Agama dan Kebudayaan; Tidak Perlu Dibenturkan
Agama dan kebudayaan tak hanya sekali berjalan berdampingan. Hal ini menunjukkan bahwa ada relasi di antara mereka. Padahal jika ditelisik, agama dan kebudayaan adalah hal yang berbeda. Agama merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Tuhan, sedangkan kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari manusia. Meskipun berbeda, agama dan kebudayaan tetaplah dikaitkan dan memiliki relasi yang kuat.
Relasi antara agama dan kebudayaan
Agama menyebarkan ajarannya melalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya. Agama tidak serta-merta menghapus budaya dalam masyarakat, yang beberapa memang tidak sesuai dan bertolak belakang dengan nilai-nilai agama.
Akan tetapi, agama lebih menggunakan budaya untuk media dakwah sekaligus masuk dalam budaya dengan menyesuaikan apa yang boleh atau sesuai dengan ajarannya. Di sini agama berperan untuk memfiltrasi berbagai norma dan nilai dari kebudayaan, misalkan: budaya wayang, tumpengan, dan sebagainya.
Adanya relasi antara agama dan kebudayaan, diperkuat oleh salah satu argumen Rohaniawan yang juga seorang Budayawan KH. Budi Harjono beliau mengatakan, “Kesenian terutama tarian di Nusantara dipengaruhi oleh agama. Seperti tarian Bali dipengaruhi oleh agama Hindu, tarian Jawa dipengaruhi oleh Kejawen, dan tarian Aceh dipengaruhi oleh agama Islam, sehingga para penari harus mengikuti tata cara dan adab menari”. Hal ini menegaskan bahwa agama mampu memengaruhi budaya yang ada.
Pro dan Kontra ketika Agama dan Budaya Dipersandingkan
Dalam penerapannya, ketika agama dan budaya dipersandingkan, terdapat pro dan kontra. Misalkan, saat orang desa berkostum seperti memakai kebaya, jarik, dan bersanggul—yang sejatinya ini adalah budaya cara berpakaian masyarakat Jawa pada zaman dulu. Hal ini sekarang dipandang begitu rendah seperti tidak dihargai dikarenakan membuka aurat dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Padahal, ini merupakan sebuah pelestarian budaya yang mana memang dari dulu sudah seperti itu.
Bukan hanya itu saja, masalah juga terjadi saat budaya dibenturkan dengan nilai-nilai agama. Bernostalgia sejenak dengan menilik peristiwa Liburan ahir tahun kemarin (2020 M); yaitu adanya pembubaran yang dilakukan oleh pihak-pihak atau sekelompok orang terhadap warga yang melakukan kegiatan sedekah laut. Sebenarnya, sedekah laut merupakan budaya yang sudah turun temurun dan memang perlu untuk dilestarikan. Pembubaran ini sangatlah disayangkan bisa terjadi di bangsa yang katanya berbudaya dan beragama ini.
Mengapa sampai ada pembubaran? Di sini terlihat ada perbedaan dalam penginterpretasian budaya. Pihak yang pro menilai bahwa budaya sebagai tradisi yang harus dilestarikan sedangkan pihak yang kontra memiliki penafsiran lain. Pihak yang kontra membenturkan budaya dengan ajaran agama sehingga mereka merasa kegiatan tersebut terkesan sesat, syirik, dan betentangan dengan ajaran Islam.
Memiliki pandangan yang berbeda di negara yang majemuk ini sah-sah saja. Akan tetapi output atau tindakan yang mengekor setelahnya adalah masalahnya. Di mana dengan adanya oknum yang membenturkan budaya dengan ajaran agama yang berbuntut pada aksi pembubaran budaya sedekah laut bisa memecah belah bangsa.
Perlu diingat bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi negara yang beragama. Jadi dalam hal ini, akan lebih elok apabila setiap insan sadar untuk menanamkan jiwa toleran dalam dirinya. Indonesia sendiri juga tidak hanya mengakui satu agama saja, melainkan enam agama, yakni Islam, Hindu, Buddha, Katholik, Kristen Protestan, dan Kong Hu Cu. Selain itu, juga ada aliran kepercayaan lain yang sudah menyatu dengan penduduk seperti Sunda Wiwitan, Kejawen dan sebagainya.
Kembali pada pembubaran kegiatan budaya sedekah laut. Budaya ini oleh sebagian oknum dianggap syirik. Padahal budaya ini adalah ungkapan syukur pada Tuhan akan karunia yang telah diberikan.
Selain dari permasalahan di atas, beragam budaya yang ada di daerah lain terlihat damai-damai saja. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya agama dan kebudayaan itu bisa berjalan berdampingan, tidak perlu dibenturkan. Bukankah lebih indah dan damai apabila setiap elemen masyarakat memahami hal ini? Menurut hemat saya, budaya-budaya tersebut merupakan kegiatan positif, di mana sedekah berarti beramal, dalam maksud ingin membersihkan agar menjadi lebih baik ataupun sebagai ucapan syukur pada Sang Pencipta.
Jadi, boleh saja menjadi orang agamis, akan tetapi harus tahu situasi dan kondisi, jangan sampai terlalu fanatik dalam beragama lalu membubarpaksakan budaya yang memang sudah di lestarikan turun temurun.
Kesimpulan
Agama dan budaya memanglah dua hal yang berbeda. Akan tetapi perbedaan ini bukanlah suatu yang perlu dibenturkan. Kita sebenarnya bisa berjalan berdampingan dan sama-sama memperoleh kedamaian dalam menjalani kehidupan. Hanya saja, masih diperlukan kesadaran setiap insan untuk menerapkan nilai toleransi. Saya yakin, kita sebagai bangsa yang majemuk bisa berjalan berdampingan, tanpa perlu untuk saling membenturkan perbedaan yang ada.[]
baca juga: Islam Agama yang Akomodatif dengan Budaya
ikuti juga: Tiktok Pondok Lirboyo
Agama dan Kebudayaan; Tidak Perlu Dibenturkan
Agama dan Kebudayaan; Tidak Perlu Dibenturkan
Bagaimana pun, ritual yang berkembang di masyarakat tidak lantas dikategorikan sebagai sesat atau bertentangan dengan Islam kecuali betul-betul menyekutukan Allah
Nderek dawuh,Gus..