5 Kriteria yang Harus Dimiliki Pendakwah

Hari ini, dakwah menjadi kegiatan yang banyak digandrungi oleh masyarakat Muslim. Dakwah tidak hanya dilakukan secara tatap muka saja, platform media bisa juga dijadikan sebagai arena berdakwah. Kendati demikian, -di tengah derasnya arus dakwah- Islam justru menjadikan Muballigh (pendakwah) secara leluasa berceramah tanpa memperhatikan etika-etika dakwah serta kriteria apa saja yang harus ia miliki. Akibatnya, tak jarang konten dakwah yang disampaikan menyulut emosi sebagian pihak, bahkan sampai tidak mau mendengarkan dakwahnya lagi. Sikap demikian tentunya patut disayangkan, mengingat dakwah Islam di era kini sedang mengalami masa transformasi ke dunia digital, yang berarti sedang berada di fase kemajuan. Berangkat dari fenomena tersebut, penulis mencoba untuk mengulas perihal lima kriteria yang harus dimiliki oleh seorang juru dakwah, berikut di antaranya:

1. Menguasai disiplin ilmu syariat

Dakwah diperlukan wawasan keilmuan khususnya agama secara mendalam, sehingga konten dakwah yang disampaikannya tidak melenceng dari ketentuan syari’at. Mendakwahkan Islam yang tidak didasari ilmu justru yang terjadi adalah kerusakan. Hal ini selaras dengan ungkapan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) di dalam karyanya:

فَعُلِمَ أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ قَلِيْلُ الْعَقْلِ لاَ يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ دَاعِيًا إِلَى اللهِ لِأَنَّ الَّذِىْ يُفْسِدُهُ أَكْثَرُ مِنَ الَّذِىْ يُصْلِحُهُ

“Telah diketahui bahwa setiap orang yang sedikit akalnya itu tidak layak menjadi pendakwah yang mengajak ke jalan Allah) karena dampak kemudharatannya lebih besar dibanding dengan kemaslahatannya”. [Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, Mirqah ash-Shu’ud at-Tashdiq Syarh Sulam at-Taufiq (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah), h. 61]

Bila kita renungkan -ungkapan ulama kaliber dunia asal Tanara, Banten- kalimat di atas memang benar. Pada realitanya, saat ini banyak ustadz dan dai kagetan yang mendadak menjadi ahli fatwa dan berani mengeluarkan vonis halal-haram, bid’ah-sunnah, bahkan sesat dan selamat. Mirisnya, mereka merasa cukup paham dengan satu ayat atau pun satu hadis saja, dan sudah berani mengklaim bisa beristinbat dan mengeluarkan fatwa. Padahal jika meruntutkan kajian salaf, vonis hukum yang dikeluarkan para ulama harus melalui beberapa tahapan proses yang cukup panjang, tidak semudah membalik telapak tangan.

Sehingga tidak mengherankan kenapa para ulama tidak memperkenankan orang yang tidak mengerti agama atau minim keilmuannya untuk terjun mendakwahkan ajaran Islam. Imam al-Mawardi (w. 450 H) dalam karya fenomenalnya menyatakan:

وَ إِذَا وُجِدَ مَنْ يَتَصَدَى لِعِلْمِ الْشَّرْعِ وَ لَيْسَ مِنْ أَهْلِهِ مِنْ فَقِيْهٍ أَوْ وَاعِظٍ وَلَمْ يَأْمَنْ اغْتِرَارُ النَّاسِ بِهِ فِى سُوْءِ تَأْوِيْلٍ أَوْ تَحْرِيْفِ جَوَابٍ أَنْكَرَ عَلَيْهِ الْتَّصَدَى لِمَا لَيْسَ هُوَ مِنْ أَهْلِهِ وَ أَظْهَرَ أَمْرُهُ لِئَلاَ يَغْتَرَّ بِهِ

“Ketika ditemukan orang yang menyebarkan ilmu syariat, dan ia bukan termasuk orang yang mendalami ilmu tersebut dari ahli pakar fikih atau penceramah, tipu daya akan buruknya penjelasan membuat masyarakat menjadi tidak merasa aman, atau melencengnya jawaban, maka ia wajib dicegah untuk menyebarkan persoalan yang bukan keahliannya dan hendaknya profil (duduk perkaranya) di jelaskan kepada masyarakat agar mereka tidak tertipu”. [Abu al-Hasan bin Muhammad al-Mawardi, Ahkam as-Sulthaniyah, (Kairo: Dar al-Hadis), vol. 1, h. 361]

Oleh karenanya, seorang juru dakwah harus betul-betul mempersiapkan diri sebelum berdakwah. Semangat dakwah harus diiringi ilmu pengetahuan yang memadai. Agar masyarakat betul-betul menerima jawaban yang selaras dengan tuntunan syariat. Bukan berakibat fatal seperti menimbulkan fitnah serta kesalahpahaman pada masyarakat.

2. Mengetahui karakteristik dan adat-istiadat sasaran dakwah

Setiap komunitas masyarakat memiliki karakteristik serta tradisi yang berbeda-beda, yang menjadi ciri khas daerahnya. Tradisi satu daerah tentu berbeda dengan wilayah lain. Meskipun terkadang perbedaan itu tidak terlalu jauh, adat istiadat ini dipegang teguh dan berperan penuh dalam setiap lini kehidupan warga. Hal ini akhirnya menuntut seorang juru dakwah untuk mengetahui dan mempelajari lebih jauh karakteristik serta tradisi sasaran dakwah guna menyebarkan ajaran Islam. Tujuannya tak lain ialah agar materi dakwahnya dapat diterima dengan mudah dan diikuti.

