Tak bisa dipungkiri, sejak zaman penjajahan hingga kini, pondok pesantren banyak memberikan sumbangsih bagi kemerdekaan Indonesia. Wajar bila pesantren disebut sebagai benteng pertahanan terakhir kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bagaimana tidak, jauh sebelum kemerdekaan, gemuruh semangat kemerdekaan telah dikobarkan di kalangan pesantren. Dari sekian banyak, salah satu pesantren yang memiliki sumbangsih terbesar bagi bangsa yakni Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Ponpes Lirboyo berdiri jauh sebelum era kemerdekaan, tahun 1910 M silam.
Dalam perjalanan sejarahnya, Ponpes Lirboyo juga turut membantu pergerakan melawan penjajah kolonial Jepang dan Belanda. Peran Ponpes Lirboyo dalam dunia pendidikan dan pergerakan perjuangan kemerdekaan menjadikan pesantren ini layak ditorehkan dalam catatan sejarah dengan tinta emas.
Sejak zaman prakemerdekaan, KH. Mahrus Aly termasuk salah seorang di antara sekian banyak pejuang yang tak pernah absen mengabdikan diri pada Republik tercinta ini. Ketika Jepang berkuasa, KH. Mahrus Aly pernah menjadi anggota Kamikaze (tentara berani mati). Hal ini dilakukan untuk menimba ilmu dari penjajah, yang nanti bisa digunakan sebagai bekal perjuangan melawan penjajah yang tak lain adalah Jepang sendiri.
Saat Jepang mengadakan latihan militer di Cibarusa, Resident Kediri R. Abdul Rachim Pratalikrama pada saat yang bersamaan memohon kesediaan KH. Mahrus Aly untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri.
Namun berhubung beliau berhalangan, maka diutuslah beberapa santri, diantaranya adalah Thohir Wijaya asal Blitar, Agus Masrur asal Lasem, Mahfud asal Jogjakarta, dan Ridlwan Anwar asal Kediri. Segala hal tentang teknik perang yang mereka dapatkan dalam pelatihan itu segera disampaikan pada segenap santri Lirboyo.
Di tahun 1943-1944 M itulah, latihan kemiliteran segera diadakan di Pondok Pesantren Lirboyo. Semua itu merupakan satu usaha mengambil manfaat dalam rangka kerja sama dengan Pemerintah Jepang, namun di balik semua itu terdapat tujuan lain yakni mempersiapkan Indonesia menjadi negara yang merdeka. Pada saat yang bersamaan, di daerah Kediri sudah terbentuk barisan Hizbullah, dengan KH. Zainal Arifin sebagai pelopor di tingkat pusatnya.
Jumat, 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dalam kancah Perang Dunia II, Jepang tengah terjepit. Di pagi yang cerah itu, saat para santri Lirboyo tengah menikmati libur hari Jumat, seorang komandan Sudanco di Kediri, Mayor Mahfudl Abd. Rahim Pratalikama, tergopoh-gopoh menghadap KH. Mahrus Aly di Lirboyo.
Sang Mayor menyampaikan berita kemerdekaan Indonesia itu kepada KH. Mahrus Aly, Keduanya kemudian sepakat melucuti tentara Dai Nippon di Kediri. Seluruh santri Lirboyo waktu itu dikumpulkan di serambi Masjid Lawang Songo.
Disampaikan bahwa hari Jumat itu Indonesia sudah merdeka. Pekik merdeka dan takbir kemudian mewarnai pertemuan yang diikuti oleh Mayor Mahfudl itu. Dalam kesempatan itu pula, KH. Mahrus Aly menyusun strategi, menerapkan ilmu yang didapat dari pendidikan Kamikaze. Beliau mengajak para santri melucuti tentara Jepang yang bermarkas di Jalan Brawijaya, Kota Kediri. Dengan penuh semangat, para santri menyambut ajakan itu.
Di bawah komando KH. Mahrus Aly dan Mayor Mahfudl, tepat pukul 22.00 wib, sebanyak 440 santri Lirboyo bergerak menuju markas Kempetei yang dijaga ketat. Untuk mempelajari posisi lawan, Syafi’i Sulaiman yang itu masih kecil disusupkan ke sarang lawan. Setelah berhasil membaca posisi dan keadaan, dia segera kembali melaporkan hasilnya pada KH. Mahrus Aly dan Mayor Mahfudl.
