Hikmah dalam Perspektif Syari’at

  • santri lirboyo
  • Nov 14, 2021
https://unsplash.com/photos/sy8qhu0nngY

Hikmah dalam Perspektif Syari’at | Pola pikir manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan pola pikir ini didorong oleh situasi serta kondisi manusia dan zaman yang semakin maju. Sehingga menuntut manusia untuk terus berkembang serta menemukan sebuah penemuan-penemuan baru.

Perkembangan disebabkan ilmu pengetahuan senantiasa mengalami dinamisasi. Al-Mawardi mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal batas. Setiap ilmu memiliki kemuliaan, keutamaan, dan keistimewaan sendiri-sendiri. Menguasai seluruh ilmu pengetahuan sangat mustahil dilakukan.[1]

Barang siapa yang mengira bahwa ilmu memiliki batas maka ia telah membatasi dan mengurangi haknya. Ia telah menempatkan ilmu tidak sesuai pada tempat yang telah disifatkan oleh Allah;

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ الْعِلْمِ إلَّا قَلِيلًا (الإسراء:85)

“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Q.S.Al Isra’:85)

baca juga: Tiga Pembagian Ilmu Syarait yang Wajib Dipelajari

Menguak rahasia yang berada dalam syariat Islam

Pada saat ini, bersamaan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, muncul kecenderungan untuk menguak rahasia di balik perintah Allah dalam memahami ajaran-Nya.

Cara pandang seorang dokter akan dipakai untuk menguak rahasia shalat serta puasa. Cara pandang sosiolog dipakai untuk menganalisa mengapa Allah memancarkan Islam dari tanah Arab. Metodologi biologi dan fisika juga digunakan untuk mengungkap mengapa najis anjing harus disucikan dengan campuran debu, dan lain sebagainya.

Semua itu berhasil menampakkan diri berkat ketundukan dan keyakinan kepada syari’at. Sehingga pertanyaan yang dulunya dianggap mauquf dan cukup dijawab dengan ta’abbudi, kini dapat dijawab melalui hikmah-hikmah syari’at.

Hal ini selain dapat menambah kekaguman terhadap syari’at juga dapat menumbuhkan gairah untuk terus melakukan ibadah dan husnuzhon kepada Allah. Karena alasan inilah memahami hikmah menjadi sangat urgen di era kontemporer. Dan dengan memahami syari’at inilah berbagai betuk pengabaian syari’at serta kegelisahan intelektual dapat disikapi dengan arif.

Al Jurjawi mengungkapkan bahwa keseluruhan syari’at samawi memiliki 4 tujuan:

  • Mengenal Allah, mengesakan, mengagungkan, mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang sempurna, sifat-sifat wajib bagi-Nya, serta sifat-sifat mustahi bagi-Nya, dan jaiz bagi-Nya.
  • Tata cara melakukan ibadah yang mengandung pengagungan dan mensyukuri nikmat-Nya yang tidak dapat kita hitung sebagaimana dalam firman-Nya:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا، [إبراهيم: 34].

“Dan jika engkau menghitung nikmat Allah maka engkau tidak akan dapat menghitungnya” (Q.S. Ibrohim:34)

  • Memotivasi untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, menghiasi diri dengan adab dan budi pekerti yang baik serta luhur seperti sifat muru’ah, menolong orang yang kesusahan, menjaga tetangga, menjaga amanah, sabar, dan sifat-sifat yang lain.
  • Mencegah seseorang agar tidak melakukan pelanggaran dengan cara memberlakukan hukum-hukum yang terdapat pada masalah muamalah, sekira ia tidak melanggar aturan-aturan yang telah baku oleh syari’at.[2]
Kesimpulan

Untuk itu sangatlah penting mengetahui hakikat hikmah, baik dari segi asal usul, teologis, kaitan hikmah dengan hukum syara’, dan juga cara mendapatkan hikmah.

Penulis: Nur Laili Fathurrohman

Hikmah dalam Perspektif Syari’at
Hikmah dalam Perspektif Syari’at

tonton juga: Rahasia Sukses Dunia & Akhirat | KH. Abdullah Kafabihi Mahrus


[1] Al Mawardi. Adabud Dunya Waddin. (C.D.Maktabah Syameela). Hlm.28.
[2] Ali Ahmad Al-Jurjawi. Hikmah at tasyri’ wa falsafatuhu. Juz:1. Hlm:5.

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.