Anggota Dewan Ulama al-Azhar asy-Syarif, Syaikh Ali Mahfudz (w. 1361 H) dalam kitabnya mengemukakan bahwa salah satu kriteria yang harus dimiliki oleh seorang juru dakwah ialah mengetahui kondisi orang yang dihadapinya, tabiat negaranya, dan etika-etikanya. Ini semua menurut‘urf (keumuman) diistilahkan dengan kondisi kemasyarakatan. Diriwayatkan bahwa yang menjadi faktor menerimanya para sahabat terhadap kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar Ra. adalah karena beliau “ansab al-Arab” yang bermakna beliau paling mengetahui terhadap kondisi kabilah suku Arab serta seluk-beluknya, histori masing-masing kabilah, baik hari-hari pentingnya, perangainya (dalam hal ini seperti pemberani, penakut, amanat dan khianat) serta posisi mereka -mana yang kuat, mana yang lemah, kaya dan miskin. Sehingga pada intinya, menurut Syaikh Ali Mahfudz, pengetahuan terhadap adat istiadat serta karakteristik sasaran dakwah merupakan suatu keharusan bagi seorang juru dakwah. Pernyataan yang senada juga disampaikan oleh Syekh Abu Sa’id al-Khadami al-Hanafi (w. 1156 H) dalam karyanya:

فَعَلَى الْوُعَاظِ وَالْمُفْتِيْنِ مَعْرِفَةُ أَحْوَالِ الْنَّاسِ وَعَادَتِهِمْ كَمَا قِيْلَ مَنْ لَمْ يَعْرِفْ عُرْفَ زَمَانِهِ فَهُوَ جَاهِلٌ فَإِنَّ الأَحْكَامَ قَدْ تَتَغَيَّرَ بِتَغَيُرِ الْأَزْمَانِ وَالْأَشْخَاصِ

Bagi para juru dakwah dan mufti seyogyanya untuk mengetahui kondisi sasaran dakwah dan tradisinya, sebagaimana dikatakan: Barangsiapa tidak mengetahui keumuman zamannya, maka ia termasuk kategori orang bodoh, karena hukum itu dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman dan sosok orangnya.” [Muhammad bin Muhammad bin Musthofa bin Utsman Abu Sa’id al-Khadami al-Hanafi, Bariqah Mahmudiyyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyyah wa Syari’ah Nabawiyyah fi Sirah Ahmadiyyah (Mesir: Mustafa Babi al-Halabi), vol. 3. H. 126.]

Dengan adanya pendekatan kultur dan budaya inilah diharapkan ajaran Islam dapat diserap oleh sasaran dakwah dengan baik, serta dengan senang hati menerima dan mengamalkan ajaran Islam tanpa unsur paksaan. Sebagai cerminan para Walisongo ketika mendakwahkan Islam di Nusantara. Mereka mengakulturasikan nilai-nilai subtansial atau nilai-nilai inti ajaran Islam dengan budaya dan adat-istiadat daerah setempat. Seperti halnya wayang yang dilantunkan dengan bacaan-bacaan Islami serta menggunakan musik setempat, slametan yang di isi dengan kalimat-kalimat tayyibah dan lain-lain. Sehingga ajaran-ajaran Islam bisa lebih mudah diterima oleh masyarakat Nusantara dengan tangan terbuka serta menarik simpati banyak pihak hingga ajaran Islam dapat tersebar luas dan cepat.

3. Memberikan teladan terlebih dahulu

Memberi contoh keteladanan kepada umat terlebih dahulu, sebelum mengajak masyarakat kepada ajaran Islam ialah karakteristik yang harus pasti dimiliki oleh seorang pendakwah. Namun, selain itu juga ada hal yang lebih penting, yakni perkataannya tidak bertentangan dengan perbuatannya. Syaikh Ali Mahfudz mengungkapkan: “Adapun melakukan (teladan dengan mengggunakan tingkah) tentang apa yang akan diperintahkan, serta berakhlak sesuai dengan apa yang didakwahkan, maka hal tersebut lebih mengena kepada hati para pendengar dan lebih diterima untuk didengar serta disenangi. Karena itulah, sebagian pendakwah tidak menyebutkan keutamaan memerdekakan budak hingga ia membeli budak terlebih dahulu kemudian memerdekakannya, barulah setelah itu menyebutkan keutamaan memerdekakan budak. Sehingga, strategi yang demikian begitu membekas di hatinya.” Ini kemudian dipertegas oleh pernyataan Malik bin Dinar:

إِنَّ الْعَالِمَ إِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِعِلْمِهِ زَلَّتْ مَوْعِظَتُهُ عَنِ الْقُلُوْبِ كَمَا يَزَلُ الْقَطْرُ عَنِ الْصَّفَا.

“Seorang alim ketika tidak mengamalkan ilmunya terlebih dahulu, maka ceramah yang disampaikannya akan hilang dari hati para pendengar sebagaimana hilangnya tetesan hujan dari awan.” [Ali Mahfudz, Hidayah al-Mursyidin Ila Turuq al-Wa’di wa al-Khithobah (Kairo: Dar al-I’tisham), h. 91]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.