Tepat pada pukul 01.00 dini hari, dengan berbekal senjata seadanya, para santri yang sudah siap mati syahid itu mengadakan serangan besar-besaran. Ternyata Jepang yang memiliki senjata lebih lengkap dan modern menyerah tanpa syarat sebelum berjibaku dengan para santri.
Segenap senjata yang dimiliki Jepang diserahkan pada para santri yang kemudian dibawa ke pondok. Atas kebijaksanaan KH. Mahrus Aly, senjata rampasan yang jumlahnya mencapai satu truk itu diserahkan pada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang hingga kini masih tersimpan di Markas Kodam V Brawijaya Kediri.
Peran KH. Mahrus Aly dan santri Lirboyo dalam Resolusi Jihad
Sejak usia dini, KH. Mahrus Aly dikenal pemberani. Tidak mengherankan jika pada pertempuran 10 November di Surabaya beliau juga membantu arek-arek Surabaya mengusir tentara Sekutu yang ternyata diboncengi Belanda karena masih ingin menjajah Nusantara.
Waktu itu, Mayor Mahfudl menghadap KH. Mahrus Aly di Lirboyo. Kepada beliau dikabarkan bahwa, Sekutu yang diboncengi Belanda hendak mendarat di Surabaya, untuk kembali menjajah Indonesia yang sudah merdeka.
Di seputar Tanjung Perak terjadi pertempuran sengit antara arek-arek Surabaya melawan tentara Sekutu. Mendengar berita itu, spontan KH. Mahrus Aly berkata;
“Kemerdekaan ini harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan”.
Beliau tegaskan pula bahwa santri Lirboyo siap membantu arek-arek Surabaya yang mati-matian melawan Sekutu. Jauh sebelumnya, KH. Mahrus Aly sudah mempersiapkan diri. Bersama para ulama yang terhimpun dalam Jam’iyyah NU mengeluarkan Resolusi Jihad, yaitu pada kongres di Surabaya tanggal 21-25 Oktober 1945.
Awalnya sejumlah 97 santri diberangkatkan ke Surabaya dengan bersenjatakan bambu runcing dan senjata-senjata tradisional. Mereka siap mati di medan laga di bawah komando langsung KH. Mahrus Aly. Mereka tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah.
Pasukan pertama ini berhasil gemilang dengan merampas 9 pucuk senjata lawan. Dengan modal senjata rampasan inilah rencana menjadi berkembang. Tiap satu peleton santri ditarik, satu peleton lagi dikirimkan. Hal ini berlanjut hingga pecah perang 10 November yang berakhir dengan terbunuhnya Jenderal Inggris, A.W.S. Mallaby.
Keikutsertaan KH. Mahrus Aly mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia kala itu tidak sebatas pada pengiriman santri ke medan laga. Lebih dari itu, KH. Mahrus Aly bersama para santri setiap malam mengadakan gerakan batin agar pasukan yang tengah bertempur diberi keteguhan iman. Kalau pun mesti gugur, diterima sebagai syahid.
Kegiatan gerakan batin itu dipusatkan di dua tempat, yaitu di Pondok Lirboyo dan di Manukan, Jabon, Kediri. Yang di Lirboyo dipimpin KH. Abdul Karim dan KH. Marzuqi Dahlan. Sedang, di Manukan, dipimpin oleh KH. Mahrus Aly dan Kiai Sa’id. Jamaahnya adalah para santri yang akan dikirim ke Surabaya, laskar Hizbullah, dan Sabilillah.
Saat revolusi fisik itu, KH. Mahrus Aly juga mengumpulkan dana dari masyarakat untuk bekal perjuangan laskar Hizbullah dan Sabilillah.
Masyarakat Kediri dengan ikhlas menyerahkan 10% hartanya untuk bekal perjuangan suci itu. Tanpa ada tekanan, mereka menyerahkan sebagian hartanya ke kediaman KH. Mahrus Aly di Lirboyo.
Setelah Surabaya dinyatakan aman dan kontak fisik yang banyak memakan korban itu berakhir, KH. Mahrus Aly beserta para santri kembali ke pesantren. Mereka yang sebelumnya gagah memanggul senjata kembali berurusan dengan kitab kuning dan mangsi (tinta) bak.
Namun perjuangan mempertahankan kemerdekaan bukan berarti berhenti, KH. Mahrus Aly beserta para santri tetap terpanggil ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II tanggal 12 Desember 1948. Beliau kembali mengerahkan para santri ke medan perjuangan.
