Cakrawala Santri Indonesia

  • tubagus godhonfar
  • Sep 09, 2020
Cakrawala Santri Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai nation-state (negara-bangsa) dengan asas Pancasila, adalah hasil kesepakatan para founding fathers (pendiri bangsa) termasuk para ulama Nusantara. Kesepakatan ini merupakan sebuah negara berdaulat yang mengayomi seluruh rakyatnya yang majemuk, dengan beragam suku, bangsa, dan agama.

Namun dalam perjalanan sejarahnya, perjanjian luhur yang telah diikrarkan atas dasar kearifan dan kebijaksanaan para pendiri bangsa ini, tidak henti-hentinya mendapat rongrongan dari kelompok fundamentalis Islam yang memaksakan kehendaknya. Kelompok ini hendak mengkonversi NKRI sebagai negara-bangsa menjadi negara-agama, dengan mengabaikan kenyataan pluralitas bangsa Indonesia.
Benih ideologi kelompok fundamentalis Islam ini sebenarnya sudah ada sejak awal kemerdekaan tahun 1945. Baik yang bersifat konstitusional, seperti aspirasi-aspirasi yang disuarakan dalam majelis konstitute, atau bersifat militer Seperti dalam kasus DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) tahun 1949, yang berusaha mendirikan negara Islam dan menolak Pancasila. Kelompok ini kemudian ‘tiarap’ selama beberapa dekade pada era Orde Lama dan Orde Baru. Era Reformasi yang memberikan ruang kebebasan politik, menjadi momentum bagi mereka untuk ‘bangun dari tiarap’ dan mengampanyekan kembali ide-ide mendirikan negara Islam Indonesia.

Dalam pandangan kelompok ini, NKRI sebagai negara dengan asas Pancasila, yang merupakan hasil ijtihad politik ulama Nusantara, dianggap tidak sesuai dan bertentangan dengan Islam.

Pandangan demikian, menjadikan mereka tidak segan mengatakan Indonesia adalah negara kafir dan Pancasila thaghut (setan) yang harus ditolak oleh umat Islam.

Kelompok ini juga merasa mendapat pembenaran normatif manakala merujuk kepada teks-teks dalam literatur khazanah Islam klasik (turats atau kitab kuning), yang mewajibkan negara Islam (khilafah) dan menerapkan hudud (hukum-hukum Islam) sebagaimana yang dikonseptualisasikan fuqoha terdahulu dalam fikih klasik. Mereka menganggap, konsep-konsep yang telah dirumuskan dalam fikih klasik itulah satu-satunya interpretasi yang mempresentasikan politik dan hukum Islam—sehingga harus diterapkan kapanpun dan di manapun. Segala sistem pemerintahan, bentuk negara, atau hukum-hukum positif yang tidak sesuai dengan rumusan fikih klasik itu, akan mereka anggap sebagai sesuatu yang tidak islami atau tidak syar’i.

Dengan pandangan dan anggapan seperti ini, maka praktis kalangan pesantren akan mereka plot sebagai “penghianat khazanah sendiri”. Pesantren merupakan basis dan pusat literatur khazanah Islam klasik, namun sejak awal—melalui tokoh-tokohnya di NU—justru menerima, mendukung, bahkan berada di garda terdepan dalam menjaga dan mempertahankan NKRI sebagai negara-bangsa dan Pancasila sebagai asas negara, serta menolak bentuk negara-agama (khilafah). Pilihan (baca: ijtihad) politik kalangan pesantren yang menolak bentuk negara-agama dan menerima bentuk negara-bangsa ini, mereka anggap menghianati literatur sendiri. Karena teks-teks literatur khazanah pesantren tidak sesuai dengan ide dan agenda politik yang diperjuangkan dan diamalkan oleh kelompok mereka.

Bagi mereka, ini merupakan sebuah ironi. Kalangan pesantren yang notabe sebagai pewaris literatur khazanah Islam klasik, justru tidak mengamalkan isinya—sedangkan mereka yang tidak memiliki basic pesantren justru berjuang mati-matian untuk mengamalkan isi kitab kuning. Dan lantaran itulah, menurut anggapan mereka, kalangan (NU) tidak memiliki landasan dalil normatif, bahkan landasan historis—dalam memilih, menerima, membela, untuk tetap mempertahankan NKRI dan Pancasila.

