atau telah mengalami sesuatu—yang terjadi di dunia ini adalah kehendak-Nya dan akan berakhir lewat izin-Nya.

               Maka seberat apa pun Allah menguji kita, kita akan selalu bisa berprasangka baik kepada-Nya. Dan semoga saja, lewat prasangka baik itulah Allah memudahkan kita dalam menjalani setiap ujian atau cobaan yang menerpa kita, dan tidak menyesatkan kita sehingga kita jauh dari rahmat dan hidayah-Nya.

﴿ قُلْ هُوَ الرَّحْمٰنُ اٰمَنَّا بِهٖ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَاۚ فَسَتَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ٢٩ ﴾

“Katakanlah, “Dialah Yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya kami bertawakal. Maka kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.” []

                                                                                                         *Penulis adalah santri Pondok HMP kamar M 35 asal Nganjuk.

Baca juga:
EMPAT HAL INI BISA MERUSAK SIFAT TAWAKAL

Saksikan juga:
Haul Ke-36 Almaghfurlah KH. Mahrus Aly

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.