Diskusi tentang syariat selalu menarik dan tak pernah habis untuk dikaji dan didalami. Seiring zaman yang selalu berubah, benarkah hukum syariat Islam bertransformasi? Memandang esensinya yang begitu luas menjadikannya sebagai primadona yang diidam-idamkan oleh para pecinta kajian syariat. Apalagi yang dikaji adalah tentang hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi yang lebih cenderung mengarah ke wajib, haram, makruh, dsb. Sementara hukum wadh’i yang lebih dominan pada sebab, syarat, dsb. Di sisi lain, banyak sekali pendapat para ulama yang mengomentari berbagai kasus dengan hukum taklifi yang berbeda-beda. Ada yang berkomentar wajib, namun ada yang berkomentar haram. Perbedaan pendapat ini pastinya tidak lepas dari kepakaran mereka dalam menganalisa khazanah syariat dari sumber utamanya yakni kitab al-Quran dan hadis nabi. Sehingga muncullah pakem di antara para ulama yang berupa :
اختلاف أمتي رحمة
Yang diartikan perbedaan antara ulama itu rahmat dari Allah Swt.
Menyinggung tentang persoalan hukum syariat Islam, ada sebuah opini menarik yang pernah disampaikan oleh para ulama’. Yakni mengenai berubahnya hukum sesuai dengan berubahnya zaman. Di antaranya adalah keterangan yang disampaikan oleh Sayyid ‘Alawi bin Ahmad as-Segaf dalam Sab’ah kutub mufiidah – nya dengan mengutip pendapat Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam :
“لله أحكام تحدث عند حدوث أسبابها”
Artinya :”Allah Swt itu memiliki hukum-hukum yang baru saat penyebab-penyebabnya juga baru“.
Dalam kelanjutannya, beliau juga menampilkan beberapa pendapat ulama yang terkesan sepakat dengan opini tersebut. Yakni pendapatnya Imam ar-Ruyani :
“لو كان الشافعي في زماننا لجوَّز أخذ القيمة في الزكاة”
Artinya :”Andaikan Imam Syafi’i hidup di zamanku (400- 500 H), niscaya beliau akan melegalakan zakat menggunakan nilai mata uang“.
Lalu beliau juga menampilkan pendapat pembesar ulama yang beliau samarkan namanya :
“يحدث للناس من الأحكام بقدر ما يحدث لهم من الفجور”
Artinya :”Hukum baru di suatu zaman seorang manusia itu sesuai dengan perbuatan buruk yang ia lakukan“.
dan pendapat-pendapat ulama lain yang senada dengan opini di atas.
Dalam cuplikan keterangan tersebut, perlu adanya klarifikasi apakah hukum-hukum dalam syariat Islam benar-benar berubah atau tidak. Padahal jika kita menelisik lebih jauh, terdapat juga ayat al-Quran yang menjelaskan bahwa agama Islam ini telah sempurna semenjak era baginda Nabi Muhammad Saw. Dan ini berarti hukum syari’at Islam itu sudah final semenjak sebelum para ulama’ menyampaikan pendapat di atas. Allah Swt Berfirman :
“اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا” 《المائدة : ٣》
Artinya : “pada hari ini telah aku sempurnakan agama kalian, dan telah aku sempurnakan nikmatku pada kalian, dan aku ridhoi islam sebagai agama kalian” (QS. Al-Maidah : 3)
Syaikh Isma’il Haqqi dalam Tafsir Ruh al-Bayan menjelaskan begitu gamblang bagaimana maksud disempurnakannya agama Islam pada era Nabi Muhammad Saw. Yakni keterangan berikut ini :
(الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ) بالنصر والإظهار على الأديان كلها او بالتنصيص على قواعد العقائد والتوقيف على اصول الشرائع وقوانين الاجتهاد (وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي) بالهداية والتوفيق او بإكمال الدين والشرائع او بفتح مكة ودخولها آمنين ظاهرين وهدم منار الجاهلية ومناسكها والنهى عن حج المشركين وطواف العريان (وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِيناً) اى اخترته لكم من بين الأديان وهو الدين عند الله لا غير
(إسماعيل حقي، روح البيان، ٣٤٣/٢)
Artinya :”[Pada hari ini telah aku sempurnakan agama kalian] dengan pertolongan dan menampakkan kebenarannya atas Semua agama (yang ada pada waktu itu). Atau (kusempurnakan) dengan menjelaskan undang-undang seputar akidah, cara menyikapi pondasi-pondasi syari’at dan undang-undang seputar ijtihad. [Dan aku telah menyempurnakan nikmatku pada kalian] dengan memberi hidayah dan pertolongan atau dengan penyempurnaan agama dan syari’at-syari’at atau dengan tertakluknya kota Makkah serta memasukinya dalam keadaan aman dan meraih kemenangan dan menghilangkan simbol-simbol jahiliyyah, tempat ritualnya, menghilangkan pelarangan haji, dan budaya thawaf dalam keadaan tidak berbusana. [Dan aku telah meridhoi Islam sebagai agama kalian] yakni telah memilihkan Islam sebagai satu-satunya agama untuk kalian sebagai agama yang diterima di sisi Allah Swt“.