Idiologi politik kelompok fundamentalis Islam di atas, di era reformasi ini, mereka memperjuangkan secara masif dan militan—baik melalui opini, pemikiran, pendidikan, gerakan, bahkan melalui parlemen dan infiltrasi-infiltrasi kesejumlah organisasi kemasyarakatan dan lain-lain. Propaganda yang paling intens mereka kampanyekan adalah melalui sentimen agama, dengan menggunakan simbol-simbol Islami (baca: Arab) dan jargon-jargon religius. Sehingga sangat mempesona bagi tidak sedikit umat Islam—lebih-lebih masyarakat awam. Sampai-sampai banyak yang terpedaya dan terpengaruhi dengan ide dan agenda-agenda politik mereka.

Bagi bangsa Indonesia, ideologi kelompok fundamentalis Islam tentu saja sangat berbahaya. Karena ide-ide dan agenda-agenda politik mereka bukan hanya akan merusak dan menghianati perjanjian luhur (mu’ahadah) bangsa ini, melainkan sangat potensial akan membawa Indonesia ke dalam kondisi chaos dan konflik horizontal sebagaimana yang terjadi di negara-negara Timur Tengah belakangan. Dalam konteks seperti inilah, penting bagi pemerintah mewaspadai dan membendung gerakan mereka, serta tidak melakukan pembiaran. Sebab setiap usaha mengkonversi suatu bentuk negara, memiliki dhoror (resiko) yang sangat besar dan cost politik yang mahal.

Bagi kalangan pesantren, anggapan atau plot “menghianati khazanah sendiri” dan pilihan (ijtihad) politik yang tidak memiliki dalil normatif seperti tuduhan di atas, sangat mendesak untuk direspon dan diberikan jawaban sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual para santri. Karena sebagai ‘manusia’ pesantren, santri memiliki amanah untuk menjaga dan merealisasikan warisan literatur khazanah Islam klasik tersebut.

Memang harus diakui, bahwa teks-teks dalam literatur khazanah klasik, khususnya bab siyasah, yang mayoritas dikarang oleh ulama Timur Tengah pada abad pertengahan, di mana realitas sosial-politik umat Islam ketika itu menghegemoni dunia. Kajiannya cenderung mewacanakan negara-agama (khilafah)—dan menerapkan atau memformalisasikan hukum-hukum siyasah (hudud). Namun dalam konteks Indonesia, ketika ulama pesantren melakukan ijtihad politik yang direlevansikan dengan realitas sosial dan geo-politik Nusantara di abad modern ini, dan menghasilkan keputusan politik yang tidak sesuai dengan teks-teks kitab kuning, maka apakah kalangan pesantren lantas bisa diplot menghianati literatur khazanah sendiri? Di sinilah jawaban dari tanda tanya yang menjadi persoalan tidak sederhana. Karena dalam memahami literatur khazanah turats, tidak cukup hanya dengan pembacaan secara tekstual melalui pendekatan metodelogis (manhaji). Sehingga bisa dipahami pula kronologi dan latar belakang (‘illah) sebuah hukum fikih dirumuskan.

Tuduhan bahwa keputusan (ijtihad) politik kalangan pesantren yang tidak memiliki landasan normatif, kendatipun tidak benar—namun bisa dimengerti dan dimaklumi. Sebab harus diakui juga bahwa, sampai sejauh ini memang belum banyak tersedia kajian-kajian siyasah Islam yang progresif dan kotekstual. Sehingga literatur siyasah yang dikaji di pesantren-pesantren pun, hingga saat ini juga masih merujuk pada rumusan-rumusan dan konsep-konsep siyasah Islam konvensial itu; seperti karya Syihabuddin Ahmad bin Abni al-Rabi yang dikenal sebagai Ibn Rabi’ (wafat 855 M. / 272 H.), Abu Nashir al-Faraby (870-950 M. / 364-450 H.), Abu Hasan Ali bin al-Mawardi (976-1059 M. / 450-564 H.), dan ulama-ulama fikih abad pertengahan lainnya. Di lingkungan pesantren, nyaris belum ditemukan rujukan-rujukan referensial yang diakui (mu’tabar) yang bisa dijadikan sebagai rujukan, landasan, atau hujah normatif yang benar-benar holistik bagi ijtihad politik ulama Nusantara.

