Nusantara dengan stuktur geografis tanah yang didominasi perairan, juga letak teritorial yang sangat strategis, di mana dalam hal ini menjadi jalur komoditi persimpangan utama perdagangan Internasional (jalur sutra) menjadikan Nusantara tempat persinggahan kapal-kapal antar bangsa.
Pertemuan antar bangsa-bangsa ini kemudian memunculkan peradaban baru, karena datangnya suatu bangsa dari luar dipastikan memiliki budaya dan agamanya masing-masing. Kemudian dengan adanya pertemuan ini, Islam mulai diperkenalkan. Perlu dicatat bahwa dorongan kuat para saudagar Muslim bersinggah ke Nusantara tidak hanya untuk berdagang, tetapi kedatangan mereka memiliki motif menyebarkan agama Islam.
Proses masuknya Islam di Nusantara secara umum ditandai dengan kedatangan bangsa Arab dan Persia pada abad ke-7 Masehi.[1] Hal ini dibuktikan dengan adanya raja dan kerajaan Islam pada masa tersebut.[2] Yang mana sampai sekarang petilasan dan makamnya masih dapat ditemui.
Tetapi pada masa awal ini, Islam belum bisa berkembang. Hal ini melihat segi historis kondisi masyarakat Nusantara, budaya yang dipakai dan bahasa yang digunakan, sangat berbeda dengan para pelaku dakwah. Sehingga pada masa awal ini hanya sampai pada tahap memperkenalkan agama Islam saja.
Bagi para pelaku dakwah, kejelian dan kepekaan dalam menghadapi sasaran dan medan dakwah sangat dibutuhkan. Hal ini untuk menemukan strategi yang tepat sehingga dapat menemukan efektivitas yang dapat menuai hasil akan cakupan yang lebih luas.
Secara garis besar, proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Nusantara terbagi menjadi tiga bagian: Masa kedatangan, penyebaran dan kedatangan Islam,
Baca juga: 5 Kriteria yang Harus Dimiliki Pendakwah
Histori Perkembangan Islam di Nusantara
Ketika memasuki pertengahan abad ke-15 Masehi, agama Islam baru dianut secara luas oleh masyarakat pribumi Nusantara. Dakwah Islam ini dipelopori oleh Walisongo dengan mengusung metode dakwah melalui tutur bahasa yang baik. Prinsip metode ini dilatarbelakangi dari dalil al-Qur’an yang memerintahkan kepada umat Islam untuk berdakwah dengan cara dan pengajaran yang baik, melalui tutur kata yang indah dan pastinya budi pekerti yang luhur.
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl [16]: 125)
Al-Muraghi dalam tafsirnya, mendefinisikan kata hikmah sebagai penyeru kebenaran dan kebajikan dengan menggunakan metode yang berpusat dari cinta kepada suatu keadilan, kedalaman dalam berfikir, moral dan etika.[3]
Tonton juga; Kenapa Kita Harus Cinta Kepada Bangsa dan Tanah Air
Yang dikehendaki dengan kedalaman berfikir di sini adalah luasnya cakrawala pengetahuan untuk menguak ide yang paling brilian dalam merumuskan metode dakwah. Ini dimaksudkan untuk menemukan inovasi dan kreatifitas agar perjuangan dakwah sejalan dengan keadaan masyarakat. Ini seperti yang tercermin dalam metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Ampel. Sebagaimana yang tertulis dalam kitab Ahlal Musamaroh fi Hikayah al-Auliyai’ al-’Asyroh: