Berfikir (dulu) Lagi

    Tiba-tiba matahari langsung tenggelam, tak sabar lagi akan datangnya hari Senin. Tak mau ngantri sama hari Ahad dan Sabtu, Senin datang mencolot—Tiga hari ini secepat kilat. Si pemuda wajahnya sumringah, bukan parang, bukan golok, kali ini dia membawa rambutan sebagai oleh-oleh. “Benerkan, sekarang udah lega kamu.” Ia sudah mending daripada kemarin. Aku dan anak istri sekarang bisa tidur bareng tanpa bau ayam broiler. “Udah mirip sama yang di Cikeas kan rumah kamu?” Bukan Cikeas, tapi di Jalan Cendana. “Besok kamu kesini lagi, lima hari. Setelah kamu kembaliin si angsa.” Si pemuda melongo, Haruskah kukembalikan si Desi? Aku udah mulai akrab sama dia.

    Setelah berpisah dengan Desi si Angsa, rumah pemuda itu terasa makin luas sekarang. Mirip yang di Washington DC. Gubuk putih, bukan gedung putih. Dengan wajah berbinar pemuda itu kembali lagi. Ia mengucap beribu terimakasih kepada Abu Nawas. Atas jasanya yang tak terhingga dalam mengubah rumahnya menjadi semakin nyaman. “Gak perlu berlebihan, mas, saya cuma melakukan tugas saya. Kita kan juga harus saling membantu tanpa pamrih. Tapi, ehmm, rambutan yang kemarin enak juga.”

    Sebelum pamit, Abu Nawas tak lupa berpesan kepada pemuda tadi, “Besok seminggu lagi main ke sini yah? Saya pingin tahu perkembangan istana sampeyan. Jangan lupa kambingnya di kembaliin dulu. Takutnya keburu beranak.”

    Dan rumah tiga kali empat itu sejatinya tak berubah. Tak bergeser satu senti meterpun. Tak berubah cat, apalagi masuk acara bedah rumah. Tapi rasanya menghuni rumah sesederhana itu bagaikan menghuni yang di Ctespion itu. Iwan Kisra, istana putihnya raja Yazdigrid III. Yang ada hanya tawa setelah si kambing pulang ke rumah majikannya.

    Pada hari terakhir si pemuda bertandang ke kediaman Abu Nawas, dia membawakan satu tandan pisang penuh sebagai oleh-oleh. Andaikan aku yang menggubah lagu pahlawan tanpa tanda jasa, pasti lagu itu aku persembahkan unukmu Abu Nawas, begitu kesan si pemuda.

    Abu Nawas menunjukkan kepiawaiannya merendah, “Ah, aku bukan siapa-siapa, mas…. Aku juga tidak ngapa-ngapain ‘kan?” Dia menambahkan, “Sebenarnya apa yang kita dapat sekarang, apa yang kita alami sekarang, apapun bentuknya, bagaimanapun rasanya, adalah yang terbaik yang dianugerahkan-Nya kepada kita, mas… Rumah mas yang kecil kalau pandai-pandai sampeyan syukuri sudah merupakan pemberian besar. Kadang kita hanya kurang melihat ke bawah saja. Apa yang kita dapatkan, tentunya apa yang pantas kita terima. Banyak orang pengen jadi tentara mas, teman-teman saya yang tukang sayur dulu ada ingin jadi tentara. Begitu mereka udah jadi tentara, mereka bilang tentara itu pekerjaan paling menjengkelkan, yang tak pernah pulang lah, bertaruh nyawa lah, yang gak bisa tidur nyenyak lah, Paling enak jadi tukang sayur kaya dulu, bisa tiap hari pulang, tidur nyenyak, makan bergizi.” Kalau Abu Nawas sudah asyik dengan mau’idzoh, pemuda itu hanya bisa diam. Apa yang dikatakan Abu Nawas terjadi padaku. Pikir pemuda itu. Aku ingin punya rumah nyaman, ternyata rumah paling nyaman adalah rumahku kemarin.

    “Gini mas, Ada juga temanku yang pengen jadi artis. Katanya biar bisa terkenal, muncul di televisi, dan dimintai tanda tangannya. Nah, pas dia dah jadi artis, dia pingin mbalik lagi jadi orang biasa, katanya paling nggak enak itu jadi artis. Yang dikejar-kejar papparazi lah, digosipin ibu-ibu melulu lah, gak bisa tenang hidupnya pokoknya…. Maksud saya, kita harus pandai-pandai bersyukur mas…. Tak usah pingin ini itu, kayak gini kayak gitu, sebenarnya kalau kita bisa melihat apa yang kita miliki sekarang dengan positif, itulah yang terbaik buat kita mas.” Abu Nawas mengakhiri petuahnya dengan kalimat sederhana. Sementara jauh diatas sana, langit masih terdiam seribu bahasa. [wf]

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.