Untuk menjawab kelompok fundamentalis Islam yang menuduh kelangan pesantren sebagai “pengianat khazanah sendiri”, dan untuk mengisi kekosongan referensial (dalil-dalil normatif), justru posisi santri sangat berperan untuk terus menjaga keutuhan NKRI dengan menjadikan ulama-ulama Nusantara sebagai rujukan dan pedoman (i’tibar). Sebab, beliau-beliau mampu menjawab tuduhan-tuduhan tersebut sekaligus memberikan argumentasi dan hujah-hujah fiqhiyah terhadap ijtihad politk ulama pesantren yang menerima NKRI sebagai negara-bangsa dan Pancasila sebagai asasnya. Lebih dari itu, ulama Nusantara juga memberi arahan secara metodelogis tentang wacana formalisasi hukum-hukum Islam, isu-isu politik global-modern, kajian kebangsaan ke-Nusantaraan, dan lain sebagainya, untuk membumikan fikih siyasah Islam dalam pangkuan Ibu Pertiwi, Nusantara.

Metodelogi ulama Nusantara pastinya menggunakan pendekatan maqoshid syariah (nilai-nilai universal agama). Pendekatan ini dipilih setidaknya karena tiga alasan:

Pertama, maqoshid syariah merupakan filosofi kemaslahatan yang menjadi cita-cita esensial dari persyariatan seluruh hukum agama. Karena itu, setiap produk hukum, perlu dicek melalui maqoshid syariah untuk menjamin produk hukum tersebut apakah sejalan dengan filosofi kemaslahatan yang dicita-citakan syariat.

Kedua, ia lebih bersifat metodelogis (manhaji), karena diproyeksikan untuk membangun argumen normatif dan filosofis bagi ijtihad politik Islam dalam konteks Nusantara. Kajian yang bersifat manhaji, praktis akan menjadikan maqoshid syariah sebagai basis atau landasan epistemologinya.

Ketiga, teori-teori, isu-isu atau produk-produk pemikiran dunia modern seperti demokrasi, sekuler, pluralisme, HAM, dan lain sebagainya, hampir belum pernah disinggung dalam literatur khazanah Islam klasik. Sehingga untuk memberikan respon ilmiah, harus diuji melalui maqoshid syariah.

Pasca Rasulullah saw wafat, teks-teks agama (al-Qur’an dan hadits) secara praktis juga berhenti, dan mencapai titik sempurna sebagai pedoman hidup manusia. Hal ini telah ditandaskan sendiri di dalam al-Qur’an yang turun ketika Nabi melaksanakan ritual haji wada’ atau haji perpisahan di akhir hayatnya.

آليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا ( الما ئدة: 3
“Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah aku ridhai Islam menjadi agama bagimu”. (QS. al-Maidah:3)

Akan tetapi, kesempurnaan teks-teks agama ini, tentu harus dipahami sebagai kesempurnaan yang besifat potensial, bukan faktual. Artinya, al-Qur’an dan hadits akan senantiasa relevan disetiap ruang dan waktu (shalih likulli zaman wa makan) menjadi dasar kehidupan. Namun dalam pengertian sebagai sumber inspirasi dalam merumuskan setiap hukum, bukan dalam pengertian sebuah produk hukum kehidupan yang telah ada di dalam al-Qur’an dan hadits. Karena itulah dibutuhkan kerja intelektual (ijtihad) dari santri untuk menggali butir-butir inspirasi yang terpendam di dalamnya. Kerja ijtihad mutlak diperlukan untuk membumikan “pesan-pesan langit” ke dalam ranah profanitas kehidupan manusia. Al-Qur’an dan hadits akan senantiasa “diam” apabila tidak dilakukannya upaya-upaya interpretasi. Tanpa usaha keras mengali butir-buti inspirasi ini, problem-problem kehidupan yang berkembang secara cepat dan dinamis tidak akan pernah bisa diketahui hukumnya. Ibn Rusdy dalam pembukaan kitabnya, Bidayah al-Mujtahid menguraikan:

أنّ الوقائع بين أشخاص الأنامى غير متناهية، والنصوص والأفعال والإقوارات متناهية ومحال أن يقابل ما لا يتناهى

“Persoalan-persoalan kehidupan terus berkembang secara tak terbatas, sementara teks-teks agama sangat terbatas. (tanpa kerja ijtihad yang terus-menerus), tidak mungkin sesuatu yang tak terbatas bisa dijawab dengan sesuatu yang terbatas”.