Lalu bagaimanakah kita mengkorelasikan opini yang disampaikan para ulama di atas dengan ayat tersebut? Apakah opini itu benar? Ataukah itu hanya bahasa kiasan dari mereka saja!.
Pertama, coba kita gali, sebenarnya apa motif utama Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berpandangan atau beropini sebagaimana penjelasan di atas. Gelar Sulthon al-Ulama yang disandangnya menjadikan pendapat beliau tidak dapat dipahami secara mentah-mentah. Perlu adanya analisa yang tajam dan tepat dalam mengartikan makna pendapat beliau tersebut.
Salah satu pakar Fiqh Syafi’i Imam Ibnu hajar al-Haitami dalam maha karyanya al-Fataawi al-Fiqhiyyah al-Kubro mengungkapkan bahwasanya latar belakang dari opini yang disampaikan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam adalah karena mengomentari suatu hadis dengan sudut pandang yang berbeda, yakni hadis yang menjelaskan tentang kesunnahan berdiri guna menghormati orang yang memiliki status sosial yang tinggi. Dan dalam konteks hadis tersebut adalah pembesar Sahabat Anshar yakni Sa’ad bin Muadz. Nabi Muhammad Saw Bersabda :
“قوموا إلى سيدكم”
Berangkat dari sabda ini, Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa hukum berdiri dalam rangka menyambut pembesar suatu kelompok masyarakat itu hanya sebatas sunnah saja. Sehingga jika tidak berdiri maka tidak apa-apa. Namun, dalam kelanjutan keterangannya, Imam Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Izzuddin bin Abdissalam yang mengatakan bahwa pada zaman beliau jika tidak berdiri dalam rangka demikian itu bisa berdampak memberikan kesan negatif. Entah dianggap tidak menghormati, iri terhadap status sosialnya, dsb. Oleh karena itulah Imam Izzudin bin Abdissalam berpendapat hukum berdiri tersebut wajib dalam rangka untuk menghindari kesan-kesan negatif yang muncul saat pembesar suatu kelompok masyarakat datang di sebuah acara atau semisalnya. Pendapat Imam Izzudin bin Abdissalam tersebut juga berlandas pada hadis lain tentang larangan Nabi Muhammad Saw yang berbunyi :
وقد قال – ﷺ – (لا تقاطعوا ولا تدابروا ولا تباغضوا وكونوا عباد الله إخوانا كما أمركم الله سبحانه وتعالى)
Artinya :”Janganlah kalian saling memutus hubungan (komunikasi), janganlah kalian saling membelakangi satu sama lain (tidak mau mengajak bicara, dsb), dan janganlah kalian saling marah satu sama lain. Dan jadilah hamba-hamba Tuhan yang bersaudara sebagaiamana yang diperintahkan oleh Allah Swt“.
Beginilah redaksinya :
والأصل في ندب القيام لأهل الفضل «قوله: – ﷺ – حين قدم سيد الأنصار سعد بن معاذ – رضي الله تعالى عنه – قوموا إلى سيدكم» والخطاب للأنصار، أو للكل وقد صنف النووي – ﵀ تعالى – جزءا فيه وذكر الأحاديث الواردة فيه وأحكامها وما يتعلق بها قال ابن عبد السلام وغيره وقد صار تركه في هذه الأزمنة مؤديا إلى التباغض والتقاطع والتحاسد فينبغي أن يفعل لهذا المحذور وقد قال – ﷺ – «لا تقاطعوا ولا تدابروا ولا تباغضوا وكونوا عباد الله إخوانا كما أمركم الله سبحانه وتعالى» فهو لا يؤمر به بعينه بل لكون تركه صار وسيلة إلى هذه المفاسد في هذا الوقت ولو قيل بوجوبه لم يكن بعيدا لأن تركه صار إهانة واحتقارا لمن اعتيد القيام له، ولله سبحانه وتعالى أحكام تحدث عن حدوث أسباب لم تكن موجودة في الصدر الأول اهـ. وعلى القيام ومحبته للتعاظم والكبر حمل قوله: – ﷺ – «من أحب أن يتمثل له الناس قياما فليتبوأ مقعده من النار» أعاذنا الله سبحانه وتعالى من ذلك بمنه وكرمه آمين.