Ada empat santri senior yang dikirimkan ke medan pertempuran. Mereka adalah Syafi’i Sulaiman, Muhid Ilyas, Muhammad Masykur, dan Mahfudl AK. Keempat delegasi Lirboyo itu kemudian bergabung dengan Batalyon 508 di bawah komando Mayor Mahfudl.
Mereka banyak menggunakan taktik gerilya dan sporadis (berkali-kali menyerang, tapi tidak dalam satu pasukan). Perjuangan itu terus berlangsung hingga penyerahan kedaulatan Republik Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Deen Hag pada tanggal 27 Desember 1949.
Batalyon 508 yang lebih dikenal dengan Batalyon Gelatik itu adalah embrio dari Kodam VII Brawijaya (kini Kodam V) yang resmi didirikan pada tanggal 17 Desember 1948 dalam sebuah upacara di Lapangan Kuwak (Stadion Brawijaya) Kediri.
Bertindak sebagai komandan waktu itu adalah Kolonel Sungkono. Sementara KH. Mahrus Aly mendapat kehormatan sebagai penasehat. Itulah sebabnya KH. Mahrus Aly tetap diakui sebagai sesepuh Kodam V Brawijaya sampai akhir hayat. Dan hampir semua yang menjabat sebagai Panglima di Kodam V Brawijaya menaruh hormat kepada beliau.
Perjuangan fisik melawan penjajah tak pernah dilupakan oleh KH. Mahrus Aly meski ketika beliau sudah memasuki usia senja. Semangat juang itu tetap dimiliki hingga beliau dipanggil menghadap Yang Maha Esa.
Ketika berpidato di hadapan purnawirawan ABRI dalam acara haul ke- 35 wafatnya Panglima Besar Jenderal Sudirman dan reuni Yon Gelatik/ 508 di Tulungagung, beliau mengisahkan masa lalu saat perjuangan mengusir penjajah.
Suara khas beliau yang menggebu-gebu membuat antusias para pengunjung. Suasana hati mereka seakan terbawa ke alam perjuangan tempo dulu. Bahkan, tak jarang di antara mereka yang kebanyakan anggota ABRI itu menitikkan air mata ketika beliau mengakhiri dengan doa.
Sedemikian jauh keterlibatan KH. Mahrus Aly dalam merintis dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tidaklah berlebihan, ketika beliau berpulang ke rahmatullah, satu Batalyon Brigif 521 dan beberapa petugas kepolisian ikut mengamankan jalannya prosesi pemakaman sebagai bentuk penghormatan yang terakhir.
Jejak KH. Mahrus Aly usai Kemerdekaan
KH. Mahrus Aly juga mempunyai andil besar dalam perkembangan jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Bahkan beliau diangkat menjadi Rais Syuriyah NU Jawa Timur selama hampir 27 tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mutasyar PBNU hinga pada tahun 1985.
KH. Mahrus Aly wafat setelah sebelumnya sang istri tercinta Nyai Hj Zaenab binti Abdul Karim pada Senin 4 Maret 1985 M, berpulang ke rahmatullah karena sakit tumor kandungan yang telah lama diderita.
Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus-menerus larut dalam kedukaan. Banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau. Namun dengan sopan beliau menolaknya.
Hingga puncaknya pada Sabtu sore tanggal 18 Mei 1985 M, kesehatan beliau benar-benar terganggu. Bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bayangkara Kediri, beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo, Surabaya.
Delapan hari setelah dirawat di Surabaya, tepatnya pada hari Ahad malam Senin tanggal 06 Ramadhan 1405 H/ 26 Mei 1985 M, KH. Mahrus Aly berpulang ke rahmatullah. Beliau wafat di usia 78 tahun.
Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Bebeberapa waktu lalu Yayasan Institut Agama Islam Tribakti (IAI) Tribakti yang dipimpin KH. Atho’ilah Anwar Mansyur bersama tim menemui Wali Kota Kediri, Gus Ab (Abdullah Abu Bakar Abdul Jalil) untuk mengusulkan agar KH. Mahrus Aly Lirboyo diangkat menjadi pahlawan nasional, karena peran perjuangan yang telah dilakukannya di perang kemerdekaan.
Jangan lupa untuk dukung youtube dan media sosial Pondok Lirboyo, agar semakin berkembang dan maju. Baca juga khutbah jumat lainnya di lirboyo.net.
Hadir