Dalam kerja ijtihad, al-Qur’an dan hadist harus dibaca secara kontekstual, agar bisa menangkap prinsip-prinsip dan nilai-nilai universal yang dicita-citakan syariat (maqoshid syariah). Prinsip nilai-nilai universal yang dicita-citakan syariat lewat al-Qur’an dan hadits adalah menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan semesta. Sebagaimana misi dari diutusnya Nabi Muahammad Saw. Allah Swt. berfirman:

وما أرسلناك إلاّ رحمة للعالمين (الأنبياء: 107

“Dan tidakkah kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’: 107)
Seluruh produk hukum yang digali melalui proses ijtihad, harus mengusung muatan kemaslahatan yang selaras dengan nilai-nilai universal syariat. Rumusan-rumusan hukum yang tidak sejalan dengan muatan kemaslahatan, maka harus dibatalkan. Karena sudah tidak sejalan dengan cita-cita syariat (maqoshid syariah).

Dalam mengartikulasikan kemaslahatan yang menjadi maqoshid syariah ini, statemen al-Ghozali agaknya yang paling representatif. Dalam al-Mustashfa, beliau mengatakan:

أماالمصلحة فهي عبارة فى الأصل عن جلب منفعة أو دفع مضرّة ولسنا نعنى به ذلك فإنّ جلب المنفعة ودفع المضرّة مقاصد الخلق وصلاح الخلق في تحصيل مقاصدهم لكنّا نعنى بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة
وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم فكل ما يتضمّن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة وكلما يفوّت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة

“Maslahat adalah sebuah istilah untuk meraih kemanfaatan dan menghindari resiko kerusakan. Namun bukan ini yang kita maksudkan (dengan maslahat), karena meraih kemanfaatan dan menghindari keburukan merupakan tujuan dan kepentingan mahluk.

Yang kita maksudkan dengan maslahat ialah, menjaga tujuan-tujuan syariat. Tujuan syariat demi kepentingan mahluk ada lima, yaitu menjaga agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap tindakan yang memiliki muatan penjagaan terhadap lima prinsip dasar ini, maka itulah maslahat. Dan setiap tindakan yang dapat merusak lima prinsip dasar ini, maka itulah mafsadah. Sedangkan mencegahnya, berarti maslahat (pula)”.

Dari sini, kemaslahatan yang bersifat duniawi (mu’amalah ath-thab’i wal iqob) disepakati dan bisa diketahui melalui penilaian akal menurut wacana ulama ushul fikih dan teolog. Namun kemaslahatan yang bersifat ukrowi, terjadi perselisihan antara kelompok Asya’iroh dan Mu’tazilah. Bahkan menurut asy-Syaukani, relevansi perselisihan tersebut hanya dalam periode pra Nubuwwah (qabl al-bi’tsha). Sedangkan untuk kemaslahatan yang besifat duniawi, baik pra atau pasca kenabian, kedua kelompok sepakat. Akal manusia memiliki kemampuan dalam menilai baik dan buruk (kemaslahatan). Hal ini sesuai hadits Nabi Saw;

فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيّئا فهو عند الله سيّئ

“Sesuatu yang dinilai baik oleh muslim, maka baik pula menurut Allah. Dan (sebaliknya), sesuatu yang dinilai buruk oleh muslim, maka buruk pula menurut Allah”.

Dalam menjelaskan makna maslahat, banyak redaksi ulama yang berbeda-beda. Namun secara esensial, para ulama sepakat—maslahat harus selaras dengan maqashid syariah (nilai-nilai universal agama). Artinya, maslahat yang diakui (mu’tabar) sebagai pertimbangan dalam penetepan hukum adalah maslahat yang diartikan dari syariat. Sampai di sini, ulama sepakat. Sedangkan jika maslahat yang disarikan dari maqoshid syariah tersebut bertentangan dengan nash syariat, maka ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama, maslahat demikian dianggap mulghoh (tidak berlaku). Karena menurut al-Ghozali, kemaslahatan pada dasarnya merupakan domain syariat, bukan domain akal. Al-Ghozali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan;

لا نبتدع المصالح بل نتّبع فيها

“Kita (tidak memiliki otoritas untuk) mengkreasikan maslahat, tapi (hanya dituntut) mengikutinya”.

Sedangkan menurut at-Thufi, lebih dimenangkan hukum yang disarikan dari maslahat. Sebab, menurut at-Thufi, menjaga maslahat merupakan hukum yang disepakati (muttafaq), sementara nash masih berpotensi diperselisihkan (mukhtalaf). Karena sesuatu yang telah disepakati harus didahulukan daripada sesuatu yang masih diperdebatkan.

