Fanatik Kebangsaan, Basis Militansi Santri Membela Negeri

Telah mainstream di negeri ini bahwa sikap “fanatik” teridentifikasi sebagai tindakan yang tidak baik. Padahal sebagian besar warga Indonesia memiliki kecenderungan terhadap jargon “NKRI Harga Mati” atau “Ideologi Pancasila sudah Final”. Meskipun pada hakikat yang sebenarnya, hal sedemikian ini juga menunjukkan sebuah kefanatikan. Buya Hamka dalam salah satu bukunya menyebutkan:

“Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda adalah karena fanatik. Tengku Cik Ditiro melawan Belanda adalah karena fanatik, Pangeran Diponegoro melawan Belanda adalah karena fanatik. Semuanya adalah karena fanatik. Yang habis mati bertimbun mayat, menegakkan kemerdekaan adalah orang-orang fanatik. Kalau tak ada lagi orang-orang fanatik di negeri ini, maka segala sampah, segala kurap akan masuk kemari, tidak dapat ditahan-tahan”.

Pernyataan demikian hendak menegaskan bahwa Indonesia dapat merdeka dan berdaulat tidak lain lantaran perjuangan mati-matian para pejuangnya. Jika tanpa perjuangan fanatik para pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan, mungkin negeri ini telah jatuh kembali pada genggaman penjajah. Sebab secara logistik, kekuatan penjajah berlipat-lipat lebih kuat daripada kekuatan para pejuang. Para pahlawan bangsa ini yakin seyakin-yakinnya bahwa bumi pertiwi harus merdeka, kemanusiaan harus dibela, penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.

Walhasil, sejarah telah mencatat perihal kunci keberhasilan para pejuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah keyakinan yang teramat kuat, serta tekad yang bulat bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik jika merdeka. Kemanusiaan pribumi akan lebih terjaga jika penjajah terusir dari negeri ini.

Di masa penjajahan yang begitu panjang, santri muncul sebagai sosok yang memiliki andil besar bagi keberhasilan Nusantara dalam menjaga budayanya. Walaupun telah ratusan tahun dijajah, dijarah oleh Belanda—budaya Nusantara tetap berhasil dipertahankan dan mayoritas penduduknya masih Islam. Berkat sikap kalangan pesantren yang non koperatif total terhadap semua budaya Belanda—jati diri dan tradisi Nusantara tetap terjaga. Baik dalam sistem pengetahuan, kepercayaan, hukum, dan politik juga tetap lestari.

Militansi Santri

Militansi santri dalam membela Indonesia, dapat diselidiki dari keberhasilannya membangun tradisi perlawanan terhadap berbagai pihak yang berniat menghancurkan Indonesia. Santri selalu hadir dalam berbagai perlawanan melawan penjajah. Perlawanan-perlawanan sporadis terhadap penjajahan tak pernah berhenti, yang berlangsung sepanjang 3 abad. Di tanah Jawa, jejak perlawanan besar terjadi pada tahun 1825-1830. Kolonial Belanda menyebutnya sebagai perang Jawa. Saat itu jejak perlawanan umat Islam terhadap hegemoni kolonial dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (seorang bangsawan Mataram yang berlatar belakang santri).

Dalam sejarah perlawanan bersenjata terhadap kolonial Belanda di Indonesia, hampir tidak ada perlawanan yang tidak melibatkan pemimpin tarekat (tokoh pesantren). Dalam Koloniaal Archive yang mencatat kasus-kasus pemberontakan yang berlangsung antara tahun 1800-1900, terjadi tidak kurang dari 112 kali pemberontakan yang dipimpin tokoh pesantren tarekat.

Dalam membuktikan loyalitas untuk negeri, konsolidasi nasionalisme kaum santri menjadi tren utama pendidikan pesantren saat itu. Bahkan, sejumlah ulama menjadikan Mekkah sebagai kota transit pemantapan ideologi nasionalisme keIslaman santri. Di tanah suci, selain menuntut ilmu—jamaah haji asal Indonesia juga melakukan konsolidasi pengembangan jaringan perlawanan terhadap kolonialisme. Dengan harapan, jika tiba di tanah air, mereka dapat memimpin umat untuk secara perlahan dan pasti mengumandangkan anti kolonialisme.

Catatan sejarah ini seakan menjadi latar belakang dari apa yang pernah disampaikan oleh salah satu ulama Nusantara generasi saat ini, Maulana Habib Muhammad Lutfi bin Yahya: “Fanatik kebangsaan itu melebihi nuklir. Nuklir itu bisa meledakan mana saja, tapi tidak akan bisa melenturkan keIndonesiaan”.
Pernyataan ini, menarik untuk direnungkan secara adil oleh setiap bangsa Indonesia. Sebab, bukanlah hal yang bijak jika sikap “fanatik” mutlak dianggap sebagai hal yang salah. Untuk membuka cakrawala berfikir, Ibnu Khaldun menawarkan buah pemikiran seperti berikut: “Negara dan pemerintahan tidak akan mewujud tegak tanpa pertolongan jamaah dan sikap fanatik para pembelanya. Sikap fanatik adalah faktor kunci tercapainya dominasi sebuah negara dalam menaklukkan berbagai ancaman musuh. Sebab, lantaran fanatiklah seseorang akan rela mengorbankan nyawa sekalipun”.

Ashabiyyah yang Dilarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.