(الفتاوي الفقهية الكبرى لابن حجر الهيتمي)
Dari titik ini kita memahami bahwa motif utama beliau beropini seperti di atas itu karena penerapan hukum syariat dalam tiap kondisi atau tiap konteksnya itu berbeda-beda. Bukan berarti hukum syariat itu berubah, namun penyebab serta penerapannya saja yang menjadikan hukumnya harus diperhatikan dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga tidak heran jika dalam mazhab Syafi’i misalnya, terdapat banyak pendapat-pendapat ulama’ nya yang tidak sama tentang suatu persoalan. Hal ini malah menunjukan kedalaman ilmu serta ketajaman nalar mereka dalam mengambil sudut pandang yang benar dan tepat.
Kiranya motif ini pula yang mendasari Imam ar-Ruyani berani beropini bahwa “Andaikan Imam Syafi’i hidup di zaman beliau, maka akan memperbolehkan mengeluarkan zakat berupa nilai mata uang saja”. Opini ini terkesan hukum dapat berubah menyesuaikan dengan zaman. Padahal dalam kajian zakat mazhab Syafi’i, tidak ada ulama yang berpendapat boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan nilai mata uang saja. Akan tetapi harus mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok. Hal demikian menunjukkan bahwa opini yang beliau sampaikan telah terbantahkan dan hanya mengandai-andai saja. Imam Abu Syakil dan pendukungnya pun juga tegas mengatakan bahwa opini yang diutarakan oleh Imam ar-Ruyani merupakan hal yang yang tidak berdasar dan dusta, dan beliau juga mempertanyakan bagaimana bisa orang sekaliber Imam ar-Ruyani berkata demikian.
“وما حكي عن الروياني أنه قال : لو كان الشافعي في زماننا لجوز أخذ القيمة في الزكاة قال – أي أبو شكيل وغيره – وهو مكذوب على الروياني فكيف يقول ذلك”
Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah kita harus mengetahui sebenarnya faktor apa yang melandasi para ulama’ dalam menyikapi suatu persoalan syari’at dengan sudut pandang yang berbeda-berbeda. Apalagi terkait problematika kemasyarakatan yang terus berkembang tak ada habisnya. Dalam konteks ini, Pakar Ushul Fiqh Imam Abu Zahroh memaparkan bahwa Hukum-hukum syari’at yang berlandaskan Qiyas itu dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Sehingga, tidak heran terkadang pendapat yang diusung oleh Ulama Mutaakhirin itu berbeda dengan pendapat yang diusung oleh Ulama Mutaqaddimin. Hal ini disebabkan karena hukum yang disampaikan tersebut berlandaskan pada qiyas yang menyesuaikan pada ilmu pengetahuan dan wawasan sesuai dengan zaman mereka.
Lalu Imam Ibnu ‘Abidin juga ikut andil dalam menanggapi persoalan ini. Beliau menyampaikan bahwa secara global hukum syariat itu terbagi menjadi 2 macam. Pertama, hukum syariat yang ditetapkan berdasarkan pada Nash as-Shorih (Al-Quran dan Hadis). Kedua, hukum syari’at yang ditetapkan berdasarkan pada ijtihadnya seorang mujtahid yang menyesuaikan dengan kondisi zaman pada saat itu. Misalnya Imam Syafi’i. Seorang mujtahid mutlak yang begitu familiar dengan Qoul qadim dan Qoul jadid-nya. Beliau mencetuskan 2 Qoul ini di lokasi yang berbeda. Oleh karena itulah, di antara syarat-syarat menjadi seorang mujtahid adalah harus mengetahui kebiasan yang terlaku di masyarakat dari berbagai elemen pada saaat itu. Dan andaikan hukumnya tidak diubah oleh seorang mujtahid, maka akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan malah akan memberatkan umat muslim serta menyalahi kaidah syari’at yang berprinsip pada Takhfif dan Taisiir (memperingan dan mempermudah), dan berprinsip pada menolak Mafsadah (kehancuran) dan Madharat (hal yang membahayakan).[1]
Wal hasil, sebenarnya dalam mengkaji produk hukum dari seorang mujtahid tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu adanya analisis yang tajam dan benar sesuai caranya, serta senantiasa ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dan ini harus dijalankan secara konsisten agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu, menjadi sebuah keharusan melestarikan tradisi ulama terdahulu yang berupa konsisten dalam mempelajari, mengkaji, mengembangkan, dan menjaga syari’at Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw.
Penulis: M. Yasin Al Muwaffaq Manaf
“Pecinta Khazanah Klasik”
Pengajar MHM Lirboyo Kediri
[1] Abu Zahroh, Ushul Abu Zahrah, Hal. 275
Benarkah Hukum Syariat Islam Bertransformasi?
Benarkah Hukum Syariat Islam Bertransformasi?
Subscribe juga: Youtube Pondok Lirboyo
Benarkah Hukum Syariat Islam Bertransformasi?
Benarkah Hukum Syariat Islam Bertransformasi?