Teori maslahat versi at-Thufi dikembangkan dari pemahaman mendalam terhadap hadits:

لا ضَرَرَ ولا ضِرَارَ (رواه مالك وإبن ماجة

“Tidak boleh berbuat yang membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh berbuat yang membahayakan (orang lain)”. (HR. Malik dan Ibnu Majah)

Kata ضَرَرَ dan ضِرَارَ dalam hadits tersebut, menurut at-Thufi diartikan sebagai mafsadah yang merupakan antonim dari maslahat. Artinya, apabila syariat melarang berbuat mafsadah, berarti sama dengan syariat memerintahkan berbuat maslahat. Dengan beitu, mendahulukan maslahat daripada nash ketika terjadi kontradiksi dalam teori at-Thufi, tidak berarti menghadapkan maslahat dengan nash. Melainkan menghadapkan satu nash dengan nash lain. Sebab maslahat juga disarikan dari nash. Dalam ushul fikih, ketika satu nash dengan nash yang lain saling berhadapan (ta’adul) atau kontradiksi (ta’arud), maka bisa disikapi dengan beberapa metode seperti; Metode bayan, takhsis, tarjih, jam’u, nasekh, dll.

Dengan demikian, rumusan-rumusan siyasah Islam konversional yang telah kehilangan relevansi bagi kemaslahatan masyarakat kontemporer, harus diijtihadi ulang untuk menjamin relenvensinya. Hanya saja, dalam ijtihad ini harus senantiasa berada dalam koridor maslahat yang menjadi cita-cita besar syariat atau maqoshid syariah.

Maqoshid syariah adalah nilai-nilai universal yang menjadi proyek atau tujuan dan legislasi (pensyariatan) seluruh hukum agama. Nilai-nilai universal ini terangkum dalam lima atau enam prinsip dasar yaitu; hifzh ad-din (perlindungan agama), hifzd an-nafs (perlindungan jiwa), hifzd al-‘aql (perlindungan intelektual), hifzd an-nasl (pelindungan genetik), dan hifzd al-mal (perlindungan properti). Ulama kontemporer (muta’akhirin) menambahkan satu prinsip lagi yakni hifzd al-irdh (perlindungan harga diri).

Nilai-nilai universal syariat ini sangat esensial dan fundamental dalam setiap produk-produk hukum, sebab syariat tidak diturunkan kecuali semata-mata untuk menjamin kemaslahatan bagi manusia, bukan bagi Tuhan.

ومن المتّفق عليه بين جمهور العلماء المسلمين أنّ الله سبحانه ما شرع حكما إلاّ لمصلحة عباده وأنّ هذه المصلحة إمّا جلب نفع لهم وإمّا دفع ضررعنهم فالباعث على تشريع أيّ حكم شرعيّ هو جلب منفعة للناس أو دفع ضررعنهم وهذا الباعث على تشريع الحكم هو الغاية المقصودة من تشريعه وهو حكمة الحكم.

“Diantara yang menjadi konsensus mayoritas ulama adalah bahwa Allah swt tidak menurunkan syariat kecuali untuk kemaslahatan hamba-Nya. Kemaslahatan ini ada yang berupa menarik kemanfaatan dan ada yang berupa mencegah kerusakan bagi manusia. Maka motif persyariatan setiap hukum adalah menciptakan kemanfaatan dan menolak kerusakan bagi manusia. Motif ini merupakan tujuan puncak dari persyaratan hukum dan itulah filosofi (hikmah) sebuah hukum”.

Sampai di sini kiranya ditegaskan bahwa, penerimaan dan dukungan kaum pesantren terhadap NKRI, Pancasila, UUD ’45, Bhineka Tungal Ika, dan seluruh sistem yang ada di dalamnya—bukan merupakan penghianatan terhadap literatur khzanah turats. Melainkan kreativitas ijtihad ulama Nusantara, dengan mempertimbangkan realitas bangsa Indonesia dan kompleksitas, totalitas, serta universalitas dalil-dalil agama. Maka kita sebagai santri harus berperan dalam menjaga keutuhan NKRI dengan meneruskan perjuangan beliau-beliau (berijtihad politik) untuk membumikan ajaran-ajaran Islam (fiqh as-siyasah) di pangkuan Ibu Pertiwi demi membangun Indonesia menjadi baldatun ath-thayyibah wa rabbun ghofur. Wallahu a’lam[]

Penulis: Miftahul Jannah
Ttl        : Bekasi, 10 Nopember 1999

1

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.