Jihad Para Santri Lirboyo

Jihad Para Santri Lirboyo

Pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia, pasca menyerahnya tentara Jepang tanpa syarat. Tak lama kemudian Mayor Mahfud yang saat itu menjadi Sudanco (komandan seksi) di daerah Kediri menyampaikan berita gembira kemerdekaan itu kepada KH. Mahrus Aly, dilanjutkan dengan pertemuan para santri di serambi masjid Pondok Pesantren Lirboyo. Di sana diumumkan bahwa rakyat Indonesia yang telah sekian abad lamanya dijajah oleh pihak asing, sekarang telah resmi merdeka. Santri Lirboyo dalam kesempatan yang sama itu, sepakat melucuti senjata Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri (kini Markas Brigif 16 Kodam V Brawijaya) yang letaknya sekitar 1,5 Km. dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.

Tepatnya pada jam 22.00 dengan peralatan seadanya berangkatlah 440 santri mengadakan pernyerbuan di bawah komando KH. Mahrus Aly, Mayor Mahfudh dan Abdul Rakhim Pratalikrama. Adalah si kecil Syafi’i Sulaiman yang di kemudian hari menjadi Wakil Ketua PWNU Jawa Timur. Santri yang masih berusia 15 tahun itu, diutus oleh Kiai Mahrus untuk menyusup ke markas Dai Nippon guna mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafi’i segera melapor kepada Kiai Mahrus dan Mayor Mahfudh.

Invasi para santri itu berhasil. Atas kebijaksanaan Kiai Mahrus, satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu dibawa ke Pondok Lirboyo dan setelahnya diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang hingga kini (saat buku disusun -red.) masih tersimpan di Markas Brawijaya Kediri.

Dalam kesempatan lain, Lirboyo juga ikut andil membantu arek-arek Suroboyo mengusir Sekutu. Seperti tercatat dalam sejarah bahwa, pada tanggal 21-22 Oktober 1945, para ulama yang tergabung dalam Himpunan Besar Nahdlatul Ulama (HBNU) memanggil seluruh perwakilanya yang tersebar di Jawa dan Madura. Bertempat di Kantor HBNU Jalan Bubutan Surabaya, dipimpin KH. Hasyim Asy’ari membahas kedatangan Belanda yang hendak kembali menjajah. KH. Mahrus Aly yang ikut hadir dalam pertemuan itu bersama sejumlah kiai, sepakat mengeluarkan fatwa ‘Perang Sabil’ yakni Jihad Fi Sabilillah, hukum melawan Belanda dan kaki tangannya adalah fardlu ‘ain. Dan tiga hari sejak tentara sekutu di bawah pimpinan Jenderal AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya, tepatnya tanggal 28, 29, 30 Oktober 1945 pecahlah peperangan di Surabaya.

Jauh sebelum penjajah itu mendarat, Mayor Mahfudh datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Aly guna memberikan informasi bahwa Surabaya dalam kondisi darurat. Seketika itu juga, KH. Mahrus Aly mengatakan, “Kita harus pertahankan kemerdekaan ini sampai titik darah penghabisan”. Kemudian lewat Agus Suyuti, KH. Mahrus Aly mengumumkan hal ini kepada para santri dan dipilihlah beberapa santri yang tangguh untuk bertempur di Surabaya. Diantara 97 santri senior itu adalah: Syafi’i Sulaiman, Agus Jamaluddin, H. Masyhari, H. Ridlwan, Baidlowi, Imam Hanafi, Ahmad Hasyim, Damiri yang semua berasal dari Kediri. Ditambah Abu Na’im Mukhtar (Salatiga), Khudlori (Nganjuk), Sujairi (Singapura), Zainuddin (Blitar), Jawahir (Jember), Agus Suyuti (Rembang).

Di antara sekian santri yang memiliki senjata, adalah Agus Suyuti (asal Rembang) berupa granat yang sudah dirajah hasil pemberian Kiai Saefuddin, Kemuning, Kediri. Dalam penyerbuan itu para santri dapat meraih 9 pucuk senjata. Selama berperang 8 hari di Surabaya tersebut, seluruh santri menjalankan puasa yang telah diijazahkan oleh Kiai Mahrus. Sementara untuk menggembleng mental, meningkatkan kesiagaan, di Pondok Lirboyo diadakan gerakan batin yang langsung di pimpin oleh KH. Abdul Karim dan KH. Marzuqi Dahlan.

Pada tahap selanjutnya, Lirboyo mengirimkan lagi 74 orang santrinya. Peperangan ini membawa hasil rampasan 7 pucuk senjata Belanda. Hal ini berlanjut dengan pengiriman 30 santri di bawah komando Kiai Miftah, Tegal, yang berjuang bersama masyarakat dalam rangka menggempur markas pertahanan Belanda di Sidoarjo melalui tambak-tambak dan rawa-rawa.

Ketika markas ulama bertempat di Blauran, Surabaya, KH. Mahrus Aly, Kiai Dimyati dan Kiai Sa’id berangkat ke Surabaya untuk bertahan. Ketika markas itu pindah ke Sidoarjo, KH. Mahrus bersama Kiai Saefuddin Kemuning menyusul kesana. Kiai Saefudin terus maju ke depan sedangkan Kiai Mahrus sendiri karena mendengar berita genting, akhirnya kembali lagi ke Kediri. Untuk bekal perjuangan kala itu, Kiai Mahrus bersama Kiai Hasyim, Mojoroto, mengumpulkan dana dari para dermawan.

Dari sekian kali pertempuran, santri Lirboyo tidak pernah menjadi korban. Hanya saja dalam pengiriman kedua, santri bernama Damiri tertangkap Belanda di Desa Ngantilampah, sebelah utara Mojokerto. Dia kemudian dibawa ke Surabaya untuk diperiksa. Teman-teman santri pun cemas. Tahlil dan do’a pun digelar yang dipimpin oleh KH. Abdul Karim, dengan harapan Damiri bisa selamat. Selang beberapa hari, tiba-tiba Damiri datang dalam keadaan segar bugar. Entah karena kepandaiannya, berkat doa Kiai Abdul Karim, ataukah faktor lain, tidak diketahui kenapa Damiri hanya ditahan selama tiga hari.

Pasca pertempuran Surabaya yang berakhir 10 Nopember 1945, tepatnya menjelang Agresi Militer Belanda II pada bulan Oktober 1948, barisan Hizbullah dan Sabilillah digabung menjadi satu untuk meningkatkan dan memajukan daya tempur dalam perjuangan. Kedua pasukan ini diganti menjadi Satuan Batalion 508 yang dikenal dengan nama Batalion Glatik atau Batalion HM. Batalion ini di bawah pimpinan Mayor H. Mahfud selaku komandan, Kiai Muhammad Tambak Rejo, Gurah, Kediri sebagai wakil komandan, sedangkan yang bertindak selaku staf adalah M. Yaqil. Batalion 508 inilah yang sebenarnya merupakan embrio lahirnya Kodam V Brawijaya di Kediri pada tanggal 17 Desember 1948. /-

Disarikan dari buku “Pesantren Lirboyo : Sejarah, Peristiwa, Fenomena dan Legenda”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.